Melintasi Banjir Aceh 2025: Drama Kamis Pagi dan Jawaban Tak Terduga (2)

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Tepat tengah malam kami dikepung banjir dan air hujan yang tidak pernah berhenti. Berhari-hari. Hujan deras seperti terus ingin menyertai perjalanan ini. Sejak mendarat di Banda Aceh, perjalanan ke Takengon, terhalang pohon tumbang dan longsoran lumpur di Bener Meriah, hingga terdampar di warung Bukit Indah, Bireuen.

Ratusan orang; ibu, ayah, anak-anak, kakek-nenek, kaum muda, dan jajaran kendaraan sepanjang jalan. Siang, sore, malam, pagi, hingga pagi lagi. Mereka terjaga. Tidak bisa tidur. Menanti hujan reda, dan air surut.

Pak Muhammad, pemilik warung yang semula bahagia karena mendapat berkah pengunjung begitu banyak itu pun mulai cemas akan menipisnya stok BBM dan LPG. Bagi mereka, jangan-jangan, batas antara cemas dan bahagia itu sederhana saja: air surut dan hujan mereda. Mengapa harus mencuri dan merusak dunia untuk mendapatkan harta dan kuasa?

Sistem yang Lumpuh

Bakda Subuh, kira-kira pukul 06.00 WIB, angkasa masih gelap. Kami memutuskan bergerak, mencari kantor polisi atau Koramil terdekat. Jalan menuju kantor Polsek dan Koramil tidak terlalu jauh. Tapi harus tetap melintasi genangan. Setiba di kantor Polsek dan Koramil, kami mendapati kantor yang gelap-gulita. Kantor Koramil dan Polsek letaknya berdampingan. Memang, listrik di hampir seantero Aceh mati. Kabarnya, ada tower yang ambruk.

Ada dua personel di Koramil. Tapi, tampaknya bukan anggota TNI. Kantor Polsek kosong. Tidak terlihat satu orang pun. Dari warga, kami mendapat cerita. Semalam, kedua kantor itu terendam air cukup tinggi. Kantor keduanya dievakuasi. Mereka tidak tahu ke mana akan dievakuasi.

Yang jadi pertanyaan kami, mengapa setelah berhari-hari sistem lumpuh, sepertinya tidak ada tindakan di lapangan? Rakyat mengungsi di mana-mana. Menata shelter seadanya. Seorang nenek yang sangat renta, memegang tongkat. Terhuyung-huyung langkahnya. Mungkin seluruh Aceh sedang lumpuh total. Sehingga, di lapangan tidak ada aparat atau petugas PLN, Pertamina, Telkomsel, dan lain-lain.

Tapi, bukankah Jakarta masih berfungsi dengan perkasa? Apa tidak ada emergency call dan memerintahkan operasi khusus untuk membantu rakyat?

Bung Ansari Muhammad, wakil rakyat, anggota DPR Aceh, bercerita, “Memang ‘luar biasa’ ini. Sewaktu tsunami 2004, sistem komunikasi putus hanya sehari, tapi besoknya sudah tersambung lagi.”

Ketika itu, kantor-kantor Koramil, Kodim, Puskesmas, dll., di berbagai lokasi yang tidak disapu air tsunami, masih berfungsi. Tapi mengapa kelumpuhan sistem ini seperti tidak ada pihak yang menanganinya?

Rombongan PMI yang, pada Selasa malam (25/11) berkumpul di Takengon, sudah dua hari ini tidak bisa saling kontak. Mereka berencana kembali pada Rabu (26/11) ke lokasi masing-masing. Tapi, sekarang entah di mana mereka. Doa kepada Allah, semoga semua diselamatkan.

Jawaban Tak Terduga

Pukul 04.13 WIB, alhamdulillah sejak semalam saya dapat kemewahan. Dipersilakan tidur di sofa tempat kerja Pak Muhammad, pemilik rumah makan Rindu Alam. Saya bisa selonjor tidur lebih nyaman dibanding para pejalan lainnya; mereka hanya dapat bangku kayu.

Ibu Muhammad baik hati. Meminjamkan bantal. Masya Allah. Nikmat benar tidur setelah dua hari lamanya tidak bisa memejamkan mata.

Sesekali Pak Muhammad mendekat. Mengajak ngobrol.

Saya bertanya, “Mengapa tidak ada operasi khusus penyediaan genset atau sambungan telekomunikasi?”

Jawabnya tidak terduga. “Itulah, Pak. Kami ini rakyat kecil. Seperti tidak ada yang menolong kami. Kalau di daerah lain, pasti sudah ramai sekali bantuan. Kalau kami protes, dituduh mau memberontak. Masak kami dibiarkan saja tidak ada lampu, tidak ada BBM, dan tidak ada jaringan?”

