Ketika Bantuan Menumpuk di Satu Titik: Urgensi Open Data Bencana di Indonesia

kumparan.com
19 jam lalu
Cover Berita

Dalam setiap bencana besar di Indonesia, kita selalu melihat pola yang sama: setelah beberapa hari pemberitaan bantuan datang deras, relawan bergerak cepat, lembaga filantropi berkoordinasi dengan tim lapangan, dan pemerintah mengaktifkan sistem penanggulangan darurat.

Namun di balik energi kemanusiaan itu, ada kenyataan yang selalu menyakitkan—aliran bantuan tidak pernah benar-benar merata. Ada posko yang setiap jam menerima kiriman logistik, sementara hanya beberapa kilometer dari sana, satu kampung kecil menunggu malam kedua tanpa tenda, tanpa selimut, dan tanpa kepastian.

Di satu titik, truk bantuan menumpuk dan disambut kamera media serta foto-foto bersimpati di media sosial, sementara di titik lain, hanya ada sinyal telepon yang putus-putus dan permintaan pertolongan yang tidak terdengar.

Masalahnya kadang bukan pada kurangnya bantuan, tetapi pada ketidakmampuan kita melihat bencana secara utuh. Indonesia sebenarnya sudah membangun sistem data kebencanaan. BNPB memiliki portal data resmi, geoportal bencana menyediakan peta spasial, dan sebagian pemerintah daerah menjalankan format “satu data” di tingkat lokal.

Tapi sistem yang sudah ada itu belum menjawab kebutuhan paling mendasar dalam situasi darurat: akses yang terbuka, cepat, sederhana, dan dapat dipakai langsung oleh semua pihak yang terlibat di lapangan. Saya pernah mencoba mengakses geoportal resmi untuk melihat peta dampak bencana.

Prosesnya membuat saya berpikir, bagaimana mungkin relawan atau lembaga zakat harus melewati begitu banyak formulir, login berbeda, dan halaman teknis hanya untuk melihat titik pengungsian atau status kerusakan? Di tengah situasi darurat, seharusnya akses informasi tidak seribet mengurus laporan administrasi. Data adalah alat penyelamat, bukan dokumen akademik.

Ide tentang Open Data sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi saya. Pada tahun 2010, kami di MIFTA (mifta.or.id)—komunitas kecil para profesional IT Muslim—pernah mencoba menginisiasi konsep open data untuk zakat. Niatnya sederhana: agar penerima manfaat benar-benar tepat sasaran, agar bantuan tidak berputar pada lingkaran yang sama, dan agar nama-nama yang tidak memiliki akses sosial tetap bisa terlihat oleh sistem.

Kami membayangkan satu basis data penerima zakat yang terintegrasi dan dapat diakses lembaga amil di berbagai kota. Namun ketika itu, berbagi data masih dianggap hal yang sensitif. Setiap lembaga berjalan dengan caranya sendiri, dan teknologi belum cukup dekat dengan kesiapan lembaga untuk membuka datanya. Inisiatif itu tidak pernah menjadi rumah besar, tetapi meninggalkan pelajaran penting bagi saya: tanpa data yang terbuka, bantuan selalu mengikuti sorotan, bukan kebutuhan.

Saya masih ingat betul suasana pasca gempa di Cianjur. Kebetulan saya jadi relawan di lapangan dari AlQuds Volunteer Indonesia, ingat sekali ketika itu jalan menuju lokasi retak, sinyal hilang muncul, dan posko-posko berdiri tergesa di setiap lapangan, masjid, dan halaman sekolah. Yang menarik bukan hanya bantuan yang datang, tapi bagaimana bantuan itu datang.

Ada satu posko yang dalam sehari menerima puluhan dus makanan siap saji, selimut, dan terpal. Semua itu difoto, dikirim ke grup WhatsApp, dan tersebar luas. Semua orang yang melihat foto itu merasa bahwa bantuan sudah menyentuh korban, bahwa pekerjaan kemanusiaan berjalan dengan baik.

Padahal, hanya butuh satu tikungan bukit untuk menemukan kenyataan sebaliknya: sebuah dusun kecil yang belum terjangkau siapa pun, warga menyalakan api untuk menghangatkan anak-anak, dan relawan lokal saling memberi tahu lewat pesan singkat bahwa “di sini belum ada bantuan, tolong sebarkan”.

Saat itu komunitas IT lokal di Cianjur, CJR Dev, bergerak cepat. Mereka mencoba membuat sistem pelaporan lapangan dengan peta sederhana yang menampilkan kondisi jalan, titik pengungsian, dan kebutuhan logistik. Mereka menggunakan GPS dari ponsel untuk mengirimkan koordinat, menambahkan foto, dan mencatat kebutuhan langsung dari warga.

Sistemnya tidak sempurna, tetapi ide mereka bekerja: peta yang hidup adalah peta yang dibuat oleh orang yang berada di lapangan, bukan hanya oleh laporan resmi yang datang berhari-hari setelah kejadian. Namun inisiatif itu berhenti sebagai upaya komunitas, karena tidak ada “rumah besar” yang menampung data itu secara nasional, tidak ada integrasi dengan pemerintah, dan tidak ada mekanisme yang memungkinkan lembaga kemanusiaan berbagi data logistik sampai tingkat terkecil.

