Lampung Geh, Bandar Lampung - Pemerintah Provinsi Lampung mengubah pendekatan pengelolaan hutan lindung dengan menekankan legalisasi pengelolaan lahan dan peralihan pola tanam dari monokultur ke agroforestri melalui skema perhutanan sosial.
Strategi ini ditempuh untuk memulihkan fungsi hutan tanpa mengabaikan keberlangsungan ekonomi masyarakat
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah, mengatakan bahwa pola budidaya masyarakat di kawasan hutan lindung masih terus diperbaiki secara bertahap.
“Sejauh ini kita arahkan masyarakat dari monokultur ke agroforest. Memang masih ada beberapa yang monokultur, tapi kita pelan-pelan mengarahkan mereka untuk agroforest,” kata Yanyan.
Menurut dia, mitigasi utama yang dilakukan pemerintah dimulai dari pembinaan dan legalisasi aktivitas masyarakat yang terlanjur menggarap kawasan hutan.
“Yang pertama kita arahkan dulu berizin. Karena mereka sudah terlanjur menggarap lahannya. Kalau dulu kan perambah langsung diturunkan, sekarang pemerintah pusat mengarahkan untuk memberi akses legal dulu. Setelah legal, baru kita lakukan pembinaan agar pola budidayanya sesuai,” ujarnya.
Selain mendorong agroforestri, Pemprov juga berupaya menghubungkan petani dengan pasar potensial agar mereka tidak bergantung pada satu komoditas saja.
“Supaya mereka tidak hanya bergantung dari satu komoditi, kita coba pertemukan dengan pasar-pasar potensial. Yang keempat, kita juga sedang mencari peluang untuk mengukur nilai ekonomi karbon dari upaya yang telah mereka lakukan,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa konsep yang didorong bukan sekadar mengembalikan hutan seperti semula, melainkan mengembalikan fungsi hutannya.
“Arahnya bagaimana mereka bisa sejahtera dengan memberikan perlindungan yang memadai terhadap hutannya. Jadi hutan yang menyejahterakan, tidak harus mengembalikan fisik hutan sebagaimana dulu, tapi setidaknya mengembalikan fungsinya,” tegas Yanyan.
Berdasarkan SK 256, luas kawasan hutan di Lampung tercatat sekitar 1.473.500 hektare. Dari jumlah tersebut, yang sudah dimanfaatkan dalam skema perhutanan sosial baru sekitar 209.000 hektare.
“Kalau yang jadi kewenangan provinsi, tahura, hutan lindung, dan hutan produksi itu sekitar 960.000 hektare. Dari itu, yang perhutanan sosial baru 209.000 hektare,” ungkap Yanyan.
Ia menjelaskan, secara administratif, sebagian kawasan hutan dikelola di bawah kewenangan taman nasional, seperti Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, sementara sisanya berada di bawah kewenangan provinsi.
Terkait pengamanan kawasan hutan, Yanyan mengakui keterbatasan jumlah polisi kehutanan (polhut).
“Polhut kita jumlahnya cuma sedikit. Karena itu kita berdayakan masyarakat agar mereka juga menjadi mitra polhut,” katanya.
Saat ini terdapat sekitar 130–150 penyuluh kehutanan swadaya masyarakat yang turut membantu pendampingan dan pengawasan di lapangan. (Cha/Lua)




