Bisnis.com, BANDUNG-- Pakar hukum dan kebijakan publik mengecam praktik penerbitan Surat Edaran (SE) oleh kepala daerah yang dinilai kerap tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Penerbitan SE saat ini dilakukan seakan untuk mengikat publik, padahal seharusnya hanya berlaku internal. Hal ini yang dinilai telah menyalahi sistem hukum nasional dan menimbulkan ketidakpastian, terutama pada iklim usaha.
Pakar Hukum dari Unisba, Rusli K. Iskandar, mengibaratkan aturan hukum sebagai sebuah koridor lurus, dan SE seharusnya berada di dalamnya. Menurutnya, praktik penerbitan SE saat ini sering dibuat tanpa mempertimbangkan peraturan di atasnya.
Baca Juga
- Manut Titah Dedi Mulyadi, Pemkab Sumedang juga Bakal Perketat Perizinan Pembangunan Perumahan
- Dedi Mulyadi Setop Izin Perumahan di Bandung Raya, Pengembang Buka Suara
"SE tidak bisa dibuat seenaknya menabrak koridor hukum. Itu bisa digugat balik dan dievaluasi oleh Mendagri," tegasnya dalam Diskusi Menuju Regulasi yang Akuntabel: Mengembalikan Fungsi Surat Edaran dalam Sistem Hukum Nasional, baru-baru ini.
Rusli menjelaskan bahwa secara yuridis, SE seharusnya hanya berlaku secara internal atau mengatur urusan khusus kepala daerah yang menerbitkannya. Namun, saat ini SE telah disalahpahami dan dianggap sebagai aturan yang mengikat publik. Kondisi ini dinilai sudah salah kaprah karena dibuat seperti titah seorang raja yang bebas bertindak atau disebut freies ermessen.
"Jika ingin mengikat publik secara penuh harus setingkat Perda saja, ada konsultasi yang dilakukan sebelum dibuat seenak hati. Hukum itu ada etika dan etika itu posisinya diatas hukum," tegas Ruli.
Ia menambahkan, Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) dapat mengenakan sanksi bagi kepala daerah yang mengeluarkan SE dan berakibat mengganggu atau meresahkan masyarakat maupun iklim usaha. Masyarakat yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Mendagri. Hal ini pernah terjadi pada SE Gubernur Bali terkait larangan menjual air kemasan di bawah 1 liter yang kemudian dievaluasi karena mengganggu sektor usaha.
Bahkan, jika SE tersebut terbukti melanggar perundang-undangan, kepala daerah dapat dikenai sanksi perbuatan melanggar hukum.
Senada, Pakar Kebijakan Publik Agus Pambagio menekankan bahwa penerbitan SE oleh kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah sudah tidak perlu lagi karena banyak yang berpotensi melanggar peraturan yang lebih tinggi, sehingga masyarakat membutuhkan kepastian hukum.
"Jangan salah kaprah, harus sesuai dengan UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. SE itu mengikat secara internal saja bukan untuk mengatur publik," tegasnya.
Agus mencontohkan SE terkait larangan truk Over Dimension Over Loading (ODOL) air mineral. Meskipun tujuannya baik, kebijakan tersebut bisa menjadi alat bagi pihak tidak bertanggung jawab untuk menerapkan pungutan liar (pungli) atau bahkan tilang ilegal.
"SE tidak bisa menjadi dasar untuk polisi menilang, harus berupa Perda," jelasnya.
Menurutnya, kebebasan membuat SE telah mengarah kepada kebebasan wewenang kepala daerah yang tidak terbatas. Ia mengingatkan bahwa rencana pemerintah menerapkan aturan zero ODOL tahun 2027 harus dibarengi dengan penegakan aturan yang jelas.
"Pengusaha itu siap taat asal tidak ada biaya-biaya tidak jelas di jalan. Pungli sudah mulai dirasakan sejak dari keluar gudang, pelabuhan dan jalanan. Ini juga harus diperhatikan oleh pemda," tuturnya.
Sebagai contoh kasus, SE Gubernur Jawa Barat (Jabar) terkait penghentian pembangunan perumahan di Bandung Raya menuai protes pengembang dan dinilai bertolak belakang dengan target pemerintah menambah hunian bersubsidi.
Contoh lain adalah SE yang menghentikan operasional truk sumbu tiga pengantar Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), yang menimbulkan polemik karena menyebabkan sopir kehilangan pekerjaan dan perusahaan angkutan harus menyiapkan armada baru dengan modal besar.
Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, menyebut bahwa penertiban ODOL adalah langkah positif, tetapi cara dan waktunya tidak boleh sporadis. Menurutnya, ekonomi Jawa Barat membutuhkan dorongan yang konsisten, bukan kebijakan yang berpotensi membuat aktivitas industri tersendat.
"Jangan sampai kebijakan pemerintah malah memberangus sektor industri," ujarnya.
Ia mencurigai adanya pendapatan dari perusahaan besar AMDK yang tidak tercatat resmi sehingga kontribusinya dianggap kecil, padahal nilainya signifikan. Acu menegaskan bahwa sektor AMDK memegang peran penting, menyerap tenaga kerja, dan memiliki rantai pasok panjang.
Sementara itu, Pakar Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sonny Sulaksono menilai banjir SE ini seperti kebiasaan yang terbawa sejak masa pandemi, di mana pemerintah sering menerbitkan SE karena minim referensi. Menjadikan SE sebagai mekanisme rutin kebijakan dinilai berbahaya.
"SE itu jadi seperti titah raja. Kok tiba-tiba keluar dan nabrak ke mana-mana? Gubernur itu bukan raja," tegasnya.
Sonny bahkan meminta perusahaan AMDK tidak perlu mengikuti SE tersebut karena dianggap tidak memiliki dasar koordinasi yang jelas dengan pemerintah kota dan kabupaten. Ia mengusulkan solusi konkret, yaitu menyiapkan infrastruktur khusus, seperti akses truk logistik langsung ke jalan tol tanpa melintasi jalan umum, yang dinilai lebih efektif daripada hanya mengeluarkan SE.
Dari sisi industri, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) Idham Arsyad menyoroti SE yang dinilai menurunkan standar infrastruktur Jabar karena membatasi ukuran kendaraan menjadi sangat kecil. Berdasarkan survei internal 25 produsen AMDK, penerapan SE memaksa industri menambah sekitar 2.700 unit kendaraan baru, padahal kemampuan vendor hanya 180 unit per tahun.
"Implementasi SE tidak boleh menimbulkan potensi melemahkan industri. Harus ada sosialisasi dan edukasi. Pemerintah juga wajib menyiapkan infrastruktur alternatif dulu," pungkasnya.




