EtIndonesia. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Venezuela kembali meningkat tajam setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Selasa, 10 Desember, secara terbuka mengonfirmasi bahwa Washington telah menyita sebuah kapal tanker besar milik Venezuela yang berada di bawah rezim sanksi internasional.
Trump menyebut penyitaan ini sebagai salah satu operasi terbesar dalam sejarah penegakan sanksi AS, langkah yang segera mengguncang pasar pelayaran global dan memicu reaksi keras dari pemerintah Venezuela.
“Kami baru saja menyita kapal itu—sangat besar, benar-benar sangat besar. Dan bukan hanya itu, kami juga melakukan langkah lain,” ujar Trump kepada wartawan.
Ketika ditanya mengenai nasib muatan minyak di dalam kapal tersebut, Trump menjawab singkat, “Mungkin akan disimpan.” Pernyataan ini langsung memicu kemarahan rezim Presiden Nicolás Maduro, yang menuduh AS melakukan perampokan terbuka.
Operasi Multilembaga dan Penyitaan Kapal “Skipper”
Departemen Kehakiman Amerika Serikat menjelaskan bahwa operasi ini melibatkan koordinasi lintas lembaga, termasuk:
- FBI
- Homeland Security Investigations (HSI)
- Penjaga Pantai AS
- Departemen Pertahanan AS
Kapal tanker yang disita bernama Skipper, sebelumnya dikenal sebagai Edison, dan telah lama masuk dalam daftar hitam sanksi AS karena diduga terlibat dalam pengiriman minyak Iran serta jaringan pengelakan sanksi internasional.
Menurut seorang pialang minyak berbasis di Singapura yang dikutip Wall Street Journal, pada pertengahan November, kapal ini secara diam-diam memuat lebih dari 1,1 juta barel minyak berat Venezuela. Untuk menghindari pelacakan, kapal tersebut mematikan sistem radar dan identifikasi otomatis (AIS) selama proses pengiriman.
Rekaman Dramatis: Operasi Ala Militer di Tengah Laut
Amerika Serikat merilis rekaman operasi yang memperlihatkan pasukan bersenjata turun langsung dari helikopter ke dek kapal, lengkap dengan perlengkapan tempur. Adegan ini menyerupai operasi militer khusus, bukan sekadar penegakan hukum sipil.
Pemerintah Venezuela, mengutip laporan BBC, mengecam keras tindakan tersebut dan menyebutnya sebagai:
- Perampokan internasional
- Pembajakan laut
- Upaya sistematis Amerika untuk merampas sumber energi Venezuela
Sebaliknya, pihak Amerika menyebut operasi ini sebagai peringatan keras bagi kapal-kapal lain yang masih mengangkut atau menunggu muatan minyak Venezuela di laut lepas—banyak di antaranya diketahui sengaja mematikan AIS untuk menghindari deteksi.
Minyak: Garis Hidup Terakhir Rezim Maduro
Bagi Venezuela, minyak hampir menjadi satu-satunya sumber pendapatan vital yang tersisa.
Menurut pakar utang publik Venezuela, Hernández, pada periode 2023–2024, rezim Maduro memperoleh sekitar 1,8–2,2 miliar dolar dari kerja sama pengiriman minyak, dengan porsi terbesar berasal dari Chevron, perusahaan energi Amerika Serikat.
Sementara itu, Ramchi, analis Venezuela dari Atlantic Council, menilai langkah Trump sebagai tekanan terukur, bukan blokade total.
“Jika Amerika benar-benar ingin mematikan Venezuela, langkah paling mudah adalah berhenti membeli minyaknya. Namun itu tidak dilakukan. Ini tekanan selektif,” jelasnya.
Dampak Langsung ke Pasar Global
Efek penyitaan ini langsung terasa di pasar internasional:
- Semua kontrak pelayaran terkait Venezuela kini dipaksa memasukkan klausa perang
- Risiko penyitaan melonjak tajam
- Ongkos angkut meningkat drastis
- Diskon minyak berat Venezuela terhadap Brent melebar dari 8 dolar menjadi 15 dolar per barel
- PDVSA (perusahaan minyak negara Venezuela) praktis kehilangan daya tawar
Jika kapal-kapal mulai enggan berlayar, Venezuela berisiko kehilangan 300.000–500.000 barel ekspor per hari, jumlah yang cukup untuk mengguncang ekosistem energi Karibia.
Efek Domino di Karibia: Kuba Gelap Gulita
Dampak lanjutan telah terlihat jelas di kawasan:
- Impor minyak Kuba anjlok 35%
- Banyak wilayah di Kuba hanya mendapatkan listrik 2–4 jam per hari
Pada saat yang sama, kehadiran militer Amerika Serikat di Karibia terus diperkuat. Hingga kini, sekitar 15.000 tentara AS telah dikerahkan, dan kapal induk USS Gerald R. Ford dilaporkan telah berada di kawasan tersebut.
Kejutan Politik: María Corina Machado Muncul di Norwegia
Di tengah memanasnya situasi, Wall Street Journal mengungkap perkembangan politik besar lainnya.
Pada 10 Desember, pemimpin oposisi Venezuela paling berpengaruh sekaligus penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2025, María Corina Machado, dilaporkan diam-diam tiba di Norwegia.
Machado selama 11 bulan terakhir:
- Dilarang keluar negeri
- Bersembunyi
- Tidak pernah tampil di publik
Laporannya dramatis: ia menyamar, mengenakan wig, melewati lebih dari sepuluh pos pemeriksaan militer, menyeberangi Karibia, dan akhirnya tiba di Oslo.
Saat dia muncul di sebuah hotel, para pendukungnya telah berkumpul—menandai penampilan publik pertamanya setelah hampir setahun menghilang. Bahkan Komite Nobel Norwegia merahasiakan kehadirannya hingga menjelang upacara resmi.
Nobel, Seruan Mundur Maduro, dan Tekanan Baru
Pada 2025, Hadiah Nobel Perdamaian dianugerahkan kepada Machado, namun fia tidak hadir dan diwakili oleh putrinya. Dalam pidato resmi, ketua Komite Nobel secara terbuka menyerukan pengunduran diri Nicolás Maduro.
Kemunculan dua tokoh oposisi utama dalam waktu bersamaan membuat situasi politik Venezuela semakin sensitif.
Gedung Putih membantah keterlibatan langsung dalam operasi pelarian Machado. Namun arah kebijakan Trump semakin jelas: Venezuela tanpa Maduro.
Alih-alih perang mahal, Washington tampak memilih tekanan politik, ekonomi, dan diplomatik sebagai strategi utama.
Apa Langkah Selanjutnya?
Para analis memperkirakan Machado akan:
- Menuju Washington
- Melakukan tur politik Eropa–Amerika
- Memperluas dukungan internasional terhadap oposisi Venezuela
Pertanyaan besar kini menggantung:
- Bagaimana respons Maduro?
- Apakah akan muncul retakan baru dalam struktur kekuasaan Caracas?
- Sejauh mana Amerika Serikat akan terus meningkatkan tekanannya?
Jawabannya akan menentukan arah masa depan Venezuela—dan stabilitas kawasan Karibia—dalam waktu dekat.





