- Komisi Percepatan Reformasi Polri mempertimbangkan usulan agar Presiden menunjuk Kapolri langsung tanpa persetujuan DPR.
- Usulan tersebut muncul dari Purnawirawan Polri karena mekanisme persetujuan DPR dianggap memicu politik balas jasa.
- Beberapa ahli menyarankan solusi alternatif, seperti pembatasan masa jabatan dan pembentukan Panitia Seleksi independen.
Suara.com - Wacana besar tengah digulirkan dari Gedung Sekretariat Negara.
Di tengah upaya mempercepat reformasi di tubuh Bhayangkara, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, menegaskan pihaknya tengah serius mempertimbangkan usulan pemilihan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ditunjuk langsung oleh Presiden, tanpa perlu lagi mengetuk pintu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Usulan ini bukan datang dari ruang hampa. Ide tersebut dilemparkan langsung oleh mantan orang nomor satu di Korps Bhayangkara, Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar, saat memimpin rombongan Persatuan Purnawirawan (PP) Polri menemui Jimly dan timnya di Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025).
Keresahan para purnawirawan jenderal ini bermuara pada satu hal: politik balas jasa.
Selama ini, mekanisme yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 mengharuskan Presiden mengajukan nama calon Kapolri untuk mendapatkan persetujuan DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
Namun, PP Polri menilai proses di Senayan ini justru menanam benih konflik kepentingan yang menghambat Kapolri terpilih dalam menjalankan tugasnya secara profesional.
Realitas Transaksional di Senayan
Kekhawatiran mengenai beban politik ini diamini oleh pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto.
Bambang melihat apa yang disampaikan Da'i Bachtiar adalah refleksi nyata dari pengalaman memimpin institusi tersebut.
Baca Juga: DPR 'Beri Dua Jempol' untuk Komdigi: 3,3 Juta Konten Judi Online Lenyap dari Internet RI
Keterlibatan DPR kata Bambang, sering kali bukan sekadar pengawasan, melainkan membuka celah transaksional, mulai dari titip-menitip jabatan hingga menjadikan Polri alat politik.
"Realitas yang terjadi seperti itu," ujar Bambang saat dihubungi Suara.com.
Kendati sepakat bahwa intervensi politik Senayan mengganggu profesionalisme, Bambang menilai mengubah mekanisme pemilihan bukan satu-satunya "obat kuat" untuk reformasi Polri.
Menurutnya, hal substantif yang justru mendesak adalah pembatasan masa jabatan Kapolri—idealnya tiga tahun—serta penguatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Ia menyarankan Kompolnas dipilih lewat DPR untuk memberikan masukan kebijakan, mengusulkan nama Kapolri, hingga pemberhentiannya.
"Sekaligus untuk membangun kaderisasi kepemimpinan Polri," tambah Bambang.



