Sore itu, teras rumah kembali diselimuti aura kegembiraan, menjelma menjadi panggung utama bagi keceriaan anak-anak yang polos dan apa adanya. Di bawah hamparan langit senja yang masih memancarkan warna-warna cerah, setiap langkah kaki saya disambut oleh orkestra tawa riang dan sorak-sorai mereka.
Pemandangan ini memang sudah menjadi rutinitas menjelang petang, tetapi selalu ada daya tarik misterius yang membuat teras ini ramai dan terasa hangat setiap harinya.
Saya memutuskan untuk menghentikan langkah. Ada dorongan lembut yang mengajak saya untuk memperhatikan sejenak aktivitas mereka. Pandangan saya terfokus pada permainan yang sedang mereka nikmati. Dari perspektif orang dewasa, permainan itu tampak begitu bersahaja, bahkan bisa dikatakan sangat tidak ada istimewanya.
Permainan itu bernama kartu tepuk. Sebuah aktivitas sederhana yang kini menyimpan pertanyaan kecil di benak saya: Mengapa tawa mereka terdengar begitu berharga dan penuh makna?
Kontradiksi dalam Permainan TradisionalSaya masih terpaku di sana, pandangan saya tak lepas dari mereka. Sebagai orang dewasa, ada sebuah teka-teki kecil yang menggelitik pikiran: permainan ini menyimpan kontradiksi yang manis—rasa sakit yang sengaja diterima demi sebuah kemenangan.
Di dalam hati, saya mengamati: Lihatlah semangat mereka. Anak-anak ini begitu gigih. Mereka menumpuk kartu itu, lalu dengan sekuat tenaga mereka menepuknya. Jelas, sebuah hentakan keras sangat dibutuhkan agar kartu-kartu itu bisa terbalik. "Pasti tangan mereka sakit," batin saya heran sekaligus kagum melihat kegigihan mereka.
Saat seorang anak (Ahdan) mencoba menepuk, suaranya terdengar nyaring, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tangan Ahdan langsung tampak memerah. Saya mendekat.
Saya: "Nak, tanganmu memerah. Itu pasti ngilu, kan? Memang tidak sakit menepuk sekeras itu?"
Seorang anak lain (Fika) yang berdiri di sampingnya menjawab sambil tertawa kecil.
Fika: "Sedikit ngilu, Tante. Tapi, kalau berhasil membalikkan kartu, rasa sakitnya hilang semua! Kita kan dapat banyak kartu!"
Ahdan mengelus telapak tangannya, tetapi ia segera menepis rasa sakit itu.
Ahdan: "Sedikit... tapi tidak apa-apa! Sebentar lagi giliranmu, Fika. Pasti lebih sakit!"
Fika: (Berlagak menyombongkan diri) "Namanya juga main! Kalau tidak ada rasa ngilu-nya, tidak seru! Lagipula, kemenangan yang ku dapat nanti pasti lebih banyak daripada rasa sakit di tangan."
Saya hanya tersenyum simpul, menemani mereka. Mereka menerima rasa sakit kecil itu sebagai harga yang harus dibayar dalam setiap upaya. Saya kembali merenung: Apa untungnya sih menang kalau tangan mereka harus sakit?
Mungkin, nilai dari selembar kartu yang mereka dapatkan itu jauh melampaui rasa sakit fisik yang datang sekejap. Itu adalah nilai dari sebuah usaha yang berhasil—pelajaran sederhana pertama mereka tentang arti sebuah konsekuensi dan pencapaian.
Misteri Abadi Dunia Anak dan Warisan Tahun 90-anDi sinilah letak muara perenungan saya, pada keunikan dunia anak yang acap kali terasa seperti teka-teki, sulit dijangkau oleh logika kaku kaum dewasa. Padahal, kita semua—setiap orang dewasa yang kini memikul beban pikiran—sesungguhnya pernah melewati fase itu, menikmati permainan yang sama membahagiakannya pada masanya. Kita hanya lupa.
Dan kini, di hadapan saya, permainan kartu tepuk hadir bukan sekadar aktivitas biasa, melainkan sepotong memori kolektif, salah satu permainan tradisional yang sempat lama tidak lagi menjadi favorit anak-anak. Permainan ini sendiri pertama kali populer di era tahun 90-an dan kini bangkit kembali seolah tak lekang dimakan waktu.
