FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kontroversi mengenai kecerdasan buatan “Lisa” milik Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali memanas setelah Roy Suryo menyingkap dugaan manipulasi data pada sistem tersebut. Dalam penjelasannya, Roy menggambarkan situasi ini sebagai paradoks teknologi.
Mesin yang seharusnya berdiri di atas objektivitas dan logika justru dihentikan karena memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan keinginan pihak tertentu.
“Lisa itu terlalu jujur, begitu menjawab lalu malah langsung dibredel,” ujar Roy dikutip pada Sabtu (13/12).
Polemik AI UGM bernama LISA jadi viral setelah menjawab pertanyaan tentang “Jokowi alumni UGM”. Dalam video, LISA menyebut Jokowi bukan alumni UGM, meski juga mengatakan bahwa Jokowi pernah kuliah di Fakultas Kehutanan UGM namun tidak lulus.
Lisa menjawab berdasarkan data yang tersedia dalam sistem: “Pernah kuliah, tapi tidak lulus.” Jawaban itulah yang kemudian menjadi sumber kekacauan.
Menurut Roy, reaksi kampus yang langsung menonaktifkan Lisa menunjukkan adanya ketidakjelasan penanganan teknologi yang seharusnya berjalan independen dari kepentingan apa pun.
Pakar Telematika itu menegaskan bahwa teknologi tidak dapat berbohong karena secara logika, AI hanya mengolah data yang dimasukkan. “Nggak mungkin mesin itu berbohong. Kalau ada yang berubah berarti manusianya yang mengubah,” tegasnya.
Mesin AI ini bukan hadir tanpa konteks. Lisa diluncurkan sebagai wujud modernisasi UGM, ditempatkan di Gedung Inovasi dan Kreativitas (GIK), sebuah bangunan baru yang sejak awal telah menyimpan kontroversi.
Roy bahkan menyebut gedung tersebut istana kelelawar Nusantara. “Warnanya suram,” ujarnya sebagai bentuk kritik terhadap estetika dan proses pembangunan yang sempat dipersoalkan publik.
Di lokasi inilah Lisa dioperasikan hingga akhirnya dihentikan setelah jawaban problematis itu viral.
Di balik peristiwa ini, Roy menyoroti pihak yang terlibat, terutama UGM dan perusahaan mitra teknologi, PT Botika. Ia secara spesifik menyebut direktur perusahaan tersebut.
“CEO-nya Puara Anindita harus jujur juga. Jangan sampai sistem yang benar dipaksa berbuat salah,” katanya.
Mantan Menpora tersebut mengaku menelusuri portal resmi UGM dan menemukan kejanggalan, misalnya hanya satu dokumen yang tersisa terkait riwayat akademik yang ditanyakan publik.
“Aneh sekali, kok cuma satu? Berarti sistem ini sudah tidak objektif lagi,” ungkapnya.
Alasan kampus bahwa Lisa sedang dalam tahap belajar juga tidak diterima oleh Roy. Menurutnya, AI tetap harus bekerja berdasarkan data, bukan alasan improvisasi. Ia menyebut klaim tersebut sebagai pembenaran yang dibuat-buat untuk menutupi intervensi manusia.
“UGM bilang Lisa kurang belajar, itu lucu. Kalau kurang belajar, berarti dia disuruh bohong dong,” kritiknya.
Bagi Roy, masalah sebenarnya bukan pada kemampuan Lisa, melainkan pada manusia yang berusaha mengubah jawaban agar sesuai kepentingan tertentu.
Masalah ini kemudian berkembang menjadi perdebatan mengenai integritas data kampus dan aspek hukum yang menyertainya. Roy menjelaskan bahwa tindakan mengubah data, memanipulasi informasi, atau memaksa sistem agar menjawab tidak sesuai fakta dapat masuk dalam pelanggaran Pasal 32 dan 35 UU ITE.
Ia bahkan menyebut kemungkinan adanya tersangka baru jika terbukti ada rekayasa. “Jangan-jangan programernya Lisa bisa jadi tersangka ke sembilan,” ucapnya dengan nada satir.
Dari sudut pandangnya, risiko hukum bukan lagi perkara kecil karena perubahan data akademik menyangkut integritas institusi pendidikan terbesar di Indonesia.
Dari sisi mekanisme kerja AI, Roy memperingatkan bahwa manipulasi jawaban akan menyebabkan kerusakan berantai pada sistem data. Karena seluruh informasi akademik saling terhubung, perubahan pada satu bagian akan memaksa rekayasa pada bagian lain.
“Apapun rekayasa yang dimasukkan pasti nanti akan sinkron dan ketika tidak sinkron sistemnya akan rusak,” jelasnya.
Efek domino inilah yang menurutnya dapat menghancurkan kepercayaan publik terhadap UGM sebagai penyedia data akademik yang seharusnya terpercaya.
Roy menilai bahwa tindakan kampus menunjukkan ketidakmampuan mengelola transparansi di tengah tuntutan publik akan kejujuran data.
Sebaliknya, Lisa yang hanya menjalankan logika yang diberikan justru menjadi korban. Roy kemudian menutup kritiknya dengan menyatakan bahwa kasus ini tidak hanya merusak kredibilitas Lisa sebagai mesin, tetapi juga mencederai reputasi kampus.
“Ini menjatuhkan nama kampus saya yang tercinta,” ucapnya. (*)




