FAJAR, MAKASSAR – Respons cepat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kembali menjadi faktor penting dalam penanganan bencana di Aceh.
Setelah sebelumnya mengirim tim medis pada awal Desember, Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, kembali memimpin langsung penyaluran bantuan lanjutan—termasuk pengerahan 100 tenaga kesehatan—untuk korban banjir di Aceh Tamiang, Kamis, 11 Desember 2025.
Salah satu anggota tim yang pertama diterjunkan pada fase awal adalah dr. Muh Ilham Iskandar, SpPD. Saat dihubungi, ia masih mengingat jelas suasana ketika tim relawan memasuki Pidie Jaya.
Udara lembap, bau lumpur pekat, jalan yang rusak, serta bangunan yang porak-poranda menyambut mereka bahkan sebelum melihat pusat lokasi terdampak. “Gambaran itu sulit dihapus dari ingatan,” ujarnya.
Menurut dr. Ilham, langkah cepat Gubernur Sulsel menjadi penentu keberhasilan mobilisasi awal ke Aceh. “Dalam satu malam, Bapak Gubernur langsung bentuk tim dan mengirim kami ke tiga provinsi terdampak. Itu sebabnya kami bisa bergerak cepat,” katanya.
Tim medis Sulsel awalnya mendarat di Banda Aceh untuk melapor ke Posko HEOC. Mereka kemudian diarahkan ke Kabupaten Pidie Jaya dan berkoordinasi dengan Tim RSUD Pidie Jaya dan tim relawan lainnya.
Melalui kolaborasi lintas lembaga Pemprov Sulsel membangun Sinergitas dengan tim relawan lain seperti Tim Medis Unhas, Tim Medis Unsyiah, TBM Calcaneus, dan Siaga Ners Unhas. Respon yang sangat baik juga dari tim RSUD Pidie Jaya yang menyediakan kami sarana ambulans sehingga mobile klinik bisa terlaksana. Empat hari penuh, tim bergerak dari Desa Beringin, Manesah Balek, Teupin Pukat, hingga Seunong.
Menurut dokter spesialis interna yang bertugas di RS. Sayang Rakyat ini, setiap titik menunjukkan kebutuhan medis yang tinggi: ISPA, penyakit kulit, luka infeksi, dan diare, terutama pada anak-anak. “Ada yang sudah beberapa hari belum mandi karena air bersih tidak ada,” ungkap dr. Ilham. Rata-rata 100–150 pasien ditangani setiap hari.
Di lapangan, dr. Ilham tidak bekerja sendirian. Ia ditemani tim spesialis yang terdiri dari: dr. Pasrah Kitta, Sp.An (Dokter Spesialis Anestesi); dr. M. Alief Akbar, Sp.A (Dokter Spesialis Anak) dan H. Arsyad, S.Kep., Ns. (Perawat Penata Anestesi) didukung tim medis dan relawan lainnya.
Formasi ini memungkinkan tim memberikan pelayanan mobile clinic, kunjungan rumah kepada warga yang tidak mampu datang ke posko, serta membantu layanan operasi di rumah sakit.
Banjir besar tidak hanya merusak infrastruktur dan mengguncang aktivitas ekonomi, tetapi juga melumpuhkan layanan kesehatan di Pidie Jaya. Banyak tenaga kesehatan RSUD turut menjadi korban sehingga mereka harus membagi waktu antara menjaga pasien dan mengurus keluarga.
Dalam kondisi ini, kolaborasi tim medis Pemprov Sulsel dan relawan lainnya menjadi penguat utama layanan rumah sakit. Mereka memperkuat IGD, instalasi perawatan, hingga ruang operasi yang mengalami kekurangan personel.
Di kamar operasi RSUD Pidie Jaya, dokter spesialis anastesi Pemprov Sulsel berkolaborasi dengan dokter spesialis dari Tim Unhas dan dokter spesialis RSUD Pidie jaya melakukan pelayanan operasi emergency seperti operasi caesar, kasus patah tulang, debribdement luka dan beberapa kasus lainnya yang membutuhkan penanganan segera.
“Kolaborasi Tim Medis Pemprov dan relawan lain sangat membantu pelayanan kesehatan di sana,” ucapnya.
Kendala distribusi obat dan terputusnya akses jalan membuat peran tim relawan semakin vital dalam menjaga layanan tetap berjalan. Pemprov juga membawa banyak obat-obatan yang sangat berguna dalam pelayanan. Termasuk obat anastesi. “Kehadiran tim menjadi napas tambahan bagi rumah sakit,” ujar dr. Ilham.
Selain mobile clinic dan layanan RSUD, tim juga melaksanakan kunjungan rumah ke warga yang tidak mampu datang ke posko kesehatan. Banyak di antaranya adalah lansia, pasien dengan penyakit kronis, hingga pasien anak membutuhkan pendampingan obat.
“Kami juga melakukan kunjungan rumah ke beberapa warga yang tidak bisa ke RS ataupun ke poskes,” jelasnya.
Mereka turut menyalurkan bantuan logistik berupa makanan siap konsumsi dan paket alat mandi kepada penyintas yang tinggal di tenda-tenda pengungsian. Kondisi di lokasi tidak mudah: tenda berdesakan, pakaian basah dijemur seadanya, air bersih sangat terbatas, dan risiko penyebaran penyakit meningkat.
Bagi dr. Ilham, misi kemanusiaan tersebut menegaskan bahwa batas administratif provinsi hilang ketika menghadapi penderitaan warga.
Ia juga menyaksikan solidaritas yang kuat antara tenaga medis hingga warga lokal yang membantu mengatur alur pasien.
“Yang sering tidak terlihat itu beban mental tim medis. Kadang yang paling dibutuhkan warga adalah ada orang yang mau mendengar cerita mereka, bukan cuma memberi obat,” ucapnya.
Ia menambahkan, semangat yang terus ditunjukkan Gubernur dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi penyemangat tim di lapangan.
“Motivasi dan semangat yang diberikan Bapak Gubernur dan Bu Kadis Kesehatan menjadi sumber energi tambahan bagi seluruh anggota tim di tengah tekanan dan kelelahan di lapangan,” sebutnya.
Dari perspektif kesehatan masyarakat, ia menilai fase pasca-evakuasi justru lebih berbahaya. Penyakit berbasis air, ISPA, infeksi kulit, hingga pneumonia anak dapat meningkat cepat jika sanitasi tidak membaik.
“Lima hari itu singkat, tetapi padat makna. Harapan kami, setelah berita berlalu, orang tetap ingat bahwa warga di sini butuh lebih dari sekadar bantuan hari ini,” pungkasnya.
Pengalaman tim medis Pemprov Sulsel di Aceh menunjukkan bahwa bencana Pidie Jaya bukan hanya darurat kesehatan, tetapi juga seruan untuk memperkuat kebijakan adaptasi iklim dan pemulihan jangka panjang. Termasuk negara hadir melalui tenaga kesehatan yang bergerak cepat dan meninggalkan dampak nyata bagi warga yang paling membutuhkan.(uca)



