Upaya menciptakan ruang aman dan nyaman bebas dari kekerasan seksual tak akan berhasil tanpa melibatkan laki-laki sebagai aliansi strategis. Keterlibatan pria mencegah kekerasan terhadap perempuan mendesak, mengingat angka kekerasan pada perempuan terus meningkat.
Selama ini edukasi anti-kekerasan lebih banyak ditujukan pada perempuan agar tak jadi korban, sedangkan laki-laki sebagai pihak yang dominan jadi pelaku justru "ditinggalkan" dari proses edukasi agar tak jadi pelaku. Akibatnya norma jender tradisional kaku, kerap terwujud dalam maskulinitas toksik (toxic masculinity), menormalisasi perilaku kekerasan.
Topik tentang bagaimana laki-laki jadi mitra pencegahan kekerasan terhadap perempuan jadi topik hangat dalam unjuk bincang Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), Rabu (10/12/2025) lalu, di Menara Kompas, Jakarta. Acara dalam rangka Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) 2025, juga diikuti para karyawan Harian Kompas secara daring.
Diskusi tersebut menawarkan perspektif krusial, bagaimana upaya menciptakan ruang aman dan nyaman yang bebas dari kekerasan seksual tidak akan berhasil tanpa melibatkan laki-laki sebagai aliansi strategis.
Dua pembicara yang hadir, Wawan Suwandi, dari Co-Coordinator Nasional Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) Jakarta dan Yuni Asriyanti, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menggeser narasi dari fokus tunggal pada perlindungan korban perempuan menjadi ajakan kolektif bagi pria untuk jadi garda terdepan perubahan.
Wawan membuka diskusi dengan refleksi tentang akar masalah tingginya angka kekerasan pada perempuan, sehingga mendorongnya dan kawan-kawan mendirikan ALB. Peningkatan kasus kekerasan yang konsisten dicatat Komnas Perempuan tiap tahun yakni cermin kegagalan edukasi yang menyasar kelompok pelaku.
“Angka kekerasan terhadap perempuan akan terus meningkat, mana kala sumber masalahnya tak diedukasi laki-laki. Dari sekian banyak kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, umumnya laki-laki adalah pelaku kekerasan. Kami berpikir, kenapa tiap tahun angka kekerasan terhadap perempuan meningkat?” papar Wawan yang akrab disapa Jundi.
Sejauh ini edukasi kepada kelompok perempuan ini dinilai cukup berhasil. Perempuan berhasil diedukasi untuk mendapatkan haknya, untuk tidak disakiti. Ketika mereka mengerti itu, lalu ketika mengalami kekerasan, mereka akan melaporkan.
Di sisi lain, laki-laki yang melakukan kekerasan merasa dia melakukan sesuatu yang wajar. Karena selama ini, apa yang mereka pahami, membentak perempuan atau pasangan, bahkan memukul pasangan itu sesuatu yang wajar.
“Budaya menormalisasi itu. Namun, ketika mereka diprotes ‘Stop, jangan melakukan kekerasan’ mereka bingung. ‘Apa yang salah? Kami melakukan sesuatu yang wajar-wajar saja,” ungkap Jundi.
Sebagai contoh, memukul pasangan kerap dianggap ‘wajar dan merupakan urusan rumah tangga’. Hal itu merupakan pandangan yang menunjukkan budaya telah menormalisasi kekerasan berbasis jender.
Budaya menormalisasi itu. Namun, ketika mereka diprotes ‘Stop, jangan melakukan kekerasan’ mereka bingung. ‘Apa yang salah? Kami melakukan sesuatu yang wajar-wajar saja.
Jadi, kalau ada perempuan menghajar suaminya itu abnormal. Namun jika ada laki-laki memukul istrinya, orang-orang atau tetangganya akan bilang, ‘Ya wajar, itu urusan rumah tangga”.
Karena itu ALB hadir dengan misi untuk meningkatkan pengetahuan laki-laki agar tidak menjadi pelaku, melainkan menjadi mitra bagi perempuan. Peran ini makin mendesak mengingat norma jender tradisional menjadi bumerang bagi laki-laki itu sendiri.
Laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual, misalnya, seringkali tidak dipercaya dan distigma sebagai "laki-laki lemah" karena konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang kuat dan berkuasa.
Padahal, dalam realitas dan konteks kekerasan seksual, siapa pun bisa jadi korban dan pelaku, termasuk laki-laki pun bisa jadi korban. Menurut Wawan, setidaknya ada dua situasi ketika seseorang menjadi korban, pertama karena dimanipulasi, dan kedua dengan kekerasan.
Pada dua situasi itu, relasi kuasa dari pelaku dapat memengaruhi keberhasilan pelaku menarget korbannya. Dengan demikian, aspek maskulinitas yang dilekatkan pada pria dan diterjemahkan sebagian orang sebagai kejantanan, tak dapat jadi garansi laki-laki tidak menjadi korban.
Peran aliansi strategis laki-laki tak hanya berhenti pada tidak menjadi pelaku, tapi harus aktif membongkar struktur yang memungkinkan kekerasan terjadi, terutama di lingkungan kerja. Lingkungan kerja, sebagaimana disoroti Komnas Perempuan, menjadi salah satu ranah publik dengan kasus kekerasan berbasis jender tertinggi.
Ada sejumlah bentuk dukungan konkret yang dapat dilakukan pria untuk mencegah pelecehan di lingkungan kantor, yang secara efektif merupakan kampanye antikekerasan seksual. “Laki-laki bisa menjadi aliansi strategis perempuan dalam menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman agar terbebas dari kekerasan seksual,” ucap Jundi.
Pertama, menjadi laki-laki yang tidak menormalisasi catcalling, candaan seksis, dan jenis kekerasan seksual lainnnya hingga tidak mempraktikkan mansplaining, baik yang dilakukan secara langsung ataupun dalam ruang digital.
Kedua, saling mengingatkan bila ada teman laki-laki yang mempraktikkan perilaku kekerasan seksual. Sampaikan pada yang bersangkutan tentang pentingnya menghormati orang lain, juga pentingnya bersama-sama menciptkan ruang kerja yang aman dan nyaman.
Ketiga, tidak menyalahgunakan relasi kuasa yang dimiliki, sebagai orang yang memiliki jabatan lebih tinggi, atau sebagai laki-laki. “Norma sosial patriarki menempatkan pria lebih tinggi derajatnya dibandingkan perempuan. Pada celah itu bila laki-laki tidak sensitif akan ada potensi mendominasi dalam relasi,” tegas Jundi.
Keempat, bila terjadi kasus kekerasan seksual, laki-laki turut ambil bagian berpihak pada korban dan mengadvokasi pemenuhan keadilan bagi korban. Kelima, terlibat penyusunan regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Dengan ada regulasi, semua struktur, dari paling atas hingga bawah, terikat dengan regulasi itu.
Keenam, bangun jaringan di luar tempat kerja untuk merespon bila ada kasus yang memerlukan rujukan, misalnya membangun nota kesepahaman atau MoU dengan lembaga bantuan hukum, layanan psikologi, layanan medis, dan lainnya.
Hal ini berarti kampanye antikekerasan seksual terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki harus bersifat struktural dan kultural. Ini juga tidak mudah diterapkan. Sebab, edukasi pada kelompok pria memiliki keunikan karena ada ego dan kecenderungan tak mau disalahkan. Pendekatan yang digunakan harus strategis dan tak konfrontatif.
Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, memperkuat urgensi peran aliansi laki-laki dengan data dan kerangka hukum. Data Komnas Perempuan menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan tetap tinggi, dengan rata-rata di atas 300.000 kasus per tahun.
Secara spesifik, angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGTP) di ranah publik mencapai 3.269 kasus pada tahun 2024, dan yang mendominasi adalah kekerasan di tempat kerja dengan 2.060 kasus. Angka ini menegaskan lingkungan kerja merupakan titik rawan yang memerlukan intervensi serius.
