Lana, Poomsae, dan Pelajaran Menahan Tangis

kumparan.com
1 hari lalu
Cover Berita

Alkisah, tayangan Ninja Warrior di televisi membuat seorang anak terinspirasi, bukan untuk menjadi jagoan, melainkan untuk melakukan aksi-aksi seperti yang dilihatnya di layar kaca: berlari, memanjat, melompat. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada domino hill atau spider wall, kursi di rumah pun jadi sasaran panjat-memanjat. Si anak bahagia, sedang ibunya mengelus dada.

Penggalan masa kecil ini dikisahkan Lana Anindya Firjah Aqela, atlet taekwondo asal Sleman peraih sejumlah prestasi di tingkat nasional dan internasional. Sebuah potongan masa lalu yang tak pernah bisa ia lepaskan, sebab dari hiperaktivitasnya semasa kecil itulah ia akhirnya mengenal taekwondo.

“Super aktif banget di rumah. Lihat TV, Ninja Warrior gitu, langsung naik-naik kursi nggak jelas. Terus sama Mama dicariin kegiatan, biar tersalurkan,” tutur Lana saat ditemui Pandangan Jogja, Selasa (2/12). Pada usia 4 tahun, ibu Lana mendaftarkannya latihan taekwondo—aktivitas yang awalnya hanya dilakukan Lana untuk bersenang-senang.

Meski awalnya suka berlatih taekwondo, lama-lama Lana merasa bosan. Alhasil, latihan itu ditinggalkannya setelah mencapai sabuk hijau. Meski vakum taekwondo sekitar satu tahun, Lana tak sepenuhnya meninggalkan dunia beladiri. Di sekolahnya, ia mengikuti les tapak suci.

Suatu hari, Sanny Harsono, wasit taekwondo internasional asal Jogja yang melatih Lana, bertanya padanya: beladiri mana yang ingin ia tekuni? Tanpa ragu, Lana memilih kembali ke taekwondo karena alasan sederhana: ingin mengoleksi banyak medali. “Karena Taekwondo kan banyak pertandingannya,” aku Lana. Pilihan ini menjadi awal perjalanan Lana di dunia yang kelak akan membawanya pada banyak kejuaraan.

Namun, tentu saja, tak ada jalan mulus menuju kesuksesan. Remaja yang kini duduk di bangku kelas XII SMA 2 Muhammadiyah Yogyakarta itu mengaku dirinya mudah menangis saat menghadapi tekanan. Lana masih ingat jelas, pertandingan pertama yang diikutinya membuatnya takut dan tak bisa berhenti menangis. Ia pun batal bertanding, lalu dimarahi almarhum neneknya.

“Di parkiran, nenek bilang, ‘Kamu nih rese ya, gini aja nangis.’ Dari situ akhirnya termotivasi, nggak mau dikatain rese lagi,” kenang Lana. Sejak saat itu, ia masih kerap merasakan takut sebelum bertanding. Namun, perkataan sang nenek secara tak sadar telah membentuk karakternya, untuk berani melawan segala perasaan jerih.

Poomsae, Jawaban bagi Ibu yang Tak Tega Anaknya Bertarung

Meski ibunyalah yang pertama kali mengenalkan Lana pada beladiri, ternyata ia tak sanggup melihat sang buah hati harus berduel di arena. Perasaan ibu-anak ini rupanya saling terhubung, sebab Lana pun sebenarnya takut saat bertarung.

“Akunya juga takut. Kalau tarung, terus kena muka, sakit kan?” ujarnya. Di sisi lain, ia masih ingin melanjutkan perjalanannya di taekwondo. Berangkat dari kekhawatiran ini, Sanny menyarankan agar Lana memilih opsi taekwondo yang tak melibatkan duel: poomsae.

Dalam seni beladiri asal Korea Selatan ini, terdapat dua kategori yakni kyorugi dan poomsae. Kyorugi merupakan laga satu lawan satu yang mengaplikasikan teknik serangan dan pertahanan taekwondo secara langsung. Jenis taekwondo inilah yang membuat Lana maupun ibunya merasa waswas. Berbeda dengan kyorugi, poomsae tak mempertemukan dua atlet taekwondo dalam pertarungan secara fisik. Aspek yang dinilai pada kategori ini bukanlah strategi atau aplikasi teknik dalam duel, melainkan kesempurnaan teknik dan keindahan jurus yang dilancarkan. Sejak saat itu, Lana mulai fokus berlatih teknik, jurus, dan gerakan taekwondo sebagai atlet poomsae.

Saat persiapan menuju PON XXI Aceh-Sumut 2024, Lana kembali menjumpai tembok tinggi. Kebiasaan menangisnya yang masih belum hilang membuat pengalamannya di masa lalu kembali terulang: terpaksa berhenti sebelum mulai. Bedanya, kali ini Lana tak sedang berada di kompetisi, melainkan sesi latihan bersama Sanny. Asal perkaranya satu: tak kunjung berhasil melakukan backflip, salah satu gerakan yang harus dikuasai oleh atlet poomsae terutama di kategori freestyle.

