FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat politik, ekonomi, dan sosial Arif Wicaksono menyinggung pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan,nyang menyebut dirinya sebagai pencetus lahirnya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
“Luhut bilang, sayalah yang mencetuskan Omnibus Law UU Cipta Kerja,” ujar Arif mengutip pernyataan Luhut di X @arifbalikapapan1 (12/12/2025).
Arif juga menyinggung pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, yang sebelumnya menganggap bahwa penerapan UU Cipta Kerja membuat pemerintah tampak seperti mensubsidi pengusaha batubara.
Kata Arif, dua pandangan tersebut menunjukkan arah kebijakan yang dinilainya tidak berpihak kepada masyarakat luas.
“Ide-ide Luhut ini seperti berkhianat pada Rakyat,” tandasnya.
Sebelumnya, Purbaya Yudhi Sadewa membeberkan alasan pemerintah mengubah ketentuan perpajakan bagi industri batubara dalam revisi aturan turunan UU Cipta Kerja.
Ia menyebut desain awal kebijakan tersebut justru menciptakan situasi di mana negara tampak mensubsidi pelaku usaha batubara yang sudah meraup keuntungan besar.
Purbaya menjelaskan bahwa pada saat UU Cipta Kerja 2020 mulai berlaku, status batubara berubah dari non-barang kena pajak (non-BKP) menjadi barang kena pajak (BKP).
Perubahan status ini, menurutnya, membuka ruang bagi perusahaan batubara untuk mengajukan restitusi PPN kepada pemerintah.
“Akibatnya industri batubara bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah. Itu sekitar Rp25 triliun per tahun,” ucap Purbaya.
Kata dia, jika menghitung seluruh biaya dan mekanisme restitusi, penerimaan negara dari sektor batubara justru menjadi negatif.
“Net income kita dari industri batubara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif,” tambahnya.
Purbaya menilai kondisi tersebut tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang mengharuskan negara mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“UU itu seperti pemerintah memberikan subsidi ke industri yang sudah untungnya banyak, akibatnya kita tidak menyejahterakan masyarakat, malah pengusaha batubara saja yang untungnya lebih banyak,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa tingginya restitusi tersebut menjadi salah satu penyebab menurunnya penerimaan pajak tahun ini.
“Makanya pajak saya tahun ini turun karena restitusi cukup besar,” kata Purbaya.
Karena itu, pemerintah melakukan penyesuaian untuk mengembalikan skema perpajakan batubara ke desain yang tidak menimbulkan beban fiskal terselubung.
“Desain ini hanya mengembalikan ke yang awal tadi, hanya meng-cover loss karena perubahan status. Dari anggaran, beban kita berkurang. Dari daya saing global juga tidak berkurang,” jelasnya.
Purbaya menegaskan bahwa industri batubara, sebagai sektor yang kaya, ekspor, dan untung besar, tidak semestinya menerima manfaat fiskal yang menyerupai subsidi.
“Jadi kan aneh, ini orang kaya semua, saya subsidi kira-kira secara tidak langsung. Tidak bisa seperti itu,” tandasnya.
(Muhsin/fajar)





