Tadpole menjadi skema yang diterapkan di industri pinjaman daring (pindar). Pola pembayaran ini merujuk pada bentuk cicilan yang menyerupai kecebong yaitu kepala besar, badan kecil, ekor meruncing. Dalam hal ini, tagihan terbesar dibebankan pada awal tenor.
Skema cicilan dengan beban besar di awal dinilai membuat biaya efektif bagi peminjam menjadi 3 sampai 4 kali lebih tinggi, meski suku bunga flat terlihat sama. Pola ini berpotensi menyulitkan peminjam, khususnya yang mempunyai literasi keuangan terbatas. Hal itu tidak sejalan dengan prinsip manfaat ekonomi OJK.
Kondisi tersebut tentu berbeda dengan struktur pinjaman biasa, yaitu total utang dan bunga dibagi rata. Sehingga memungkinkan konsumen membayar jumlah yang sama di setiap periode.
Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, mengatakan skema tadpole memang bisa memberatkan konsumen, tetapi bisa menguntungkan perusahaan pemberi pinjaman.
Huda lalu memberikan contoh hitungan pinjaman biasa dengan tadpole. Dengan pokok utang Rp 1.000.000 dan bunga Rp 300.000, total kewajiban peminjam menjadi Rp 1.300.000.
Jika memakai skema tadpole (3x cicilan):
Cicilan 1: Rp 700.000
Cicilan 2: Rp 400.000
Cicilan 3: Rp 200.000
Pada skema itu, sebagian besar kewajiban terserap di awal dan pokok utang lunas pada cicilan kedua. Untuk konsumen yang meminjam karena kekurangan dana, cicilan pertama Rp 700.000 tentu bisa memberatkan..
Jika memakai skema cicilan biasa:
Total kewajiban Rp 1.300.000 dibagi rata sekitar Rp 433.000 per cicilan (3 periode).
Beban pembayaran biasa itu lebih kecil dan stabil. Sehingga bisa memudahkan pengelolaan keuangan.
Huda mengusulkan pendekatan yang lebih fleksibel. “Jika ingin melakukan hal tersebut adalah tidak mewajibkan pembayaran di awal yang besar, tapi konsumen diperbolehkan untuk membayar cicilan secara besar di awal,” tutur Huda.
Riset Segara Ungkap Pola Utang Warga RI: Pilih Pindar karena Cepat CairSegara Institute memaparkan hasil riset terbaru terkait potret sumber pembiayaan dan perilaku peminjam di Indonesia yang dilaksanakan pada Juni sampai Juli 2025. Survei ini dilakukan di 20 daerah dengan total 2.118 responden dari berbagai latar belakang usia, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.
Data survei menunjukkan, pada saat mengalami defisit keuangan itu ada sebanyak 39,05 persen masyarakat memilih meminjam keluarga. Kemudian sebanyak 29,37 persen mengandalkan pindar. Lalu, pinjam ke teman 19,74 persen, sementara pinjam bank hanya 8,45 persen. Survei tersebut juga menunjukkan pindar ternyata menjadi sumber pinjaman nomor satu di provinsi dengan pusat ekonomi besar yaitu Jawa Timur sebesar 50,87 persen, Banten 51,93 persen, dan DKI Jakarta 35,86 persen.
Dalam survei juga dibahas mengenai masyarakat yang mencicil pinjamannya menggunakan skema tadpole. Dalam beberapa kasus, porsi terbesar di awal tersebut tidak hanya terjadi dari sisi jumlah pembayaran, tetapi juga frekuensi pembayaran yang lebih sering, sehingga tekanan cicilan lebih berat pada awal tenor.
Responden yang mengalami skema pembayaran tadpole adalah mereka yang benar-benar dalam posisi terdesak, membutuhkan uang segera untuk menutup kebutuhan darurat seperti keluarga sakit atau biaya pendidikan anak.
Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, menilai dengan cicilan yang stabil, skema biasa memberi ruang bagi konsumen untuk mengatur arus kas. Pada skema tadpole, konsumen bisa rentan gagal bayar sejak awal karena beban besar yang muncul saat kondisi mereka sedang membutuhkan dana.
Rio berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengawasi penerapan skema tadpole agar lebih transparan dan tidak memberatkan konsumen.
“Skema tadpole rentan terhadap risiko gagal bayar yang nanti juga akan berdampak pada usaha bisnis. YLKI menilai skema bisnis tidak boleh memberatkan konsumen dan berkelanjutan bagi pelaku usaha,” ujar Rio.