Yuni juga menyoroti bagaimana kekerasan di tempat kerja kerap melibatkan relasi kuasa (power relations). Kasus-kasus yang masuk ke Komnas Perempuan mencakup pelecehan yang dilakukan atasan terhadap bawahan, atau staf senior pada junior, bahkan ada laporan permintaan tindakan bernuansa seksual sebagai syarat mendapatkan promosi.
Pelecehan itu mulai dari pemanggilan bernuansa seksual. Polanya, dari hasil analisis pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan adalah, kasusnya tidak terjadi satu kali kalau di tempat kerja.
“Yang dilaporkan itu biasanya pelecehan seksual atau kekerasan seksual yang sudah terjadi berkali-kali, dan kemudian sudah ada upaya membuat laporan kepada pihak HRD (Human Resource Development) tapi tidak dapat respons yang cukup baik untuk penanganannya,” papar Yuni.
Dalam konteks lingkungan kerja, Yuni Asriyanti mengajak peserta untuk merujuk pada Konvensi ILO 190 tentang penanganan pelecehan di tempat kerja. Konvensi ini mendefinisikan kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja sebagai kekerasan dan pelecehan berbasis jender.
Kekerasan tersebut adalah kekerasan dan pelecehan yang ditujukan kepada orang karena jenis kelamin atau gender mereka, atau mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin atau jender tertentu secara tidak proposional, termasuk pelecehan seksual.
Lebih lanjut, Konvensi ILO 190 menggunakan istilah "dunia kerja" (world of work) yang memiliki cakupan sangat luas. Artinya, lokus (tempat) kekerasan tidak terbatas pada kantor fisik, melainkan mencakup perjalanan bisnis (business trip) atau pertemuan di luar kantor.
Sebagai contoh, ada pengaduan seorang perempuan yang mendapatkan pelecehan seksual atau percobaan perkosaan dari atasannya bukan di kantor, tapi ketika mereka lagi perjalanan bisnis bersama.
“Kita tidak bisa bilang di hotel tempat mereka melakukan meeting atau pertemuan itu bukan ruang kerja. Itu kita anggap tetap sebagai ruang kerja dengan pemaknaan lebih luas dengan istilah dunia kerja,” kata Yuni.
Diskusi yang digelar karyawan Kompas ini menegaskan, upaya menciptakan ruang aman dan bebas kekerasan jadi tanggung jawab kolektif, dan laki-laki adalah kunci strategisnya. Data Komnas Perempuan yang menunjukkan tingginya kasus kekerasan di ranah publik, terutama di tempat kerja, menjadi alarm bahwa perubahan tidak bisa lagi ditunda.
Aliansi Laki-Laki Baru, memberikan peta jalan jelas, dari menolak menormalisasi candaan seksis hingga aktif terlibat dalam penyusunan regulasi perusahaan. Ini adalah panggilan bagi tiap laki-laki untuk secara sadar melepaskan belenggu toxic masculinity yang tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga membelenggu diri mereka sendiri.
Menciptakan ruang aman, baik di kantor, di rumah, maupun di ruang publik, bukan sekadar kewajiban moral, melainkan investasi pada kemanusiaan dan profesionalisme.
Kesadaran tersebut harus diterjemahkan menjadi aksi nyata, yakni berani bersuara ketika melihat ketidakadilan, berpihak pada korban tanpa syarat, dan secara konsisten menjadi mitra bagi perempuan.
Hanya dengan aliansi strategis laki-laki yang kuat dan teredukasi, kita dapat memastikan lingkungan kerja dan masyarakat kita benar-benar menjadi tempat aman, nyaman, dan bermartabat bagi semua. Inilah saatnya bagi laki-laki untuk menjadi solusi, bukan lagi bagian dari masalah.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana komitmen tersebut, dapat diterjemahkan menjadi gerakan yang masif dan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan membongkar norma maskulinitas toksik dan mewujudkan lingkungan kerja yang benar-benar aman dan nyaman bagi semua.



