Akhir pekan ketiga November 2025, kami, pengurus pusat PMI (Palang Merah Indonesia), berkegiatan di Papua dan Papua Barat bersama Ketua Umum PMI, Pak Jusuf Kalla. Awal pekan keempat November, lanjut ke Takengon, Aceh Tengah. Acaranya: membuka Musprov (Musyawarah Provinsi) PMI Aceh.
Kita bisa berencana, tetapi Tuhanlah yang memastikan. Sejak kami tiba di Banda Aceh, hujan tiada kenal kata henti. Langit gelap, seperti tak memberi isyarat kapan akan terang. Dalam perjalanan pulang, kami tersendat. Lebih tepatnya: terhenti. Penghentinya adalah banjir dan pohon tumbang. Sisi jalannya mengalami retak, longsor. Para pengurus PMI Aceh bergotong-royong menyingkirkan material-material penghambat jalan.
Kesulitan di jalan banyak ditemui. Tapi kami tetap optimis dan berkomitmen melayani warga. Para relawan yang terus bekerja meski diterpa berbagai kendala menunjukkan etos dan komitmen sebagai pekerja kemanusiaan. Dalam perjalanan dari Takengon ke Banda Aceh, karena banjir di mana-mana, 36 jam kami terjebak di Bireuen. Curah hujan tahun ini, kata teman-teman PMI Aceh, memang tidak biasa.
Tentu saja ada pressure. Banyak agenda yang harus ditataulang. Tetapi, berjam-jam duduk di sebuah kedai, saya jadi mensyukuri, bahwa saya masih punya kesempatan berinteraksi dengan begitu banyak orang. Ya, sebagai sesama penyintas yang sedang terdampar atau didamparkan oleh banjir.
Ada keuchik (kepala kampung) bercerita, baru saja ia menghadiri wisuda anaknya. Ada mantan anggota DPR RI. Ada guru. Ada pensiunan manajer bank internasional yang kini menjadi petani kopi. Ada si pemilik lahan 300 hektare minta tolong dicarikan investor. Ada dokter yang sedang mengambil S3 bertanya bagaimana cara menjadi relawan PMI. Ada juga yang menjelaskan bahwa banyak sungai di Aceh yang bisa jadi sumber energi.
Yang bikin saya tersenyum adalah serombongan guru dan dosen. Mereka menyeruak seraya berkata:
Ah, respek dari orang-orang yang tidak kita kenal, adalah energi yang amat berharga.
Saya dan teman-teman PMI berjam-jam menunggu air surut untuk pulang, dan berharap ada keajaiban yang bisa membuka jalan—entah kapan, karena hujan tak terlihat kunjung reda. Hari menjelang senja. Hari yang melelahkan.
Bagian ini saya tulis secara post-factum ‘pasca-kejadian’. Untuk melengkapi catatan. Sekaligus agar yang membacanya jadi punya konteks.
Persiapan perjalanan menuju Aceh sudah dimulai sejak Sabtu, 22 November 2025. Rute yang memang sudah direncanakan. Sabtu sore itu saya berangkat dari Jakarta menuju Makassar. Tiba di Makassar 19.30 WITA. Rute perjalanan kami dari Makassar bersama dengan Ketum (Ketua Umum) PMI (Palang Merah Indonesia), Haji Muhammad Jusuf Kalla atau Pak JK.
Ahad (23/11) dan Senin (24/11), kami melakukan kunjungan kerja di dua provinsi: Papua dan Papua Barat. Di Jayapura, kami mengukuhkan pimpinan PMI tiga DOB (Daerah Otonomi Baru) pemekaran. Yakni: Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan. Di Papua Barat, Pak JK melantik pengurus PMI Provinsi Papua Barat dan mengukuhkan pimpinan PMI satu DOB pemekaran (Papua Barat Daya).
Sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pak JK juga melantik pengurus baru DMI provinsi-provinsi tersebut. Saya sempat mengontak secara spontan seorang kawan lama. Muhammad Ramli Rahim, namanya. Ia aktivis yang kini menjadi pengusaha pembibitan tanaman pangan. Bung Ramli mentraktir makan di satu rumah makan ikan bakar, langganan kami.
Selepas makan (yang agak terburu-buru), saya langsung masuk hotel. Pada 21.00 WIT saya harus memberi materi kepemimpinan untuk adik-adik IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama) Kabupaten Brebes. Mereka sedang melaksanakan pelatihan kepemimpinan di Padepokan Kalisoga, dan sudah sejak Oktober minta saya menyampaikan materi. Anak-anak perempuan ini luar bisa. Dua jam lebih, mereka terus mengajukan pertanyaan dan komentar—meski hanya berinteraksi melalui Zoom. Alhasil, acara baru selesai pukul 23.00 WIT lebih.
