Boni Hargens Mengkritik Komite Reformasi Polri Soal Isu Penunjukan Langsung Kapolri Oleh Presiden

jpnn.com
2 jam lalu
Cover Berita

jpnn.com, JAKARTA - Analis politik senior Boni Hargens kembali memberikan kritikan tajam ke Komite Reformasi Polri yang justru mewacanakan penunjukan langsung Kapolri oleh Presiden.

Menurut Hargens, usulan tersebut sebagai “sesat pikir” atau logical fallacy yang serius karena mengabaikan prinsip fundamental demokrasi yang suara rakyat.

BACA JUGA: Soal Perkembangan Pembentukan Komite Reformasi Polri, Mahfud MD Bilang Begini

“Usulan Komite Reformasi Polri sebagai sesat pikir atau logical fallacy yang serius karena mengabaikan prinsip fundamental demokrasi yang suara rakyat. Penunjukan langsung oleh eksekutif tanpa melibatkan legislatif berpotensi menciptakan konsentrasi kekuasaan yang berbahaya dan mengurangi mekanisme pengawasan demokratis,” ujar Boni Hargens dalam keterangannya, Jumat (12/12/2025).

Padahal, kata Hargens, mekanisme penunjukan Kapolri saat ini melibatkan DPR sebagai bagian dari sistem checks and balances dalam demokrasi Indonesia.

BACA JUGA: Kapolri Jenderal Listyo Dinilai Hadir dengan Tegas di Tengah Banjir Kayu Gelondongan dan Reformasi Polri

Proses ini dirancang untuk memastikan akuntabilitas dan representasi kepentingan rakyat dalam penentuan pimpinan lembaga penegak hukum yang strategis.

“Demokrasi selalu meletakkan suara rakyat sebagai kunci dalam pertimbangan dan pembuatan kebijakan publik. Dalam konteks ini, DPR adalah perwakilan rakyat yang tak bisa dilangkahi dalam penentuan kapolri," tegas Hargens.

BACA JUGA: Apresiasi Kinerja Polri Terbaik Ketiga Dunia, Boni Hargens Bangga dan Beberkan PR ke Depan

Boni pun membeberkan empat kelemahan fundamental usulan penunjukan langsung Kapolri.

Pertama, usulan tersebut melanggar prinsip checks and balances. Penunjukan langsung oleh Presiden menghilangkan peran pengawasan legislatif, menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif tanpa kontrol yang memadai dari cabang kekuasaan lain.

“Kedua, usulan tersebut mengabaikan representasi rakyat di mana DPR adalah lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat untuk mewakili kepentingan mereka. Meniadakan peran DPR berarti mengabaikan hak rakyat dalam menentukan pimpinan institusi publik yang akan melayani mereka," ujar dia.

Ketiga, usulan tersebut membuka cela potensi politisasi lebih besar. Menurut Hargens, penunjukan langsung justru dapat menciptakan ketergantungan Kapolri yang lebih besar kepada Presiden, berpotensi menjadikan kepolisian sebagai alat politik eksekutif tanpa mekanisme pengawasan eksternal.

"Keempat, usulan tersebut mengurangi transparansi dan akuntabilitas. Proses fit and proper test di DPR memberikan ruang publik untuk menilai kualifikasi, integritas, dan visi calon Kapolri. Penunjukan langsung menghilangkan transparansi ini dan mengurangi akuntabilitas publik," tegas Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini.

Hargens lalu mempertanyakan arah kerja dari Komite Reformasi Polri yang justru tidak fokus pada reformasi internal polri yang substansif, seperti upaya transformasi mendasar dalam budaya, etika, dan sistem kerja kepolisian Indonesia.

Menurut dia, mekanisme penunjukan Kapolri adalah masalah teknis-prosedural yang sudah diatur dalam kerangka konstitusional.

“Mengubahnya memerlukan perdebatan konstitusional yang lebih luas, bukan kewenangan Komite Reformasi. Usulan kontroversial ini justru mengalihkan perhatian dari agenda reformasi substantif yang lebih mendesak, seperti penguatan integritas, profesionalisme, pemberantasan korupsi internal, dan peningkatan kualitas pelayanan publik," ungkap dia.

Selain menyimpang dari mandat reformasi, kata Hargens, usulan penunjukan langsung Kapolri justru memunculkan pertanyaan publik soal timing dan pihak yang diuntungkan dengan usulan tersebut.

Oleh karena itu, Hargens mendorong agar Komite Reformasi Polri fokus pada agenda reformasi yang dalam catatannya terdapat 6 poin besar.

Pertama, transformasi budaya organisasi, yakni mengubah budaya internal Polri dari yang bersifat hierarkis-militeristik menjadi lebih berorientasi pada pelayanan publik.

Kedua adalah penguatan integritas dan anti-Korupsi.

"Ketiga adalah peningkatan profesionalisme dengan memperkuat sistem pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi, teknologi modern, dan standar internasional untuk meningkatkan kapasitas anggota kepolisian di semua tingkatan," beber dia.

Keempat, lanjut Hargens, perbaikan hubungan dengan masyarakat melalui community policing, keterbukaan informasi, mekanisme pengaduan yang responsif, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan kinerja kepolisian.

Kelima, reformasi sistem hukum internal. Terakhir, sistem evaluasi kinerja yang objektif dengan mngembangkan indikator kinerja yang terukur, berbasis pada kepuasan publik dan efektivitas penegakan hukum, bukan hanya pada angka statistik yang mudah dimanipulasi.

“Polemik tentang mekanisme penunjukan Kapolri ini menggarisbawahi pentingnya membedakan antara perubahan prosedural dan reformasi substantif. Usulan Komite Reformasi Polri untuk penunjukan langsung oleh Presiden tidak hanya bermasalah dari perspektif demokrasi, tetapi juga mengalihkan fokus dari agenda reformasi yang sesungguhnya mendesak," pungkas Hargens.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
UU Kepariwisataan 2025 Perkuat Pariwisata sebagai Pilar Pembangunan Nasional
• 15 jam lalupantau.com
thumb
Tangerang Luncurkan Sistem Aduan SAKTI untuk Cegah Korupsi
• 22 jam lalurepublika.co.id
thumb
Editorial MI: Satu Komando Hadapi Perusak Hutan
• 16 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Milly Alcock Ungkap Momen Tak Terduga Saat Dinyatakan Resmi Menjadi Supergirl
• 11 jam lalutabloidbintang.com
thumb
[FULL] Komisi VII DPR & Tim SAR soal Pasokan Listrik di Aceh-Sumatera Masih Belum Stabil
• 2 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.