Yang membuat saya terkejut sekaligus sedikit malu adalah kenyataan bahwa saya baru benar-benar menyadari kedalaman permainan ini sekarang, justru melalui anak saya sendiri. Fenomena ini seolah menjadi pengingat lembut betapa berharganya warisan budaya bermain ini.
Hak dan Manfaat BermainPerlu kita pahami: bagi anak-anak, bermain bukanlah sekadar mengisi waktu luang, melainkan sebuah hak dasar dan kebutuhan esensial yang harus terpenuhi. Aktivitas ini menjelma menjadi ruang nyata yang sangat berharga untuk membangun fondasi perkembangan mereka secara menyeluruh.
Melalui bermain, anak-anak terdorong untuk mengembangkan kreativitas berpikir, melatih fungsi sensori dan motorik, serta mengasah kemampuan bersosialisasi. Sebaliknya, jika fase krusial ini terlewatkan atau tidak terpuaskan, hal itu berpotensi meninggalkan 'pekerjaan rumah' besar dalam pola pengasuhan di tahap perkembangan berikutnya.
Kembali pada kartu tepuk, permainan ini jauh lebih kompleks daripada adu kekuatan otot tangan belaka. Sejatinya, ia adalah arena asah otak yang ampuh untuk melatih kecerdasan strategis anak. Setiap anak didorong merumuskan taktik: Bagaimana cara menepuk yang paling efektif agar kartu bisa terbalik dan menjadi miliknya?
Lebih dari itu, di arena bermain yang jujur ini, mereka juga secara otomatis dilatih untuk bersabar menunggu giliran, belajar menerima kekalahan dengan lapang dada, dan bahkan diasah untuk berempati kepada teman yang kurang beruntung atau kalah dalam putaran tersebut. Permainan ini adalah sekolah karakter mini di teras rumah.
Strategi dan Karakter di balik TepukanMelihat anak-anak tertawa lepas dan berinteraksi langsung, saya sadar betul bahwa permainan tradisional seperti ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan berlama-lama di depan gawai atau gadget.
Apalagi, paparan gawai yang tidak diawasi intensif berpotensi memicu berbagai masalah. Misalnya, risiko kecanduan, kemungkinan mengakses konten dewasa secara tidak sengaja, hingga memunculkan sifat negatif, seperti gampang marah atau berani melawan.
Sebaliknya, permainan kartu tepuk menawarkan pelajaran hidup yang sangat berharga. Begitu mengharukan melihat mereka berbagi atau bertukar kartu setelah memenangkan banyak putaran.
Sikap berbagi ini secara otomatis melatih empati dan menumbuhkan kedermawanan, soft skill krusial yang sulit diajarkan oleh layar digital. Jika terus dipelihara, kebiasaan baik ini akan membentuk perilaku positif dan matang di masa depan.
Alternatif Positif di tengah Dominasi GawaiFaktanya, menyempitnya lahan bermain akibat padatnya pemukiman telah membuat ruang gerak anak semakin terbatas, sehingga waktu bermain mereka pun didominasi oleh gawai.
Dalam situasi keterbatasan ini, kartu tepuk hadir sebagai alternatif pilihan yang bijak—memastikan anak-anak tetap bisa mendapatkan hak bermain mereka, meskipun dalam kondisi yang serba terbatas.
Inilah saatnya bagi kita—kaum dewasa—untuk peduli. Kita perlu merangkul kembali anak-anak ini, mengajak mereka menikmati keindahan mainan tradisional.
Di masa lalu, permainan seperti ini terbukti telah melahirkan generasi yang cemerlang—mereka yang kreatif dan tangguh. Saat itu, segala peluang untuk mengembangkan kreativitas dan karakter mereka telah terfasilitasi dengan sangat baik, meskipun tanpa disadari oleh anak-anak.
Oleh karena itu, permainan tradisional bukan hanya sekadar nostalgia, melainkan sebuah warisan berharga yang wajib kita jaga kelestariannya. Sebab, di dalam setiap tepukan kartu, tersimpan pelajaran hidup yang jauh lebih bermakna daripada layar digital mana pun.