Sang pelatih sudah meminta Lana untuk melakukan semampunya saja, tetapi ia hanya diam. Tak kuasa Lana menggerakkan tubuh, sebab pikiran-pikiran buruk telah memenuhi kepalanya. Melihat anak didiknya diam saja, Sanny sedikit membentak. Tak pelak, Lana langsung terisak.

“Nangis, ngambek, kayaknya nggak mau ngelakuin lagi. Terus dimarahin, "Kamu mau tanding nggak? Kamu mau juara nggak? Kalau kamu mau juara, lakuin,” kata Lana mengulang ucapan pelatihnya kala itu. Karena tangisnya tak kunjung berhenti, pelatih memintanya melakukan pendinginan dan pulang.

Dari pengalaman sering dibentak, Lana belajar bahwa menangis tidak akan membuat performanya membaik. Malahan, ia bakal kehabisan nafas. Lebih baik, ia fokus mencari cara supaya gerakan yang dikoreksi pelatih dapat ia perbaiki. Apalagi, poomsae memang menuntut gerakan yang presisi dan detail, disertai power dan speed.

Nyeri Cedera yang Sirna di Arena

Beberapa bulan menjelang PON, ujian kembali menghampiri Lana. Saat tengah berlatih freestyle, lututnya justru cedera. Vonis dokter kepadanya tegas: ia tak bisa ikut PON. Mendengar hal itu, tangis Lana pecah. Teringat kembali sesi latihan panjang nan mati-matian yang selama ini dijalaninya. Apakah semua perjuangan itu akan sia-sia?

Beruntungnya sekitar dua bulan menuju kompetisi, dokter memutuskan Lana boleh bertanding dengan satu syarat: harus menjalani fisioterapi setiap hari. Padatnya jadwal latihan dan pemulihan membuat Lana harus vakum dari sekolah selama beberapa waktu.

“Pagi-pagi latihan, terus istirahat bentar ke rumah sakit buat fisioterapi. Habis itu pulang, makan, istirahat. Sorenya latihan lagi sampai malam. Begitu terus diulang-ulang.”

Cedera itu memengaruhi pergerakan Lana. Kaki yang menjadi tumpuan dalam tak bisa ia gunakan secara maksimal. Sembari menunggu kakinya pulih, ia fokus melatih ritme dan gerakan tangan. Diakui Lana, sampai sehari menjelang pertandingan, rasa nyeri masih terasa di lututnya. Tendangan pun masih belum bisa ia lakukan secara maksimal.

“Sebelum tanding biasanya ada latihan H-1. Nah, di situ masih terasa nyeri dan nggak balance. Tapi pas hari-H tanding, kayak hilang aja itu rasanya sakitnya. Baru bisa benar-benar nendang yang full itu di hari-H tanding. Benar-benar los nendangnya.”

Lana pun tak paham mengapa rasa sakit itu bisa mendadak hilang. Namun, ia memang mengubah mindset-nya sebelum bertanding. “Ini nggak cedera, nggak sakit. Kamu bisa, bisa nampilin yang terbaik. Tunjukin kalau kamu itu bisa,” ia mengulang kembali mantranya di hari itu. Hasilnya, Lana berhasil melaju hingga babak semifinal dan membawa pulang perunggu.

Merasa belum puas, Lana kembali menguji kemampuannya di POPNAS XVII 2025 di Jakarta. Di POPNAS terakhirnya sebagai pelajar tingkat akhir, Lana bertekad menunjukkan yang terbaik. Ambisi itu dibayarnya lunas dengan membawa pulang emas.

Seluruh prestasi yang telah diraih tak membuat Lana lantas puas. Ia terus menatap ke depan, menuju mimpi-mimpi yang masih ingin ia gapai. Kini, harapan terdekatnya adalah dipanggil untuk pelatnas. “Mau banget sih dipanggil pelatnas. Bisa yang internasional, mewakili Indonesia, nggak cuma di DIY,” harapnya. Untuk mencapai impian itu, Lana memberi pesan kepada dirinya sendiri: kurang-kurangilah menangis.

“Ada pelatih yang selalu support, ada Mama juga yang support, keluarga support. Itu yang bikin aku sampai sekarang bisa bertahan,” pungkasnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Waka Komisi V DPR Ingatkan Pemerintah Data Korban Bencana Layak Terima Hunian
• 8 jam laludetik.com
thumb
Timnas U-22 Indonesia Gugur di SEA Games 2025, Zainudin Amali Jadi Sorotan Pengamat
• 18 jam laluskor.id
thumb
Rajiv DPR Acungi Jempol ke Kapolda Jabar Tangkap Perusak Kebun Teh Pangalengan
• 22 jam laluviva.co.id
thumb
Playground Tayo Station Hadir di Indonesia, Cocok Buat Libur Sekolah Anak
• 21 jam lalukumparan.com
thumb
Pemred Suara Surabaya Tekankan Komunikasi Humas Harus Berpihak pada Publik
• 20 jam lalusuarasurabaya.net
Berhasil disimpan.