Tidak Cukup Sekadar Melarang Ponsel Cerdas di Sekolah  atau Membatasi Akses Media Sosial

kompas.id
17 jam lalu
Cover Berita

Pelarangan menggunakan telepon cerdas di sekolah dan mengakses media sosial bagi anak-anak di berbagai negara terus meningkat. Semakin banyak pemerintah dan sistem pendidikan di dunia mengambil sikap berani yakni ponsel dimatikan dan disingkirkan dari pandangan anak-anak di tengah perdebatan tentang pembelajaran digital terus berlanjut.

Anna Cristina D’Addio dari tim Global Education and Monitoring (GEM) Report UNESCO, dikutip dari laman world-education-blog.org, Sabtu (13/12/2025), menyebut terjadi revolusi ‘diam-diam’ yang berlangsung di sekolah-sekolah di seluruh dunia.

Pada tahun 2023, baru satu dari empat negara memiliki pembatasan penggunaan ponsel pintar di sekolah, angka ini telah meningkat pesat. “Saat ini, lebih dari setengah negara memiliki kebijakan yang membatasi penggunaan ponsel di sekolah,” kata D’Addio.

Terkini, sebagaimana diberitakan Kompas, larangan akses media sosial (medsos) bagi remaja dan anak resmi berlaku di Australia, Rabu (10/12/2025). Sebelum larangan berlaku, 96 persen anak Australia berusia 10-15 tahun menggunakan medsos. Jumlahnya paling tidak 1 juta orang dan jumlah akunnya lebih banyak lagi.

Baca JugaAustralia Larang Anak di Bawah 16 Tahun Bermedia Sosial

Berdasarkan Undang-Undang Perubahan Keselamatan Daring (Batas Usia Minimum Media Sosial) 2024, anak-anak tidak bisa lagi mengakses 10 pelantar media sosial. Larangan akses, antara lain, berlaku pada Facebook, Instagram, Tiktok, dan Youtube.

KOMPAS
Pemerintah Australia resmi melarang anak dan remaja di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan media sosial. Kebijakan ini menjadikan Australia sebagai negara pertama yang memberlakukan larangan penggunaan medsos berbasis usia. Lantas, bagaimana selengkapnya terkait aturan ini?

Namun kebijakan Pemerintah Autsralia ini justru dilawan dua remaja Australia, Noah Jones dan Macy Neyland. Keduanya yang didukung Digital Freedom Project menggugat kebijakan tersebut ke Mahkamah Agung. Larangan itu dinilai secara tersirat membatasi hak kebebasan berkomunikasi politik.

Implementasi tegas Pemerintah Autralia yang melarang akses media sosial bagi anak-anak, memperkuat Kementerian Komunikasi dan Digital di Indonesia untuk mengimplementasi penuh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Ini akan dimulai 1 Maret 2026.

Saat ini, lebih dari setengah negara memiliki kebijakan yang membatasi penggunaan ponsel di sekolah.

”Pembahasan di dunia saat ini mengenai bagaimana menjaga anak-anak di ranah digital. Pemerintah Australia resmi memberlakukan larangan akses media sosial bagi remaja dan anak di bawah 16 tahun. Indonesia telah memiliki PP Tunas yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025, dan kini masuk fase transisi,” kata Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, dikutip dari laman Kompas.id.

Sementara UNESCO terus mendorong pembatasan penggunaan telepon pintar dan media sosial. Laporan GEM 2023 menunjukkan beberapa teknologi dapat mendukung pembelajaran dalam beberapa konteks, tapi tak mendukung saat digunakan secara berlebihan atau tidak tepat. Memiliki ponsel pintar di kelas bisa mengganggu pembelajaran.

Dampak penggunaan telepon pintar dan media sosial yang berlebihan pada anak-anak, bahkan memunculkan kata-kata baru ke Kamus Oxford pada tahun 2024, yakni doomscrolling (kebiasaan terus membaca berita negatif di internet) dan brain-rot (pendangkalan otak). Keduanya merupakan simbol dari meluasnya penggunaan media sosial yang tidak sehat yang didorong oleh algoritma kecerdasan buatan.

Menurut D’Adddio, gelombang perubahan penggunaan ponsel pintar di sekolah mencerminkan meningkatnya kekhawatiran orangtua, guru, dan pembuat kebijakan tentang dampak buruk ponsel dan media sosial terhadap pembelajaran akademis, interaksi sosial, tidur, kesehatan mental, kemampuan kognitif, privasi, dan banyak lagi.

Edisi gender Laporan GEM 2023 berpendapat, anak perempuan dua kali lebih mungkin daripada anak laki-laki untuk menderita gangguan makan yang diperburuk oleh penggunaan media sosial.

Lebih lanjut dipaparkan, riset Facebook mengungkapkan, 32 persen remaja perempuan merasa lebih buruk tentang tubuh mereka setelah memakai Instagram. Laporan itu mencatat tren mengkhawatirkan terkait algoritma TikTok, yang menargetkan remaja dengan konten citra tubuh tiap 39 detik dan mempromosikan konten gangguan makan tiap 8 menit.

