Otoritas Kiai dan Krisis PBNU

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Saya cukup familiar dengan kehidupan kultural dan spiritual NU, mengingat komunitas lingkungan dan pertemanan saya banyak yang bertradisi nahdliyin, sehingga isu perebutan otoritas yang kini terjadi dalam tubuh Nahdlatul Ulama terasa bukan hanya sebagai konflik kelembagaan, melainkan guncangan yang menyentuh jantung identitas kultural masyarakat Muslim Indonesia, lebih khusus lagi di pulau Jawa.

Kasus posisi Yahya Cholil Staquf—yang masih menggantung pasca-pertemuan Dewan Syuriah dan para kiai senior (The Jakarta Post, 9 Desember 2025)—menunjukkan bahwa organisasi keagamaan sekaliber NU tak luput dari tarik-menarik kepemimpinan dan interpretasi otoritas.

Dalam pertemuan di Tebuireng, Jombang, para pengurus dan kiai membahas alasan pemberhentian Yahya yang berkaitan dengan undangan terhadap pembicara pro-Israel dalam forum internal Agustus lalu, serta dugaan persoalan tata kelola keuangan PBNU.

Namun penolakan sebagian besar pengurus terhadap surat pemberhentian yang dikeluarkan Dewan Syuriah pada 26 November—karena dianggap tidak sesuai AD/ART—memicu pertanyaan mendasar: Sejauh mana prosedur organisasi dapat mengalahkan konfigurasi kewibawaan kiai dalam tradisi nahdliyin?

Konteks Nahdliyin dan Tarik-ulurnya

Secara historis, NU dibangun dari kepatuhan sosial-kultural terhadap para masyayikh pesantren. Strukturnya memang modern secara organisasi, tetapi “jiwa” NU terbentuk oleh genealogis keilmuan dan tradisi karisma ulama, sebagaimana terekam dalam sejarah kelahirannya pada 1926.

Di titik ini, keputusan Dewan Syuriah—meski struktural—tidak serta-merta diterima jika sebagian besar aktor kultural merasa legitimasi simbolik Yahya masih kuat. Ini bukan semata persoalan administratif, melainkan lebih berkaitan dengan “keabsahan moral” yang dalam tradisi pesantren sering kali berdiri sejajar, bahkan melampaui keabsahan struktural.

Clifford Geertz—dalam studinya mengenai Islam Jawa—memberikan “thick description” mengenai bagaimana simbol, ritual, dan habitus memproduksi makna sosial yang khas. Meskipun Geertz tidak mengembangkan grand theory budaya organisasi, wawasan antropologinya menunjukkan bahwa mekanisme sosial dalam komunitas seperti NU tidak dapat dilepaskan dari makna simbolik yang diwariskan secara turun-temurun.

Ketika Dewan Syuriah menggunakan logika prosedural, sebagian kiai dan pengurus menggunakan logika kewibawaan sosiokultural. Keduanya sama-sama sah dalam kerangka NU.

Dari kacamata teori budaya—misalnya konsep “institutional logic” dalam kajian organisasi—tindakan para aktor NU dapat dibaca sebagai benturan logika yang berbeda: logika formal-organisasional dan logika tradisi-kultural.

NU adalah contoh di mana dua logika tersebut tidak pernah benar-benar dipisahkan. Di sinilah, apa yang tampak sebagai “deadlock” sesungguhnya merupakan upaya menjaga keseimbangan otoritas agar tetap berada dalam koridor tradisi, bukan sekadar struktur.

Implikasi Budaya Organisasi dan Masa Depan NU

Konflik soal Yahya boleh jadi hanya gejala permukaan dari agenda yang lebih besar terkait posisi NU dalam relasi kekuasaan negara, konsesi ekonomi, dan diplomasi simbolik menyangkut isu Palestina-Israel.

Ketika tuduhan terkait konsesi tambang muncul dalam spektrum rumor publik, terlihat ada kecemasan bahwa NU terlalu dekat dengan sumber-sumber kekuasaan. Dalam perspektif organisasi, ini dapat memicu “crisis of identity”—apakah NU hendak menjadi civil society, lembaga keagamaan, atau aktor politik-ekonomi nasional?

Ketegangan antara Dewan Syuriah dan PBNU juga mengingatkan kita bahwa model kepemimpinan yang terlalu terpersonalisasi di sekitar figur kiai kharismatik akan diuji ketika organisasi perlu bergerak dengan sistem modern governance. Harapan rekonsiliasi yang disampaikan Mohammad Nuh mencerminkan kesadaran bahwa NU tidak boleh membiarkan perpecahan simbolik—karena NU bukan sekadar organisasi, melainkan jaringan sosial-kultural jutaan umat.

Dalam konteks itu, perpecahan akan menyebar bukan melalui struktur, melainkan melalui jejaring kiai, jemaah tahlilan, dan pesantren—yang selama satu abad menjadi ruang pendidikan kultural warga NU.

Dalam jangka panjang, NU memiliki tantangan besar untuk membangun pola kepemimpinan yang mengakomodasi modernitas organisasi sekaligus menjaga otoritas tradisi. Jika tidak, NU berpotensi mengalami fragmentasi identitas; sebagian mendorong tata kelola rasional dan sebagian menginginkan kembalinya dominasi kiai sebagai sumber kewibawaan. Kedua arah ini bukan hal yang harus dipertentangkan, melainkan perlu dijembatani dengan membaca tradisi NU secara historis dan bukan semata legalistik.

Namun, apa pun perkembangan persoalan Yahya, fakta bahwa perdebatan terjadi di Pesantren Tebuireng—salah satu pusat tradisi NU—menunjukkan bahwa dialog kultural tetap menjadi kanal utama penyelesaian konflik. Bila NU mampu mengubah krisis ini menjadi proses pembelajaran kolektif, organisasi ini justru akan menemukan pembaruan otoritas yang lebih kokoh.

Pada akhirnya, masa depan NU tidak hanya bergantung pada siapa ketua umumnya, tetapi bagaimana NU menegosiasikan identitasnya di tengah perubahan sosial-politik Indonesia, sembari menjaga etos nahdliyin yang selama ini menjadi rumah besar umat.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Tertahan di Posisi 3, Kantongi 20 Emas
• 23 jam lalukumparan.com
thumb
6 Polisi Jadi Tersangka Kasus Pengeroyokan hingga Tewas di Kalibata
• 20 jam lalukompas.tv
thumb
Terungkap Penyebab Sopir Mobil MBG Nyelonong Masuk SD dan Tabrak Siswa
• 15 jam laludetik.com
thumb
Kemensos Kirim Bantuan Tambahan untuk Pengungsi di Aceh dan Sumbar
• 20 jam laludetik.com
thumb
Warga Sipil Terjebak di Tengah Konflik Thailand-Kamboja, Trump Janji Turun Tangan
• 7 jam lalugenpi.co
Berhasil disimpan.