Kiat Pak Muhammad Menghemat Energi

Pukul 04.27 WIB, Rumah Makan Rindu Alam ini sepenuhnya bergantung pada genset dan tabung-tabung LPG yang masih tersedia. Beberapa penyalur LPG tidak bisa dikontak karena jaringan terputus. Sementara itu, persediaan BBM terbatas pula. Apa kiatnya?

Setiap dua jam, genset dimatikan. Barulah dua jam berikutnya, dihidupkan lagi. Ketika genset mati, tentu gelap-gulita. Memang dilema bagi para pejalan dan tetamu di sini. Bila gelap, bisa tidur lumayan. Tapi begitu terang lampu, suara genset terdengar keras. Mengganggu tidur.

Beberapa titik di dapur, di konter makanan, dan di jalan ke arah toilet atau kamar mandi, dipasangi bola lampu kecil yang masih diatur byar-pet. Nyala-mati, nyala-mati. Tampaknya ini memang lampu emergency yang sudah disiapkan. Sekadar untuk memberi penerangan yang lalulalang ke toilet dan bekerja menyiapkan hidangan warung.

Keterdesakan membuat kreativitas terpacu. Salut kepada Pak Muhammad. Dengan wajah teduh dan senyum terus, siang dan malam tanpa henti mengecek semua urusan di warung besar seluas 30x40 meter.

“Parah ini, Pak (sudah tujuh kali dia mengucapkan kata-kata ini). Saya takut minyak habis, Pak. Persediaan LPG juga makin tipis. Semoga besok hujan reda, dan air surut,” begitu harapannya.

Pukul 04.35 WIB genset menyala kembali. Persiapan menyongsong fajar dimulai. Belakangan saya mendapat cerita dari relawan PMI yang mengantar ke bandara tadi subuh, bahwa Pak Muhammad, biasanya tidak menyalakan genset di siang hari.

“Tapi karena tahu ada Bapak dan Pak Muhammad tahu Bapak sedang bekerja, maka dia nyalakan genset itu agar listrik dan sinyal telepon bekerja”. Ya Allah.

Drama Kamis Pagi

Pukul 08.11 WIB, dikarenakan tiada tanda-tanda kehidupan di kantor Polsek dan Koramil, kami pun memutuskan bergerak. Ke arah Barat terus. Dalam upaya mencari kantor pengurus negara yang buka. Harapannya, kami bertemu petugas yang bisa berkomunikasi melalui handy talkie atau starlink.

Setelah melaju 15 menit, kira-kira pukul 06.45 WIB, mobil yang kami tumpangi masuk ke genangan yang cukup dalam. Mobil pemandu rombongan (Bung Zulfan) berhasil melintasi. Tapi, mobil kami melambat, dan mesinnya tiba-tiba mati di tengah arus air. Untung saja arusnya datang dari arah belakang.

Si pengemudi, Furqan, cukup sigap. Furqan minta saya, penumpang, turun, membantu dorong mobil. Ketika saya buka pintu kiri, air masuk dengan derasnya ke dalam mobil.

Furqon langsung berteriak:

Sontak saya melompat ke depan kemudi dan membuang sepatu yang sudah basah-kuyup ke bagian belakang mobil.

Mobil berisi air banjir didorong melintasi genangan. Oleh Furqon, Pak Abdul Azis, dan Yonas Audi. Arah mobil masih bisa dikendalikan mengikuti arus air. Mobil matic memang sedikit problematik ketika terendam air banjir.

Alhamdulilah, dalam 10 menit, kami berhasil memindahkan mobil ke tempat yang tinggi, melintasi genangan air. Tapi, sampai sekarang, 08.11 WIB, mobil belum bisa dihidupkan. Bung Ansari Muhammad kembali menampilkan kepemimpinannya. Kali ini ia sudah berduet dengan Pak Abdul Azis. (Pak Abdul Azis dan Yonas Audi sempat terpisah dengan rombongan selama 12 jam, yakni sejak 03.00 sampai 15.00 WIB, 26 November 2025)

Bung Ansari Muhammad dan Pak Abdul Azis meminta saya pindah ke mobil Bung Amri dengan semua tas. Ditemani Yonas Audi, kami pun dibawa ke lokasi yang lebih tinggi. Setelah 45 menit-an perjalanan, kami menemukan kedai kopi. Kiri-kanannya tampak aman. Tidak ada genangan.

Pak Azis dan rombongan PMI Aceh ditinggal di lokasi mobil mogok untuk cari solusi. Sekitar satu jam kemudian, Bung Ansari Muhammad kembali ke lokasi mobil mogok. Ia menjemput Pak Azis dan para anggota PMI Aceh.