Bakda subuh, Ahad, 23 November 2025, saya bergegas ke kediaman Pak JK. Setelah diajak sarapan roti bakar dan teh hangat, kami segera menuju bandara. Dengan pesawat pribadi Pak JK, kami menuju wilayah paling timur Nusantara. Dua hari lamanya kami berkegiatan di sana. Di Masjid Besar Jayapura, sebagai Ketua DMI, Pak JK menyampaikan sambutan. Menyapa jemaah. Beliau bercerita tentang sejarah kerasulan nabi Muhammad SAW.
Usia 40 mendapat wahyu (mandat) kerasulan setelah lebih dari separuh usianya menjadi pedagang. Pak JK menekankan, waktunya Nabi Muhammad lebih banyak untuk menjalankan perannya sebagai pedagang (yang amanah) ketimbang sebagai nabi.
“Dan, pada usia 63 tahun Nabi wafat, setelah 23 tahun berperan sebagai pembawa pesan,” kata Pak JK.
Pada kalimat itu, saya merasa makdeg! Pikiran dan hati sontak menerawang.
Entah dari mana datangnya bisikan tersebut. Suasana kala itu pun amat simbolik. Bayangkan, saya tengah berada di sebuah masjid besar. Di wilayah yang sebagian besar penduduknya memeluk Nasrani. Di ujung timur Indonesia. Saat tengah bersiap menuju ke ujung Barat Indonesia. Menuju arah sunset. Ya Tuhan, ini semua apa maknanya?
Benarlah. Senin sore, 24 November 2025, saya mendarat di Jakarta. Pagi besoknya (25/11), saya benar-benar melanjutkan trip ke Aceh. Mengingat sesinya adalah Musyawarah Provinsi PMI Aceh, maka kali ini saya berangkat hanya dengan Tim Pengembangan Organisasi.
Surat Gubernur AcehDinamika menjelang Musprov, sebagaimana terjadi di beberapa provinsi, juga dialami PMI Aceh. Hanya beberapa hari menjelang Musprov, muncul nama-nama yang mendapat surat rekomendasi dari Gubernur Aceh. Untungnya, nama-nama yang muncul tidak memenuhi syarat sebagai calon ketua sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan tata cara pemilihan. Jadi, lebih mudah menjelaskan kepada sang gubernur. Memang kondisi begini semakin sering muncul. Dari sisi positif, artinya minat menjadi pengurus PMI makin kuat.
Tapi di sisi lainnya, kalau tak hati-hati dikelola, bisa menjadi lubang politisasi. Yang muncul sebagai pemimpin bukan orang yang sudah punya asam-garam dan teruji dedikasinya di PMI, melainkan orang-orang yang dekat dan bisa memengaruhi sikap Gubernur sebagai pelindung PMI Provinsi. Pesan kepada Pak Gubernur bahwa nama-nama yang direkomendasikan secara legal-konstitusional ternyata tak memenuhi syarat, kami sampaikan melalui berbagi saluran.
Termasuk melalui Prof Hamid Awaluddin dan Pak JK. Sesampai di Jakarta, Senin sore (24/11), perkembangan makin dinamis. Gubernur Aceh menerbitkan surat yang ditandatangani dengan e-sign. Isinya: PMI Provinsi Aceh agar menunda Musprov sampai waktu yang ditetapkan kemudian. Pak Hamid menelepon.
Demi menghormati surat gubernur, Pak Hamid menyarankan dilakukannya penundaan juga. Saya segera melapor kepada Pak JK, melalui telepon. Entah mengapa, secara spontan saya sampaikan, “Tapi, Pak, saya sebaiknya tetap berangkat ke Aceh, menemui panitia dan pengurus PMI yang sudah menyiapkan segala sesuatunya.”
“Setuju. Anda terus saja ke Aceh. Nanti saya coba komunikasi dengan Mualim (panggilan akrab Gubernur Aceh Muzakkir Manaf),” balas Pak Hamid. Setelah itu, saya mencoba menenangkan teman-teman pengurus dan panitia Musprov.
“Pak Murdani, sampaikan salam saya kepada semua teman. Saya tetap akan menuju Aceh besok (25/11) pagi. Tapi, sebaiknya Musprov memang ditunda, mengikuti arahan pelindung. Nanti sewaktu kita kumpul di Takengon, kita diskusikan apa-apa yang sebaiknya kita lakukan menuju hari yang dianjurkan Pak Gubernur.”
Pak Murdani Yusuf, Ketua PMI Aceh periode 2020-2025 yang akan mengakhiri masa bakti pertamanya itu, menyatakan setuju. Dan tetap antusias.
