Ketika berita tentang imbauan Presiden untuk mempercepat pemulihan sektor pendidikan di wilayah terdampak bencana muncul, banyak dari kita terdiam. Pesan itu mengingatkan bahwa di balik angka korban, kerusakan jembatan, dan rumah yang hanyut, ada sesuatu yang lebih rapuh namun tak kalah penting: masa depan anak-anak Indonesia.
Seruan itu terasa bukan hanya sebagai instruksi kebijakan, tetapi panggilan moral: sekolah bukan sekadar bangunan, tetapi tempat di mana harapan dirawat. Dan kini, Sumatra sedang kehilangan banyak dari harapan itu.
Bencana yang Menghentikan WaktuAngka-angka yang datang dari lapangan membuat kita tercekat.
Bencana banjir dan longsor di Sumatra penghujung 2025 ini diperkirakan merenggut lebih dari 1000 jiwa, menyebabkan 2.600 lebih warga terluka, dan memaksa lebih dari 1 juta orang mengungsi. Total warga terdampak mencapai 3,3 juta orang, dengan kerugian nasional diperkirakan menembus Rp 68,67 triliun.
Di banyak kota dan desa, sekolah rusak dan tenggelam; ratusan lainnya berubah fungsi menjadi tempat pengungsian. Lembaga internasional melaporkan puluhan ribu anak terputus dari sekolah, kehilangan ruang aman yang seharusnya melindungi masa kecil mereka.
Pada jenjang pendidikan tinggi, 30 universitas terdampak kerusakan dan lebih dari 6.400 akademisi, mahasiswa, serta staf kampus terkena dampak langsung.
Ini bukan bencana fisik semata namun termasuk bencana pendidikan. Dan kebutuhan pendidikan anak-anak kerap luput dari perhatian.
Alam Menguji, Manusia MemperparahKebenaran paling pahit dari semua ini ternyata bukan hanya perubahan cuaca yang menyebabkan tragedi besar ini.
Dalam setahun terakhir saja, Sumatra kehilangan lebih dari 222 ribu hektare hutan alam. Di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS), konversi hutan terus berlangsung. Di Aceh saja, analisis menunjukkan perubahan tutupan lahan lebih dari 21 ribu hektare dalam lima tahun terakhir dan sebagian besar dari kawasan hutan negara.
Pakar lingkungan telah lama memperingatkan bahwa:
“Yang membuat banjir menjadi bencana besar bukan hujan ekstremnya, tetapi ekosistem yang sudah terlalu rusak untuk menahan air.”
Banjir dan longsor bukan semata musibah alam tetapi cerminan dari pilihan manusia. Ketika hutan hilang, tanah kehilangan daya serap. Ketika bukit digunduli, longsor menjadi tak terhindarkan. Ketika sungai disesaki sedimentasi dan limbah, aliran air berubah menjadi amukan.
Meminimalisir Jumlah KorbanBila kita ingin belajar dari negara lain dalam hal penanganan bencana alam, maka Jepang adalah contoh paling mudah. Negara itu hidup tepat di atas cincin api Pasifik, rutin diguncang gempa, dihantam badai, bahkan tsunami. Namun, korban jiwa bisa jauh lebih sedikit dibandingkan negara lain yang menghadapi bencana serupa.
Alasannya sederhana dan mendasar, mereka telah melakukan:
Pendidikan tanggap bencana dimulai sejak TK.
Anak-anak mengikuti latihan evakuasi rutin.
Infrastruktur wajib memenuhi standar tahan bencana.
Peringatan dini terintegrasi dari pemerintah hingga ke bawah.
Pemerintah bertanggung jawab penuh jika kegagalan mitigasi menyebabkan banyak korban.
Di beberapa negara Eropa, pemerintah bahkan dapat diselidiki atau dituntut apabila kelalaian tata ruang atau izin lingkungan menyebabkan kerugian besar pada warga. Tanggung-jawab negara bukan hanya setelah bencana, tetapi mencegahnya.
Bandingkan dengan kita: bencana berulang, tetapi perbaikan sering bersifat reaktif, hanya menambal luka, bukan mencegahnya. Padahal pribahasa kita punya, "sedia payung sebelum hujan".
Pendidikan dan Kesadaran LingkunganApa yang terjadi di Sumatra adalah peringatan keras bagi kita. Pendidikan lingkungan harus kuat, literasi mitigasi bencana sejak dini, dan berani menata ulang tata ruang serta penegakan hukum lingkungan! Jika tidak, maka tunggu saja bencana besar selanjutnya.
Kita butuh penegasan kembali pada pendidikan tanggap bencana di sekolah, yang mengajarkan cara membaca tanda-tanda bahaya, cara menjaga lingkungan, cara menyelamatkan diri dan orang lain, bagaimana alam bekerja dan bagaimana manusia mempengaruhinya. Bangunan sekolah harus kuat, sehingga menjadi tempat paling aman saat bencana datang, bukan malah menjadi bangunan pertama yang roboh.
Kita juga sangat butuh rehabilitasi lingkungan yang menjadi prioritas nasional. Hutan harus dipulihkan. DAS harus dilindungi. Izin-izin bermasalah harus dikaji ulang secara transparan.
Kita semua harus mempunyai tanggung jawab, baik pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah memperbaiki tata kelola; masyarakat menjaga perilaku. Perubahan tidak akan terjadi kalau hanya satu pihak saja yang bergerak.
Menjaga Harapan Adalah Tugas KitaSumatra mengajarkan kita satu hal: bencana bukan hanya tentang apa yang hilang hari ini, tetapi apa yang bisa hilang di masa depan.
Kita bisa memilih untuk terus melihat bencana sebagai rutinitas tahunan, atau memilih perubahan.
Kita bisa membiarkan anak-anak tumbuh dengan rasa takut setiap kali hujan turun, atau membekali mereka dengan ilmu, kesiapsiagaan, dan lingkungan yang sehat.
Pendidikan tanggap bencana dan kepedulian lingkungan bukan lagi pilihan, ini adalah syarat agar bangsa ini tetap punya masa depan.
Dan masa depan itu, ada di sekolah-sekolah yang sekarang sedang kita pulihkan. Ada di hutan yang harus kita jaga. Ada di anak-anak yang berharap pada kita.



