JAKARTA, KOMPAS.com - Suara gesekan biola terdengar lirih di antara deru knalpot dan kepadatan lalu lintas di perempatan Jalan Teuku Cik Ditiro, Cikini, Jakarta Pusat.
Pada Kamis (11/12/2025), seorang pengamen laki-laki tampak berdiri di tengah jalur kendaraan, memainkan melodi pop yang akrab di telinga pengguna jalan.
Laki-laki itu mengenakan jaket hitam, topi kuning, dan celana yang warnanya mulai pudar.
Di tangan kirinya ia memegang biola, sementara tangan kanannya mengayunkan bow dengan ritme yang tampak sudah ia kuasai sejak lama.
Baca juga: Dari Sentra Perajin ke Pengamen, Potret Kampung Ondel-ondel di Kramat Pulo
Di pangkal biolanya menempel sebuah gelas plastik hitam yang menjadi wadah uang recehan dari para pengendara.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Deni, indepth, Jakarta, pengamen biola, risiko mengamen&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xMi8xNTA3MzkzMS9raXNhaC1kZW5pLXBlbmdhbWVuLWJpb2xhLXlhbmctbWVuZ2Fpcy1yZXpla2ktZGktbGFtcHUtbWVyYWgtamFrYXJ0YQ==&q=Kisah Deni, Pengamen Biola yang Mengais Rezeki di Lampu Merah Jakarta§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Ketika lampu lalu lintas berubah merah, pengamen itu melangkah cepat menuju barisan pengendara sepeda motor yang berhenti.
Langkahnya lincah, namun tetap hati-hati agar tak terserempet kendaraan yang bergerak pelan.
Ia memainkan satu bagian lagu yang sama berulang-ulang, berusaha menjaga nada tetap stabil meski jalanan bising.
Beberapa pengemudi ojek online tampak memperhatikan, sebagian lainnya pura-pura tak melihat.
Ada yang tersenyum kecil, ada yang menunduk sambil menunggu lampu hijau menyala.
Dalam satu siklus lampu merah, Kompas.com mencatat hanya satu atau dua pengendara yang menyalurkan uang receh ke gelas plastik itu.
Ketika lampu berubah hijau, pengamen tersebut segera mundur ke tepi zebra cross.
Ia menunggu beberapa detik sampai kendaraan kembali padat, lalu masuk lagi ke tengah jalur saat lampu merah berikutnya menyala.
Baca juga: Dilema Pengamen Ondel-ondel: Antara Jaga Marwah Budaya atau Bertahan Hidup
Di sela-sela waktunya menunggu, ia terlihat mengusap keringat di dahi, lalu memeriksa senar biolanya yang tampak sudah sering dipakai.
Di sisi jalan, beberapa pedagang kaki lima memperhatikan aktivitas pengamen itu seakan sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
Mereka mengaku sudah hafal dengan ritme perempatan itu waktu ramai, waktu longgar, hingga jam-jam ketika Satpol PP biasanya lewat untuk melakukan penertiban.
Pada pengamatan di lokasi, kondisi lalu lintas di perempatan ini cukup padat sepanjang siang.
Deretan motor dan mobil membuat ruang gerak pengamen sempit, sehingga ia berdiri sangat dekat dengan kendaraan.
Risiko terserempet sangat terlihat, terutama ketika ada pengendara yang menerobos lampu merah saat tersisa beberapa detik.
Meski demikian, pengamen biola itu tetap memainkan musiknya dengan ekspresi serius.
Tatapannya sesekali tertuju pada pengendara, namun lebih sering pada biola yang ia peluk erat seakan menjadi satu-satunya sumber penghidupan yang bisa ia andalkan.
Nama lelaki itu Deni, 22 tahun, pengamen biola yang rutin menelusuri perempatan-perempatan Jakarta untuk mencari nafkah.
Baca juga: Kisah Lita Kubur Mimpi Jadi Pramugari, Terpaksa Bertahan Hidup Jadi Manusia Silver
Saat ditemui di tepi trotoar setelah lampu hijau menunjukkan durasi istirahat singkat, Deni tampak ramah namun lelah.
Keringat membasahi pelipisnya meski angin sore mulai bertiup.
Deni tinggal di Citayam, Depok, dan setiap hari bolak-balik sekitar 17 kilometer untuk mengamen.
Perjalanan itu ia tempuh menggunakan KRL atau motor pinjaman, tergantung situasi.
Ia bercerita mulai bermain biola sejak 2018, awalnya karena melihat temannya yang bisa memainkan alat musik itu.