Banda Aceh-Takengon 8 Jam yang KuyupSelasa pagi (25/11) saya terbang ke Aceh. Baru saja duduk, datang telepon dari Ketum PMI, Pak JK. Begini kata beliau, “Dirman, saya baru saja bicara dengan Gubernur Aceh. Rencana Musprov dilanjutkan saja. Pak Gubernur sudah memberi persetujuan. Tidak ada masalah.”
Alhamdulillah. Sebelum take off, saya kirim pesan WA kepada Pak Murdani, “Saya berangkat. Pesan dari Pak Ketum, Musprov tetap jalan. Pak Gubernur sudah memberi clearance.”
Mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, pukul 11.15 WIB. Alhamdulillah. Segera setelah keluar dari pesawat, kami disambut tim besar PMI Aceh. Ada Ketua PMI Kota Banda Aceh, Bang Ahmad Haiqal Asri, pengusaha muda. Ada ketua Bidang Relawan PMI Provinsi Aceh, Bung Ansari Muhammad.
Juga ada Pak Taqwallah, sahabat lama sejak di BRR, yang membantu reformasi di Kementerian ESDM dan belakangan jadi Sekda Aceh periode 2019-2022 semasa Gubernur Irwandi Yusuf hingga Nova Iriansyah. Yang mengejutkan, ada Mantan Ketua PMI banda Aceh, Dedi Sumardi Nurdin. Rupanya satu pesawat. Di bandara seperti reuni teman-teman lama dan keluarga besar PMI. Hangat. Penuh canda dan ceria.
Kami diajak makan di dekat bandara. Persis pukul 12.00 WIB, kami berangkat ke arah Takengon. Sejak mendarat di Blang Bintang, kami sudah disambut hujan. Cukup deras. Begitu pun selama perjalanan dari Aceh Besar, Sigli, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Bener Meriah, sampai Takengon. Hujan tak pernah berhenti sedikit pun. Jelang Bireuen, kami berhenti untuk salat jama’, di Socolatte. Musala tergenang air. Kami basah kuyup karena tak siap jas hujan dan payung. Perjalanan lanjut. Sampailah kami di kediaman resmi, rumah dinas, Bupati Aceh Tengah, Bapak Haili Yoga. Hujan bukan saja mengiringi, tapi terasa makin lebat.
Rombongan peserta Musprov malam itu resmi dijamu makan di sana. Saya memperkenalkan diri. Kami larut dalam obrolan sambil makan malam. Berkali-kali Pak Bupati menawarkan menginap di Takengon. Alamnya sangat indah. Danau dan sungai sudah ditata sebagai destinasi wisata yang laris dikunjungi.
“Bisa camping di bukit atas danau,” kata Bupati Haili.
Saya jawab, “Insyaallah. Lain kali, saya akan ajak keluarga, khusus untuk berwisata, Pak. Terima kasih sudah dijamu makan enak. Kebetulan, malam ini, setelah selesai acara, saya harus kembali ke Banda Aceh untuk mengejar pesawat paling pagi. Karena malamnya saya harus terbang ke Kyoto.”
Malam yang basah dan hujan deras mengiringi pamitan kami dari rumah dinas bupati menuju hotel tempat kami beracara. Pukul 20.30 WIB, dimulailah Musprov secara resmi. Persiapan memang sudah matang. Yang hadir, para pimpinan PMI dari 23 kabupaten/kota se-Provinsi Aceh sudah menyepakati secara informal agenda maupun beberapa keputusan penting.
Ini memang sudah menjadi tradisi di PMI, apabila tidak ada soal-soal yang rumit, maka Musyawarah Kota/Kabupaten, Musyawarah Provinsi, hingga Musyawarah Nasional, biasanya berlangsung adem dan penuh damai.
Seperti itulah yang berlangsung pada Selasa (25/11) malam. Sidang Musprov dibuka resmi. Sidang sementara, selesai (disepakati agenda, tata tertib, dan pimpinan sidang tetap). Lalu dilanjut dengan pertanggungjawaban pengurus lama, pemandangan umum dari peserta, penerimaan pertanggungjawaban, penjaringan calon ketua, pemilihan ketua, dan pembentukan formatur. Semua berjalan mulus. Dalam waktu tidak lebih dari dua jam, prosesi formal Musprov rampung. Saya lega. Merasa mission acomplished.
Setelah Musprov ditutup pada 22.00 WIB lebih sedikit, sesi berikutnya adalah foto-foto. Pak Murdani Yusuf terpilih sebagai Ketua PMI Aceh untuk periode kedua. Dia memang ketua dengan dedikasi yang kuat, berhasil membawa PM Aceh keluar dari krisis setelah sebelumnya nyaris kolap karena kehabisan uang seiring munculnya cerita fraud dan penggelapan aset.