Saat menulis cerita ini, kami telah selesai ngopi. Bung Ansari Muhammad dkk kembali ke mobil mogok untuk berusaha mengevakusinya ke tempat yang lebih aman.

“Supaya, kalau dapat jalan ke Banda aceh nanti, kita tak kepikiran karena meninggalkan kawan seiring,” jelasnya.

“Ini bukan lagi soal sewa menyewa, Pak,” imbuhnya. “Ini urusan kemanusiaan!”

Saya tercenung. Diam terharu.

Masya Allah, mulia benar hati kawan ini.

Hiburan Segar di Kedai Kopi

Pukul 08.53 WIB. “Rahmat Kupi”, Desa Sawang, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen. Masuk ke kedai kopi di ujung pertigaan itu, terasa agak tenang. Tempatnya tinggi. Lantainya bersih. Bangku-bangku tertata rapi. Masih belum banyak tamu yang datang. Penataan display minuman cukup menarik selera. Ada tumpukan kaleng susu. Rokok masih lengkap. Dan tentu saja tumpukan mie gelas.

Si pengelola, tiga kawan muda ganteng berdandan rapi, seperti memberi pesan, “Kedai kopi ini diurus dengan sungguh-sungguh.”

Saya pesan teh tawar. Sebagian pesan kopi. Juga panganan lainnya. Bung Amri rupanya sempat membeli jajanan serabi dan bubur kacang hijau di dekat kedai kopi.

Saya mau pesan mie gelas, tapi dilarang Bung Amri.

“Sejak kemarin Bapak sudah kebanyakan makan mie. Jangan makan mie lagilah, Pak.” Akhirnya saya menyantap bubur kacang hijau yang ia siapkan.

Ada yang menggelitik perhatian. Di dinding kedai kopi terpasang tulisan Bahasa Aceh. Begini: “Yang Penteng Kupi Bek Kundo. Soal Dara Baro Singeh Jeut Tamita. Kerja Dile Beupah Ta Atoe. Nyoe Kana Pajero Mandum Na Cara.”

Iseng saya tanya kepada Aulia, si ganteng pemilik kedai.

“Bang, tulisan itu apa artinya?”

Jawabannya sungguh menghibur hati. Kurang-lebih begini terjemahan bebasnya:

Kami semua ngakak. Sejadi-jadinya. Alhamdulillah dapat hiburan di tengah kecemasan yang belum hilang. Tapi pertanyaan masih menggantung: bagaimana menemukan kantor pengurus negara dan bisa menuju Banda Aceh dengan selamat?

Meanwhile, saat tulisan ini selesai (08.53 WIB), hampir seluruh kursi terisi pengunjung.

Ajaib Betul Dokter dan Nakes Kita

Pukul 10.00 WIB. Kami mencoba bergerak lagi. Beringsut. Agar setiap ada kesempatan, kami bisa terus mengarah ke Barat. Ke Banda Aceh. Dalam upaya mencari listrik dan sambungan telepon, saya mengajak teman-teman bergerak dari satu Puskesmas ke Puskesmas lain—setelah gagal memperoleh solusi di kantor polisi dan Koramil.

Di Puskesmas Peudada, ternyata sudah tiga hari listrik mati. Ketika saya tanyakan genset, si Kepala Puskesmas menjawab, “Rusak sudah lama, Pak!” Aduh.

Di Puskesmas Peudada terdapat beberapa pasien sedang dirawat, ditemani keluarganya. Ada juga para pengungsi yang menumpang berteduh. Kami terus ke arah Barat sampai bertemu Puskesmas yang lebih besar di Kecamatan Pandrah, Bireuen. Bu Dokter Kepala Puskesmas menyambut kami dengan ramah.

Saya ber-kulonuwun sambil bertanya, “Sudah berapa hari terisolasi?”

“Sudah beberapa hari, Pak. Listrik mati. Sinyal ponsel tidak ada,” jawabnya.

“Apa ada genset atau handy talkie?” lanjut saya.

“Tidak ada, Pak,” akunya.

Ajaib betul saudara-saudara kita ini. Bu Dokter dan timnya (saya lupa tanya namanya), tetap ceria. Saya mengobrol agak lama. Menanyakan status Puskesmas, jumlah pasien, dan perawatan apa yang bisa diberikan. Kebetulan dua hari lamanya tidak ke belakang, dan toilet Puskesmas masih ada air. Saya permisi, izin menumpang menggunakan toilet.

Setelah selesai, kami pamit untuk bergerak. Bu dokter dan seluruh timnya mengajak foto bersama.