Padahal sistem data bencana yang ideal sebenarnya tidak perlu rumit untuk dibayangkan. Dalam situasi darurat, data dari berbagai pihak seharusnya bisa bertemu di satu peta: data resmi dari pemerintah, data lapangan dari relawan, catatan distribusi dari lembaga zakat dan NGO, serta laporan kebutuhan langsung dari warga yang terdampak.

Jika semua data itu saling terhubung, kita bisa melihat dengan jelas: wilayah mana yang sudah menerima bantuan apa, kapan, dari siapa, dalam jumlah berapa, dan kebutuhan apa yang masih kosong. Ketika satu desa telah terpenuhi kebutuhan pangannya, maka pengiriman bantuan yang sama bisa dialihkan ke desa lain yang belum terjamah.

Fokus dapat bergeser pada kebutuhan berikutnya—tenda, obat-obatan, akses jalan, air bersih. Dalam konteks seperti itu, open data bukan sekadar transparansi administrasi, tetapi strategi penyelamatan yang membuat setiap bantuan sampai ke tempat yang seharusnya, tanpa ada wilayah yang menerima berkali-kali sementara wilayah lain menunggu dalam diam.

Sayangnya, sistem kita masih berjalan dalam pola silo. Pemerintah punya data, NGO punya data, relawan punya data, dan lembaga zakat punya data. Tetapi tidak ada mekanisme mudah bagi semua pihak untuk berbagi data secara real-time, bahkan sekadar memperlihatkan logistik masuk dan keluar di tiap titik.

Banyak lembaga filantropi sebenarnya ingin menindaklanjuti bantuan secara presisi, tapi mereka tidak punya akses yang memadai untuk melihat sebaran bantuan mikro. Open data adalah kunci untuk mengubah bantuan dari “siapa cepat dia dapat sorotan” menjadi “siapa paling membutuhkan dia pertama ditangani”.

Maka kalau kita bicara masa depan sistem kebencanaan di Indonesia, kita harus memulai dengan pertanyaan sederhana: mengapa akses ke data bencana harus melalui banyak lapisan login, formulir, dan folder menu yang tidak intuitif? Mengapa lembaga zakat, yang setiap hari bekerja dalam jaringan relawan, harus menebak lokasi prioritas hanya lewat pesan berantai dan foto-foto grup WhatsApp? Mengapa logistik yang nilainya miliaran rupiah tidak dapat ditunjukkan dalam peta sederhana yang menampilkan berapa dus mie instant diterima di satu titik, siapa pengirimnya, dan adakah laporan kebutuhan tambahan dari warga di sana?

Indonesia tidak kekurangan teknologi. Aplikasi dengan fitur GPS, formulir pelaporan, tombol “panic”, integrasi peta, hingga dashboard distribusi logistik sudah menjadi hal biasa di dunia startup. Pertanyaannya bukan “bisa atau tidak”, tetapi “mau membuka atau tidak”.

Kita sering membangun sistem yang bagus di atas kertas, tetapi tidak memikirkan pemakai utamanya: relawan di lapangan yang bekerja dalam situasi tegang, lembaga filantropi yang berpacu dengan waktu, dan warga yang hanya punya sinyal dua bar untuk mengirim pesan bahwa mereka butuh air bersih. Di kondisi seperti itu, teknologi terbaik adalah teknologi yang paling sederhana, paling mudah diakses, dan paling cepat memberikan informasi.

Ketika kita bicara “open data bencana”, artinya bukan hanya data statistik dan grafik kejadian bencana. Makna sebenarnya adalah peta yang hidup, yang bisa menunjukkan kebutuhan paling kecil di titik paling jauh. Open data berarti lembaga filantropi, NGO, pemerintah desa, BPBD, dan masyarakat memiliki satu peta yang sama: tidak ada lagi informasi yang dikunci oleh struktur atau prosedur.

Jika data itu terbuka, maka bantuan bisa diarahkan bukan berdasarkan asumsi, tetapi berdasarkan fakta di lapangan. Tidak ada lagi cerita di mana truk bantuan berlomba ke desa yang sudah “viral”, sementara desa lain harus menunggu viralnya penderitaan untuk mendapatkan perhatian.

Indonesia adalah negara dengan frekuensi bencana tinggi, dan itu tidak akan berubah. Yang bisa kita ubah adalah cara kita meresponsnya. Kita sudah punya portal resmi, infrastruktur data, komunitas IT yang kuat, lembaga filantropi dengan jaringan nasional, dan relawan yang selalu hadir lebih cepat dari berita televisi. Yang kita butuhkan sekarang bukan aplikasi baru yang rumit, tetapi kemauan membuka data, menyederhanakan akses, dan menghubungkan semua titik menjadi peta kemanusiaan yang nyata.

Karena pada akhirnya, di tengah reruntuhan bangunan dan krisis yang sunyi, data bukan hanya angka. Data adalah nyawa yang diselamatkan tepat waktu.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kebakaran Kantor Terra Drone Sebabkan 22 Orang Tewas, Komisi III Desak Pengusutan Tuntas
• 12 jam laludisway.id
thumb
Pengungsian Korban Bencana Aceh Akan Dipusatkan: Dilengkapi MCK-Dapur Umum
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
Massa Kembali Berdatangan ke Kalibata, Mobil Terbakar Terdengar Ledakan
• 6 jam lalukumparan.com
thumb
600.000 Bibit Kelapa Dikirim ke Meranti dan Indragiri Hilir untuk Peremajaan
• 5 jam lalubisnis.com
thumb
The Death of Leisure: Hobi dalam Ilusi Produktivitas dan Hustle Culture
• 17 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.