Rencana pembangunan 100 GW PLTS untuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dinilai bakal menghadapi tantangan dari sisi pembiayaan.
Policy Strategis Yayasan Cerah, Dwi Wulan, mengatakan ada selisih antara biaya pembangunan PLTS dengan kapasitas fiskal desa Catatan World Energy Outlook 2025 memperlihatkan ada penurunan harga rata-rata energi terbarukan, termasuk harga panel surya. Saat ini, untuk membangun 1 MW pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) membutuhkan sekitar US$900 ribu atau sekitar Rp14-15 miliar. Setelah harganya turun pun, angkanya masih jauh dari kemampuan fiskal desa.
“Anggaran desa tidak sebesar itu, kalau tidak salah di-range Rp600 juta sampai Rp1 miliar,” katanya dalam diskusi ‘Menakar Kelayakan PLTS 100 GW: Analisis Teknis, Finansial, dan Institusional’ di Jakarta, Jumat (12/12).
Modal yang disalurkan pemerintah untuk KDMP melalui perbankan hanya sekitar Rp3 miliar, sehingga masih jauh dari kebutuhan investasi 1 MW PLTS. Di samping itu, jika dilaksanakan tanpa power purchase agreement, proyek ini dinilai tidak bankable.
“Jadi perlu ada revenue model, bagaimana listrik yang dikelola KDMP bisa berkelanjutan,” tambah Dwi.
Selain soal biaya, Dwi menyoroti tata kelola lembaga yang menurutnya belum siap. Dibutuhkan payung hukum yang jelas mengenai siapa yang membangun dan mengelola. Jika dikelola oleh level komunitas, ada risiko-risiko yang harus diperkirakan.
Tantangan lainnya muncul dari kesiapan infrastruktur, mengingat proyek ini cukup besar dan masif. Infrastruktur yang dimaksud juga mencakup persiapan sumber daya manusia, di mana perlu upskilling atau reskilling warga-warga yang akan mengelola proyek ini.
Dwi menambahkan, harus ada aturan jelas soal interkoneksi kelistrikan, karena tidak semua desa membutuhkan kapasitas listrik yang sama.
“1 MW bisa jadi ada yang butuh lebih, ada yang kurang, perlu ada penyaluran yang berlebih dan kekurangan. Nanti sistem penyalurannya seperti apa,” jelasnya.
Sementara, hingga saat ini kebijakannya pemerintah tidak memperbolehkan jual-beli listrik tanpa perantara PT PLN. Tantangan berikutnya adalah mempelajari teknologi penyimpanan energi dan pendistribusiannya, sebab energi PLTS tak bisa digunakan sepanjang hari, sehingga perlu ada teknologi tambahan.
Pakai Model Energy as a Service
Untuk mengakali tantangan yang ada, kata Dwi, penerapan model energy as a service bisa diterapkan. Artinya, KDMP tidak perlu memiliki peralatan yang berkaitan dengan pengelolaan energinya.
Segala peralatan dimiliki oleh kontraktor, lalu KDMP hanya melakukan pembayaran atas jasa tersebut. Dengan begitu, risiko kerja dimiliki oleh kontraktor dan kebutuhan pemeliharaannya juga bisa ditanggung sekaligus.
“Jadi ada pilihan KDMP tidak memiliki aset sendiri, tapi dia yang mengelola bisnis kelistrikannya,” jelas Dwi.
Lalu untuk mempermudah mendapat akses pembiayaan, alternatifnya adalah dengan melakukan project bundling per portofolio. Dwi lalu menyinggung keberhasilan Nigeria menggunakan skema bundling ini.
Di samping itu, pemerintah perlu menyiapkan dana cadangan PLTS karena risiko manajemen yang cukup tinggi. Hal ini menjadi bentuk tanggung jawab dan mitigasi risiko kegagalan proyek.
Lalu menurut Dwi, penetapan tarif listrik desa dan skema power purchase agreement desa dapat menjadi salah satu cara mendukung sistem kelistrikan di desa. Jika tergantung pada PT PLN, menurutnya akan menjadi masalah ketika ada dinamika harga.
/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F12%2F1831a9abe3a97e7a7e655438de714596-WhatsApp_Image_2025_12_12_at_9.54.36_AM.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5441315/original/096629600_1765499168-IMG-20251212-WA0005.jpg)