Naik Berlipat-lipat Tapi…

Pukul 12.37 WIB. Selepas zuhur, Koramil 20/Bandar Dua Kodim 0102/Pidie terendam. Anggota TNI berseragam kaus dan celana loreng menjelaskan, sudah tiga hari sistem lumpuh. Handy talkie tidak ada. Pun tidak ada komunikasi dengan vertikalnya. Dua puluh meter dari genangan tertinggi dan terpanjang menuju Banda Aceh. Anggota TNI memberi saran tentang cara aman menempuh genangan.

“Ikuti truk besar, jalan saja di belakangnya, jangan ragu-ragu.“

“Kalau sudah lewat Polsek, yang paling parah airnya,” imbuhnya, “mungkin bisa terus ke Banda Aceh dengan aman.”

Agak miris. Ternyata, sistem teritorial, di lapangan, harus mencari solusi sendiri. Sistem emergency tidak berfungsi.

Saya bertanya, “Apakah ada genset?

“Tidak ada Pak.”

Tanya saya kemudian, “Bagaimana dengan handy talkie dan sistem komunikasi radio?”

“Tidak ada juga.”

Ah, mungkin memang tidak terpikir bahwa kebergantungan pada sinyal ponsel akan membuat situasi sulit seperti ini. Saya jadi kepikiran, bukankah lima tahun terakhir, belanja alutsista kita naik ratusan triliun, berlipat-lipat? Tapi, mengapa prajurit TNI di garis depan dibiarkan mengatasi persoalan sendiri? Mengapa tidak memperkuat dan memudahkan kerja-kerja lapangan mereka, fungsi mendasar yang paling bersentuhan dengan masyarakat?

Pertanyaan yang sama juga perlu dikemukakan untuk fungsi kepolisian, kesehatan, dan penanggulangan bencana. Sepanjang dua hari dua malam di jalanan, dan berhenti di berbagai titik-kumpul warga, tidak sekalipun saya bertemu dengan petugas BPPD, SAR, atau fungsi-fungsi kedaruratan lainnya!

Mixed Signal

Pukul 13.06 WIB kami masih tertahan di depan kantor Koramil. Dari arah Barat, terlihat ada konvoi, trailer, dan tangki. Juga tampak kendaraan penumpang. Ada satu mobil minibus dinaikkan truk trailer.

Barisan panjang kendaraan besar membuat mixed signal. Boleh jadi jalanan sudah bisa dilalui. Tapi, artinya, hanya kendaraan besar saja yang bisa lewat.Ada 12 kendaraan. Semoga jam-jam berikutnya adalah harapan yang makin besar.

Tegur Sapa Menyenangkan

Pukul 13.12 WIB. Sejak dua hari lalu, di berbagai titik rawan, setiap berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan, kami sama-sama berhenti.Pengemudi dan penumpangnya saling bertukar informasi.

“Bagaimana keadaan di depan sana? Aman? Bisa lewat?”

Saling menjelaskan risiko, dan memberi tips bagaimana cara melintasi genangan di depan.

Suatu kali, kami dapat informasi, “Di belakang kami ada tanggul jebol. Arus air di jalanan kencang sekali. Sebaiknya ambil jalur di arah kanan, menjauh dari arus!“

Berserah Diri

Pukul 13.20 WIB. Energi untuk ngotot mencari solusi agar bisa menghubungi keluarga di Jakarta, tampaknya harus dihemat. Harus di-eman. Semua upaya sudah dilakukan. Semoga tinggal satu halangan lagi—walau halangan tersebut tidak bisa diduga, apakah bisa dilintasi atau tidak. Artinya, bisa sampai di Banda Aceh jam berapa, sungguh suatu yang belum pasti. Apalagi mendapatkan angkutan kembali ke Jakarta, wah, itu masih jauh dari angan-angan.

Saya putuskan, sudah, serahkan saja semua kepada Allah. Tentu istri dan seluruh anak-mantuku terus berupaya mencari kejelasan. Tapi, ya, memang tiada jalan. Semua sistem komunikasi lumpuh.

Saya tengok jam, 13.28 WIB. Masih di depan Kantor Koramil 20/Bandar Dua.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tembok Penahan Tanah Hotel di Puncak Bogor Longsor, 3 Rumah Rusak
• 21 jam laludetik.com
thumb
Meski Tipis, Harga Emas Dunia Mulai Berkilau Lagi
• 13 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Pulihkan 36 Tanggul Jebol dan 143 Kritis, Kemen PU Turunkan 21 Alat Berat di Aceh
• 2 jam lalugenpi.co
thumb
Kerusakan Akibat Bentrok di Kalibata: Bukan Hanya Warung yang Terbakar
• 9 jam laluliputan6.com
thumb
Cerita Kebakaran Terra Drone: Gedung Tak Ada Alarm, Peringatan Hanya Lewat Teriakan
• 41 menit lalukompas.com
Berhasil disimpan.