Dengan sumber daya terbatas dan kadang-kadang menggunakan dana pribadi, Pak Murdani juga berhasil membangun kekompakan dan komunikasi dengan seluruh kabupaten/kota, pimpinan pusat, dan juga Pemerintah Aceh. Suatu prestasi yang membuatnya layak dipilih kembali.
Pukul 22.30 WIB kami pamit meninggalkan Takengon. Di luar, hujan lebat. Mas Yuki, yang menyertai saya sejak dari Jakarta, memutuskan untuk stay di Takengon. Ia ada urusan dengan Pak Bupati soal cabai dan jagung. Pak Bupati meminta Mas Yuki datang besok ba'da subuh. Mas Yusuf saya minta stay untuk menuntaskan formalitas Musprov yang akan dihadiri Pak Bupati dan utusan Gubernur Aceh.
Takengon-Bireun yang MenegangkanHujan deras menemani sepanjang jalan kami. Nyali mulai agak ciut, karena jalur Takengon-Bireuen melintasi bukit-bukit konon suka ambrol di musim hujan. Benar saja, genangan mulai tampak. Lumpur di jalan terlihat mulai muncul. Beberapa titik bukit ambrol, menutup jalan. Satu jam perjalanan (yang amat lambat), kendaraan mengular, berhenti.
Teman dari PMI Banda Aceh, Bung Ansari Muhammad, beserta timnya, turun dalam hujan. Mengecek apa yang terjadi di depan. Tanpa jas hujan. Hanya berpayung seadanya. Rupanya ada pohon tumbang. Di kiri jalan. Persis di depan retakan menjelang longsor ke arah kanan. Alhasil, badan jalan yang aman tertutup pohon pun tak bisa dilewati.
Teman-teman PMI, dengan peralatan seadanya, mengajak pengendara yang terhalang untuk bergotong-royong memotong pohon. Lalu menyingkirkannya. Perlu setengah jam untuk menyelesaikan urusan pohon. Selanjutnya adalah drama melintasi lumpur, genangan, dan menunggu surut. Ini berlangsung hingga jelang subuh. Pukul 03.30 WIB, pengemudi mobil mengantuk. Butuh istirahat. Maklum, sejak 10.00 WIB sudah stand by di bandara.
Kami berhenti sambil menunggu air surut. Mencari kedai kopi. Mencari SPBU. Malam itu, syukurlah masih ada SPBU yang punya stok, dan buka. Perjalanan setengah mengantuk ini terus berlangsung hingga pukul 07.00 WIB, dan terhenti di Bireuen. Kami tidak bisa bergerak lagi. Pasalnya, yang ke arah Timur, terhalang di Kota Bireuen yang makin tinggi airnya. Yang ke arah Barat, terhalang di Peudada yang airnya juga kian naik.
Berkali-kali kami mencoba bergerak ke arah Barat, tapi selalu dicegah oleh para pejalan dan warga. Enggak akan bisa melewati genangan air. Ada yang semeter. Ada yang setinggi pinggang. Ke arah Barat, terhalang di Peudada dan tiga titik terberat. Ke arah Timur, terhenti di kota Bireuen, Aceh Utara, dan Langsa. Pendek kata, segenap penjuru kami dikepung air.
Selama masih ada sinyal, saya berusaha posting di Instagram. Serta kirim-kirim pesan ke sejumlah kolega. Sesekali diselingi permohonan bantuan evakuasi. Pesan saya kirimkan ke Pak Ketum PMI, Pak Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman, Pak Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim, sampai Pak Yadi, asisten pribadi Pak JK.
Belakangan, setelah terputus sinyal dua hari, pada hari ketiga (26/11), saya tahu bahwa semua yang saya mintai tolong berusaha mengirim tim evakuasi berserta persiapan heli. Tetapi, memang tidak mungkin menembus wilayah Bireuen dalam keadaan hujan lebat dan tanpa sinyal komunikasi.
Saat menulis ini, Rabu (26/11), saya sudah kehilangan tiga tiket pesawat yang dipesan. Saya tengah berada nun jauh di tengah banjir. Saya terus berpikir, bagaimana caranya memberi kabar kepada keluarga yang sudah 24 jam lebih putus komunikasi. Yang lebih mencekam sebenarnya adalah memikirkan: apa yang dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh yang telah berhari-hari kehilangan daya listrik dan tak bisa berkomunikasi, termasuk lumpuhnya seluruh instansi pemerintah. Kata-kata “lumpuh” terdengar terus di Puskesmas, Koramil, Polres, hingga kedai-kedai.




