FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan mantan Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang menyebut kebiasaan masyarakat Indonesia seperti minum kopi, makan gorengan, hingga menggunakan ponsel turut berkontribusi terhadap penebangan hutan dan aktivitas tambang menuai respons negatif publik.
Dalam sebuah tayangan video yang beredar di media sosial, Hasan Nasbi menguraikan bahwa kehidupan modern tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan sumber daya alam. Bagi dia, banyak hal di sekitar kita seperti kopi, kelapa sawit, hingga logam dalam ponsel berasal dari aktivitas pembukaan lahan dan penggalian bumi, sehingga kritik terhadap deforestasi tidak bisa disamaratakan.
Pengamat yang juga merupakan Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Luthfi Hasanal Bolqiah menilai pandangan Hasan Nasbi sekilas terdengar masuk akal di permukaan, namun keliru secara logika.
la menyebut pernyataan itu sebagai false dichotomy atau dikotomi palsu, karena seolah-olah hanya ada dua pilihan ekstrem: melindungi hutan secara penuh atau melakukan eksploitasi besar-besaran.
“Padahal faktanya, ada banyak pendekatan lain seperti zonasi, tebang pilih, hingga agroforestry. Isunya tidak hitam-putih,” tutur Luthfi dikutip pada Sabtu (13/12).
la juga menyoroti penyamaan antara aktivitas konsumsi harian masyarakat dengan ekspansi industri skala besar.
Luthfi menyampaikan, membandingkan kebiasaan seperti minum kopi atau memakai ponsel dengan praktik pertambangan dan deforestasi merupakan penyetaraan yang keliru.
“Yang sedang diperdebatkan bukan soal orang minum kopi atau pakai HP, tapi siapa yang paling diuntungkan dari ekspansi industri dan siapa yang justru menanggung dampaknya, seperti banjir, longsor, dan gagal panen,” tegasnya.
Bahwa kata Luthfi, argumen Hasan Nasbi tersebut jelas menggeser fokus dari tanggung jawab struktural ke moralitas individu. Padahal, dalam sistem demokrasi, warga tetap berhak mengkritik tata kelola sumber daya alam meskipun belum sepenuhnya menjalani gaya hidup ramah lingkungan.
Terakhir ia menyimpulkan, pernyataan Komisaris Pertamina itu justru berpotensi mengaburkan akar persoalan dan tidak menawarkan solusi nyata bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh kerusakan lingkungan.
Banjir bandang dan longsor yang menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November lalu menyebabkan ratusan orang meninggal, orang hilang, dan ratusan ribu orang harus mengungsi.
Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada memaparkan, banjir bandang yang membawa kayu-kayu dan sedimen itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang kian menurun.
Pembukaan lahan di daerah hulu, pemukiman yang merangkak naik ke dataran tinggi, serta perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan. Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut runtuh dan debit puncak tak lagi dapat dikendalikan.
“Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” katanya.
Ia menegaskan bahwa secara alami hutan memiliki kemampuan besar untuk menahan air hujan. Bahkan dalam kondisi ideal, hingga sepertiga air dapat tertahan di tajuk dan lebih dari separuh meresap ke dalam tanah sebelum mencapai permukaan. Ketika tutupan hutan berkurang, seluruh volume air bergerak serentak menuju sungai dan mempercepat terjadinya banjir. (Pram/fajar)




