JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah tengah membenahi pendidikan karakter guna mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Pembenahan ini meliputi pendekatan birokrasi aturan yang diperkuat dan pendekatan kultural dengan membudayakan tenggang rasa pada semua warga sekolah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti mengakui masih banyak permasalahan terkait kekerasan di satuan pendidikan, seperti perundungan, kebijakan yang diskriminatif, hingga kekerasan seksual. Ini harus diselesaikan bersama-sama, tidak bisa hanya dikerjakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Salah satu upaya Kemendikdasmen saat ini adalah menggerakan kebiasaan Rukun Sama Teman. Gerakan ini menumbuhkan budaya sekolah yang aman, nyaman, saling menghargai, dan bebas dari perundungan. Murid akan menjadi penggerak utamanya, menjadi teman yang saling menyemangati, saling mengingatkan, serta menciptakan suasana ramah bagi semua.
"Kami optimistis bahwa semua permasalahan itu dapat kita hadapi dan kita selesaikan bersama-sama dengan baik kalau kita saling bekerja sama, saling menghormati, bergandeng tangan antara satu dengan yang lainnya," kata Mu'ti di Jakarta, Senin (11/12/2025).
Gerakan ini melibatkan Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas HAM, Komisi Nasional Disabilitas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Bappenas, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian PPPA, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Dalam Negeri, Kemenko PMK, organisasi masyarakat sipil dan tenaga ahli, serta media massa.
Kekerasan seksual tidak ada kompromi, itu memang harus diproses secara hukum.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ulhaq menjelaskan, kekerasan di sekolah tidak hanya masalah regulasi, tetapi juga kultural seperti senioritas di sekolah yang selama puluhan tahun terjadi dan dinormalisasi. Pola pikir yang lebih modern seharusnya bisa memperbaiki kultur yang kurang baik tersebut.
"Jadi ini problemnya ada problem struktural, ada problem kultural juga. Problem struktural tingkat regulasi yang sudah kita benahi. Di problem kultural soal mindset sebenarnya," kata Fajar.
Saat ini pihaknya bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait tersebut tengah mengevaluasi implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Tujuannya agar penanganan kasus lebih cepat, jelas, dan terkoordinasi.
Fajar juga menegaskan bahwa satu tindak kekerasan yang tidak bisa ditoleransi adalah kekerasan seksual. Pendekatan keadilan restoratif tidak digunakan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan.
"Kekerasan seksual tidak ada kompromi, itu memang harus diproses secara hukum," ucap Fajar.
Di sisi lain, Fajar mengakui, kinerja Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satuan Tugas) yang dibentuk di daerah-daerah masih belum optimal. Walaupun secara data, progres pembentukan tim dan satgas tersebut sudah mencapai 97 persen.
Salah satu pihak yang akan diperkuat dalam sistem pencegahan kekerasan tersebut adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah-daerah karena selama ini UPT cenderung tidak masuk langsung ke sekolah saat terjadi kasus. Kini, Kementerian mempertimbangkan peran lebih aktif.
"Kami ingin mempertajam peran UPT di setiap daerah untuk mendampingi setiap pemerintah daerah ketika menangani kasus-kasus kekerasan di setiap sekolah. Jadi, sistemnya sedang kita coba perbaiki dan alur komunikasinya bisa dipercepat sampai ke kami," ungkapnya.
Kemendikdasmen juga akan menyiapkan layanan aduan yang ditangani oleh pihak inspektorat kementerian. Dengan begitu, setiap aduan dari berbagai daerah bisa langsung ke kementerian di pusat tanpa melalui birokrasi di daerah.
Meski begitu, Fajar menegaskan bahwa pencegahan dan penanganan kekerasan tidak bisa hanya mengandalkan sekolah. Peran komite sekolah, yayasan, alumni, hingga warga di sekitar lingkungan sekolah juga harus dilibatkan untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman.
"Jadi ini kita ingin mencoba mengaktifkan semua ekosistem yang bertanggung jawab dalam konteks pembelajaran pendidikan ini. Jadi tidak bisa disalahkan ke satu pihak," tutur Fajar.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus kekerasan di satuan pendidikan menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dari 15 kasus tahun 2023 naik menjadi 36 kasus pada 2024 dan kini 60 kasus pada tahun 2025. Dari jumlah tersebut, ada 358 korban dan 146 pelaku.
Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik sebanyak 45 persen atau 27 kasus dari total kasus. Disusul oleh kekerasan seksual (28,33 persen), kekerasan psikis (13,33 persen), perundungan (6,67 persen), kebijakan yang mengandung kekerasan (5 persen), serta diskriminasi dan intoleransi (1,67 persen).
Korban kekerasan mengalami luka fisik dan psikis. Bahkan, ada korban yang sampai bunuh diri hingga berbuat ekstrem hingga membakar dan melakukan aksi teror di sekolahnya.
Pelaku kekerasan sangat beragam; mulai dari peserta didik sebanyak 25 kasus, pendidik atau guru sebanyak 15 kasus, kepala sekolah sebanyak 8 kasus, pimpinan pondok pesantren sebanyak 5 kasus, tenaga pendidik atau struktural sebanyak 3 kasus, orangtua peserta didik sebanyak 2 kasus, alumni sebanyak 1 kasus, dan orang asing sebanyak 1 kasus.
"Jadi evaluasi aturan yang sedang dilakukan harus serius. Aturan ini juga perlu diturunkan dalam bentuk peraturan daerah oleh pemerintah daerah," kata Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
Kemendikdasmen juga diminta lebih aktif menyosialisasikan kebijakan, memberikan pelatihan pencegahan dan penanganan kekerasan, memfasilitasi sistem informasi atas data penanganan kekerasan, dan menyediakan kanal aduan sampai di daerah melalui balai pendidikan di berbagai provinsi sebagai kepanjangan tangan mereka.



