Ketika atlet beladiri beraksi di atas matras, pandangan penonton hampir selalu tertuju pada gerak-gerik si olahragawan. Mungkin, tak banyak yang memperhatikan isyarat dari figur lain di arena: sosok seperti Sanny Harsono yang memastikan setiap poin, gerakan, dan keputusan dalam pertandingan berjalan adil.
Sanny adalah satu-satunya wasit taekwondo perempuan asal Yogyakarta yang mengantongi sertifikat internasional kategori poomsae. Namun, perjalanan Sanny menuju titik itu justru tak dimulai dari taekwondo. Ia pertama kali mengenal dunia olahraga lewat tenis lapangan. Sejak kecil hingga remaja, hidupnya lekat dengan raket dan lapangan tenis, bahkan sempat menembus kompetisi level nasional di Provinsi DIY. Taekwondo baru hadir dalam hidup Sanny belakangan, setelah ia pensiun dari tenis dan mengikuti jejak sang adik yang lebih dulu terjun sebagai atlet beladiri asal Korea Selatan itu.
“Awal mulanya adik saya dulu yang taekwondo. Adik saya juga mantan atlet, sempat sampai Sea Games, kejuaraan dunia, dan lain-lain. Kemudian setelah saya stop dari tenis, saya ikut taekwondo,” tutur Sanny saat ditemui Pandangan Jogja, Selasa (2/12). Sanny menjadi atlet taekwondo kategori poomsae. Berbeda dengan kategori kyorugi atau sparring berupa duel satu lawan satu, poomsae menilai rangkaian jurus individu mulai dari pukulan, tangkisan, hingga ritme tubuh.
Masuk ke taekwondo di usia yang tidak lagi muda membuat Sanny harus beradaptasi dengan cepat. Ia tidak datang sebagai atlet yang dibentuk sejak usia dini, tetapi sebagai seseorang yang memulai dari nol di cabang olahraga baru. Meski demikian, ia tak menganggap taekwondo hanya sebagai pengganti tenis. Olahraga ini benar-benar ditekuninya, hingga atmosfer kejuaraan dunia pun pernah ia cicipi. Tahun 2013, ia tampil di ajang kejuaraan dunia yang digelar di Bali. Namun, alih-alih terus mengejar prestasi di jalur atlet, Sanny justru melangkah ke arah yang jarang dipilih: dunia perwasitan.
“Sebenarnya untuk di taekwondo kariernya itu panjang, banyak. Jadi selesai dari atlet, kita bisa lanjut untuk ke yang lain, ke pelatih, ke wasit, pengurus, dan lain-lain,” jelas Sanny.
Karier perwasitan Sanny tidak dibangun dalam semalam. Ia memulai dari jenjang paling dasar sebagai wasit daerah sekitar tahun 2009, lalu naik ke nasional, hingga akhirnya meraih lisensi internasional pada 2017. Setiap tahap memiliki syarat, poin, dan durasi tertentu yang harus dipenuhi. Untuk bisa naik kelas, seorang wasit harus aktif memimpin pertandingan resmi dan terus memperbarui lisensinya. Selain itu, wasit taekwondo juga harus terus belajar karena aturan cabor ini terus mengalami perubahan. Proses panjang itu dijalani Sanny secara mandiri. Tidak ada jalur instan, tidak ada fasilitas khusus. Semua biaya dan pengorbanan ditanggung sendiri, mulai dari waktu hingga materi.
“Untuk mengambil lisensi memang saya semua mandiri. Jadi kalau ditanya pengorbanan apa, ya selain waktu, materi juga. Banyak orang bilang, ‘untuk apa mengorbankan segitu banyak?’ Cuma ya karena passion, saya cinta di sini, jadi saya harus berkorban sesuatu,” akunya.
Tentu, perjalanan Sanny di dunia ini tak selalu mulus. Ada kalanya jenuh menghampiri, dan rasa lelah membuatnya ingin berhenti. Namun, setiap kali peluang baru menghampiri—biasanya berupa undangan memimpin pertandingan—Sanny memilih untuk melanjutkan melangkah.
“Taekwondo sudah menjadi bagian (hidup) aja gitu. Seperti sudah telanjur kecemplung. Jadi ya sudah, saya tekuni.”
Sebagai wasit, tugas utama Sanny adalah menjaga sportivitas. Dalam hal ini, netralitas menjadi prinsip yang tidak bisa ditawar. Sistem taekwondo punya aturan tegas: wasit tak boleh memimpin pertandingan seorang atlet yang berasal dari daerah atau negara yang sama dengannya. Aturan ini berlaku di semua level, dari daerah hingga internasional.
“Ketika Indonesia main, Indonesia turun di partai tersebut, wasit yang berasal dari negara yang sama akan digantikan oleh wasit yang non-daerah yang sama, negara yang sama. Itu berlaku nasional maupun internasional,” jelasnya.
Di level internasional, kehadiran wasit taekwondo berlisensi menjadi salah satu penopang fairness dalam pertandingan. Kualitas dan integritas wasit ikut menentukan bagaimana pertandingan dijalankan secara adil, terutama pada ajang-ajang besar seperti SEA Games yang pernah dipimpin Sanny pada 2022.
Ingin Banyak Wasit DIY Berlisensi InternasionalPeran Sanny di dunia taekwondo tak terbatas hanya di atas matras. Ia juga aktif sebagai pelatih poomsae dan terlibat dalam pembinaan perwasitan di tingkat daerah. Dalam kesehariannya, ia harus membagi peran sebagai pelatih, wasit, dan pembina—tiga posisi dengan tuntutan yang berbeda. Kuncinya, menurut Sanny, adalah totalitas dan fokus pada peran yang sedang dijalani.
“Sebagai pelatih, kita curahkan semua untuk si atlet. Sebagai wasit, kita menjunjung tinggi netralitas. Ketika jadi pelatih, kita fokus sebagai pelatih. Ketika (jadi) wasit, fokus sebagai wasit. Itu aja sih, totalitas intinya.”
Pengalaman sebagai atlet, wasit, dan pelatih membuat Sanny kerap memikirkan masa depan taekwondo, khususnya di DIY. Saat ini, jumlah wasit poomsae berlisensi internasional di DIY masih sangat terbatas. Sanny berharap regenerasi bisa terus berjalan, tidak hanya untuk atlet, tetapi juga untuk wasit dan pelatih.
“Untuk yang lisensi poomsae di DIY kita ada lima. Mungkin aku ingin lebih banyak ya teman-teman wasit dari DIY mempunyai lisensi poomsae juga. Semoga tahun depan jika ada diklat lagi, kita bisa mengirimkan lebih banyak untuk wasit dari DIY di lisensi poomsae,” harapnya.
Keinginan yang sama ia tujukan kepada atlet muda taekwondo. Menurut Sanny, potensi selalu ada, tinggal bagaimana ekosistem mendukung dan membinanya. “Sebenarnya bibit-bibit itu banyak, mungkin cuma belum terpoles dengan baik. Aku harap DIY bisa menelurkan atlet-atlet yang bisa bersaing di nasional maupun internasional,” pungkasnya.



