Bisnis.com, JAKARTA- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggara (Fitra) menilai pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi, atas izin pemerintah, tidak sebanding dengan kerusakan ekologis yang tercipta.
Gulfino Guevarrato, Manajer Hukum HAM dan Demokrasi Sekretariat Nasional Fitra mengatakan, berdasarkan perkembangan pengukuhan kawasan sampai dengan April 2011, luas kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia adalah 130,68 juta ha.
Berdasarkan Statistik Kementerian Kehutanan 2024, luas kawasan hutan dan perairan di Indonesia menjadi 125,5 juta Ha. Dengan demikian, secara nasional, telah terjadi pengurangan luasan Kawasan hutan, seluas 5j uta Ha dalam kurun waktu 13 tahun terakhir.
“Luas Provinsi Jakarta 661,52 km atau 66.400 Ha. Luasan hutan Indonesia yang hilang mencapai 75 kali dari luas Provinsi Jakarta,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).
Di Aceh, terangnya, hutan konservasi dalam 10 tahun terakhir mengalami penyusutan hingga 27% atau sekitar 282.000 Ha. Sedangkan hutan lindung pun mengalami penyusutan mencapai 6% atau mencapai 113.000 Ha.
Di daerah itu, total kawasan hutan yang harusnya dilindungi karena bukan merupakan hutan produksi, justru hilang dengan luasan mencapai 395.000 Ha.
Sementara itu menurutnya, di Sumatra Utara dari 2014 -2024, hilangnya hutan lindung mencapai 40%. Jadi secara total di Aceh, Sumatra Utara dan Barat, telah kehilangan hutan dalam 10 tahun mencapai 1,2 juta Ha.
“Data dari statistik Kehutanan ini menjadi bukti nyata bahwa tata kelola kehutanan di Indonesia mengalami kegagalan struktural, terutama dalam fungsi perlindungan kawasan konservasi dan hutan lindung,” tambahnya.
Fitra menilai bahwa pengalihan fungsi hutan tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi karena bencana alam akibat kerusakan ekologi. Misalkan di Aceh, Total luas Kawasan Aceh yang dibebankan PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) seluas 207.177 Ha.
PNBP yang dihasilkan oleh hutan di Aceh ‘hanya’ Rp 199 juta untuk PNBP Dana Reboisasi (DR) dan Rp 632 juta untuk PNBP Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Jumlah ini timpang dengan kerusakan akibat bencana banjir di mana jumlah korban di provinsi itu mencapai 50.772 kepala keluarga atau 150.164 jiwa, pengungsi 31.179 kepala keluarga atau 103. 740 jiwa.
“Kemudian korban meninggal dunia sebanyak 85 jiwa dan hilang 90 orang. Sawah terendam 12.783 ha, tambak 10.653 ha, irigasi hancur,” terangnya.
Jika dhitung, maka total kerugian yang harus diterima masyarakat dan pemerintah akibat bencana alam, yang sebenarnya merupakan dampak dari tata kelola ekologis yang buruk, mencapai Rp 10 triliun.
Karena itu, Fitra menyerukan reformasi tata kelola perizinan hutan, pemulihan kawasan konservasi dan hutan lindung, sera mengintegrasikan kebijakan kehutanan dengan mitigasi bencana.
Selain itu, perlu juga melakukan reformulasi pendekatan ekonomi kehutangan dengan cara mengakhiri ketergantungan pada perizinan eksploitasi hutan sebagai sumber pendapatan negara, dan mengembangkan instrumen ekonomi berbasis jasa lingkungan seperti kredit karbon, jasa lingkungan air dan sebagainya.
“Cara berikutnya, menyusun kajian nilai ekonomi yang mempertimbangkan kerugian eksternal, sehingga kebijakan tidak hanya berorientasi PNBP jangka pendek,” pungkasnya.




