- Konflik agraria di Bengkulu Selatan terjadi antara petani dan PT Agro Bengkulu Selatan, ditangani oleh tim advokasi Akar Law Office.
- Tim advokasi mencatat kejanggalan saat pelaporan di Polres Bengkulu Selatan mengenai pasal-pasal yang diajukan.
- Laporan awal mengenai empat pasal berubah menjadi hanya satu pasal (Pasal 351 ayat (2) KUHP) dalam pemanggilan saksi.
Suara.com - Tim advokasi para petani di Pino Raya, mengaku banyak terjadi kejanggalan dalam penanganan kasus konflik agraria di wilayah Bengkulu Selatan.
Konflik terjadi antara petani dengan pihak perusahaan yang bergerak dalam bisnis perkebunan kelapa sawit, PT Agro Bengkulu Selatan (ABS).
Tim advokasi petani dari Akar Law Office, Ricky Pratama mengatakan, kejanggalan dalam perkara ini yakni saat pembuatan laporan tentang pasal-pasal yang dilaporkan.
Saat membuat laporan, kata Ricky, pihaknya mencantumkan Pasal 351 ayat (2) KUHP, tentang penganiayaan yang menyebabkan luka-luka berat.
Kemudian Pasal 338 juncto 53 tentang percobaan pembunuhan. Kemudian pasal 353 ayat (2) tentang penganiayaan yang menyebabkan luka berat dengan rencana.
Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Undang Undang darurat terkait dengan penyalahgunaan senjata api.
“Namun di sinilah kejanggalan-kejanggalan dalam proses itu dimulai. Pada saat kita datang ke SPKT di Polres Bengkulu Selatan, ada upaya pihak kepolisian untuk mengintimidasi dan juga mempreteli pasal-pasal yang ingin dilaporkan,” kata Ricky, di Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Polisi ingin mempreteli Pasal 1 ayat (1) tentang kepemilikan senjata api melalui laporan model A, yang dibuat oleh kepolisian sebagai temuan.
Namun hal itu tentu saja ditolak oleh Ricky selaku penasihat hukum warga, karena dikhawatirkan jika laporan tersebut dibuat dengan tipe A, maka warga sudah tidak bisa lagi mengetahui perkembangan kasus tersebut.
Baca Juga: Utang KUR Petani Korban Bencana Sumatra Dihapus, DPR Nilai Masih Belum Cukup
Meski demikian, dari empat pasal yang ingin dibuatkan laporan, kata Ricky, hanya dua pasal yang tercantum.
“Kami terima itu menjadi hanya dua pasal, yakni pasal 351 ayat (2) tentang tindakan penganiayaan yang menyebabkan luka-luka berat dan juga pasal 1 ayat (1) Undang-Undang darurat,” katanya.
Tak hanya itu, saat pemanggilan saksi pertama, laporan tersebut kembali berubah, hanya ada satu pasal di dalamnya. Laporan tentang kepemilikan senjata api, beralih menjadi laporan model A.
“Dalam panggilannya hanya menjadi satu pasal, bahwa laporan masyarakat kemudian hanya jadi satu pasal, pasal 351 ayat (2) KUHP,” katanya.
“Sedangkan pasal 1 ayat (1) itu dimasukkan ke dalam form model A, sehingga saat itu para petani dan kuasa hukum kehilangan akses untuk mengetahui perkembangan prosesnya,” imbuhnya memandaskan.




