Belakangan ini, segala hal yang berhubungan dengan Jawa sering kali selalu dikaitkan dengan fenomena sound horeg, kesurupan, dan beragam hal yang dipandang dengan konotasi negatif lainnya di mata masyarakat. Padahal, jika dilihat melalui lanskap yang lebih luas, Jawa memiliki sejarah, makna, dan jawaban yang dalam terhadap peradaban, ilmu pengetahuan, dan kehidupan.
Mundur ke abad 13, kita mengenal Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara. Kalau bicara era Majapahit, kita sering kali mendengar nama Patih Gajah Mada. Tidak hanya di daratan, tetapi di lautan armada Angkatan Laut Majapahit juga dikagumi dan dipuji kehebatannya, bahkan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Puncak kejayaan maritim itu terjadi di bawah kepemimpinan Sang Laksamana Nala alias Mpu Lembu Nala.
Menyeberang ke dunia ilmu pengetahuan alam, Yogyakarta memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan ilmu bumi yang dipelajari oleh para peneliti dari Barat. Para naturalis datang ke Yogyakarta untuk belajar banyak tentang vulkanologi, kronostatigrafi, dan antroposen.
Pada zaman kolonial, para peneliti Barat belajar tentang geologi dan ritual lokal dari para pemandu Kesultanan Yogyakarta dan ritualis yang menganggap gunung berapi sebagai entitas hidup dengan "detak nafas" (aktivitas tektonik). Hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dengan proses geologis inilah yang dianggap menjadi cikal bakal pemahaman geografi modern karena mereka menuntun pengumpulan data di lokasi ritual dan menjadikan Yogyakarta sebagai "tempat lahir" geografi dalam konteks tertentu.
Prof. Bagus Putra Muljadi—yang merupakan asisten professor dari University of Nottingham—pernah mengatakan bahwa aksis antara Merapi, Keraton, dan Laut Selatan merupakan manifestasi geologis yang sangat luar biasa. Ada jalur tektonik yang menjembatani aliran magma dari Laut Selatan ke Gunung Merapi, kemudian ejawantahnya dalam mitos atau mitologi Jawa itu dikenal sebagai Sumbu Filosofi Kosmologis Yogyakarta.
Ia juga mengatakan ada landasan ilmu pengetahuan yang membuat Yogyakarta bisa berbicara banyak perihal masalah mitigasi, bencana alam, perubahan iklim, dan lingkungan hidup.
Masuk dalam hal kehidupan—di era hustle culture dan kerja tanpa henti—banyak Gen Z yang merasa cemas kalau tidak produktif. Padahal, terlalu fokus mengejar validasi atau target kecil justru bisa membuat kita kehilangan arah, waktu, bahkan kesehatan mental. Dalam hal ini, padahal filosofi Jawa sudah mengajarkan kita tentang Amburu uceng kelangan deleg (mengejar hal kecil, malah kehilangan yang besar).
Di sisi lain, Jawa juga mengajarkan tentang Sawang Sinawang (hidup ini soal cara pandang). Media sosial sering kali membuat kita iri pada pencapaian orang lain. Kita lupa bahwa yang tampak indah belum tentu benar-benar bahagia.
Dari Sawang Sinawang kita belajar bahwa setiap orang memiliki bebannya masing-masing dan jangan pernah mengukur kehidupan kita dari penggaris orang lain.
Ternyata jika kita ingin menyelam lebih dalam, Jawa memiliki hal yang begitu luar biasa dalam berbagai hal. Mulai dari sejarah, ilmu pengetahuan, hingga kehidupan. Namun sebagai kaum muda, acap kali kita enggan untuk menyelam lebih dalam. Padahal, jawaban akan segala pertanyaan—yang selama ini mengapung dalam pikiran kita—sudah pernah dijawab oleh para leluhur kita terdahulu.



