Dalam sejarah, tanaman ganja Cannabis Sativa/Indica pernah diakui memiliki manfaat pengobatan, termasuk di dalam komunitas Islam. Namun, sifat memabukkan iskar dan dampaknya yang merusak pikiran taftir membuatnya menjadi barang ilegal hampir di seluruh dunia.
Ketidaksesuaian muncul di zaman kedokteran modern. Para peneliti menemukan bahwa beberapa senyawa aktif yang terdapat dalam ganja—seperti Cannabidiol CBD—sangat berguna dalam pengobatan penyakit kronis, contohnya epilepsi dan nyeri saraf.
Dari sudut pandang hukum asal, Mazhab Sunni melalui empat madzhab utamanya sepakat untuk mengharamkan ganja. Larangan ini dibuat dengan menerapkan kaidah analogi qiyas terhadap khamr atau berdasarkan hadis yang melarang segala zat yang memabukkan dan mengurangi fungsi akal.
Alasan atau illat di balik hukum ini adalah untuk menjaga akal Hifzh al-Aql, yang merupakan salah satu dari lima tujuan utama Syariat Maqashid Syariah. Oleh karena itu, penggunaan ganja untuk keperluan rekreasi jelas melanggar tujuan yang mulia ini dan dinyatakan haram secara mutlak.
Walaupun demikian, Fiqih Islam bukanlah sistem hukum yang kaku. Mazhab Sunni menawarkan pengecualian melalui penerapan prinsip Fiqih yang fleksibel, terutama untuk situasi yang mengancam jiwa atau fungsi vital manusia.
Prinsip utama yang digunakan adalah "Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang" (Ad-Dharuratu Tubihul Mahzhurat). Nilai ini sangat berakar dalam ajaran Rahmatan lil 'Alamin yang dibawa oleh syariat.
Dalam konteks medis, jika seorang pasien mengalami kondisi darurat dan tidak ada pengobatan halal lain yang seefektif ganja medis, penggunaannya bisa diperbolehkan sebagai bentuk rukhsah keringanan. Ini sebagai upaya untuk menjaga kehidupan atau mengurangi penderitaan yang parah.
Namun, pembolehan ini tidak berarti memberikan izin untuk penggunaan sembarangan. Para ulama modern yang mengikuti Mazhab Sunni menegaskan bahwa pemanfaatannya harus dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang ketat demi mencapai kemaslahatan maslahah yang lebih luas.
Syarat pertama adalah harus ada kebutuhan medis yang jelas dan mendesak, yang diharuskan dilengkapi dengan resep dan diagnosis dari dokter yang berkompeten. Kedua, pemakaiannya harus dibatasi pada dosis yang diperlukan dan tidak boleh melebihi takaran yang dapat menyebabkan efek memabukkan.
Ketiga, diutamakan penggunaan ekstrak dari senyawa aktif yang terisolasi, seperti pil CBD atau minyak ketimbang dari tanaman secara utuh. Tujuan dari hal ini adalah untuk mengurangi kemungkinan penyalahgunaan dan efek psikoaktif yang bisa merusak akal.
Contoh ganja sebagai obat memperlihatkan fleksibilitas dalam Fiqih Islam. Dari sudut pandang Mazhab Sunni, meskipun hukum dasar ganja adalah haram, penggunaannya bisa berubah status menjadi mubah diperbolehkan, atau bahkan wajib dalam kondisi tertentu.
Perubahan hukum ini berdasarkan pada kaidah darurat dan pertimbangan maslahah yang sangat valid. Konsep Hifzh al-Nafs Menjaga Jiwa ditonjolkan untuk menyelamatkan hidup atau menghindari bahaya yang lebih besar.
Pada akhirnya, ketika "yang dilarang justru menjadi penyelamat", ini menunjukkan bahwa Syariat Islam bertujuan untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan kesusahan.
Pengecualian ini harus tetap berada dalam batas kebutuhan medis yang jelas dan di bawah pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan.