Pada peluncuran Laporan GEM 2023 tentang teknologi dalam pendidikan, pemetaan profil negara Partnerships for Enhanced Engagement in Research (PEER) atau negara berkembang yang mendapat hibah riset dari Pemerintah Amerika Serikat, menunjukkan 24 persen negara memiliki pembatasan penggunaan ponsel pintar di sekolah.

Kini, jumlah negara yang membatasi penggunaan ponsel pintar di sekolah melonjak. “Sebanyak 52 negara sekarang menerapkan kebijakan untuk membatasi penggunaan telepon di sekolah, peningkatan yang signifikan,” tegas D’Addio.

Langkah ini disebut sebagai revolusi ‘diam-diam’. Namun, jika gerakan ini ingin mewujudkan janjinya, butuh lebih dari sekadar larangan. “Revolusi ‘diam-diam” itu nyata.  Dibutuhkan kebijakan yang bijaksana, dukungan dari para pendidik dan keluarga, dan yang terpenting, percakapan jujur ​​tentang tujuan sekolah dan siapa yang dilayaninya,” ujarnya.

Tidak sekadar melarang

Terkait pelarangan penggunaan ponsel pintar dan media sosial pada anak-anak, Hao Yu, associate professor kedokteran populasi di Harvard Medical School dan di Harvard Pilgrim Health Care Institute, dikutip dari laman news.harvard.edu, menuturkan, sebagian besar sekolah negeri di Amerika Serikat memiliki kebijakan mengatur penggunaan ponsel pintar di kelas.

“Hal paling mengejutkan yakni kebijakan penggunaan telepon seluler di tingkat sekolah begitu umum. Hampir setiap sekolah negeri yang kami survei menunjukkan mereka memiliki kebijakan tentang telepon seluler,” kata Yu menambahkan.

KOMPAS
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (11/12/2025) mengungkapkan rencana pembatasan penggunaan media sosial bagi anak dan remaja akan segera diterapkan mulai 1 Maret 2026. Pembatasan ini mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) yang sebelumnya telah ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025.

Penelitian yang dilakukan pada Oktober 2024 dan diterbitkan dalam JAMA Health Forum baru-baru ini, mensurvei kepala sekolah negeri mengenai kebijakan telepon seluler yang berlaku selama tahun ajaran 2024-2025.

Riset tersebut mengkategorikan kebijakan berdasarkan tingkat keketatannya, mulai dari larangan total hingga mengizinkan siswa membawa telepon tetapi tidak menggunakannya saat jam sekolah berlangsung.

Tingkat keketatan menengah mencakup kebijakan yang mengizinkan siswa membawa ponsel pintar ke sekolah tapi hanya menggunakannya di luar kelas. Kategori paling longgar mencakup sekolah-sekolah yang mengizinkan penggunaan telepon di kelas atas kebijakan guru, termasuk sekolah-sekolah yang tak memiliki kebijakan telepon seluler sama sekali.

Menurut Yu, terkait berkembangnya larangan penggunaan ponsel pintar dan media sosial di sekolah, pada akhirnya masyarakat harus mencari keseimbangan dalam masalah ini.

Hal ini disebabkan siswa saat ini akan bekerja sepanjang hidup mereka di lingkungan dengan ponsel pintar dan layar lainnya, serta akal imitasi atau artificial intelligence (AI) yang semakin canggih.

“Sekadar melabeli perangkat-perangkat ini sebagai ‘jahat’ tidak akan membantu. Ini merupakan tantangan bagi para guru karena saat ini, bagi generasi muda, ponsel atau AI menjadi bagian kehidupan mereka. Bagaimana Anda membantu mereka mengintegrasikan alat-alat ini ke dalam kehidupan akademis mereka merupakan tantangan,” ucap Yu.

Baca JugaHindari Anak Kecanduan Gadget dengan Cakap Bermedia Digital

Dari riset terhadap 1.227 siswa dari 30 sekolah di seluruh Inggris, dipublikasikan di Jurnal Lancet Regional Health Europe pada Februari 2025, menemukan tak ada perbedaan hasil bagi siswa yang bersekolah di sekolah yang melarang penggunaan ponsel pintar sepanjang hari sekolah.

Hal ini termasuk untuk masalah kesejahteraan mental (kecemasan dan depresi); aktivitas fisik dan tidur: hasil pembelajaran (pencapaian Bahasa Inggris dan Matematika); serta tingkat perilaku mengganggu di kelas.

Victoria Goodyear, associate professor di Universitas Birmingham, Inggris dan penulis utama studi itu mengatakan larangan penggunaan ponsel pintar di sekolah memang menyebabkan sedikit penurunan penggunaan ponsel (sekitar 40 menit) dan medsos (sekitar 30 menit) di sekolah oleh siswa.

Namun hasil studi menunjukkan, dampaknya kecil dan kebijakan sekolah yang melarang penggunaan ponsel untuk hiburan tidak menyebabkan pengurangan yang berarti dalam keseluruhan waktu yang dihabiskan untuk menggunakan ponsel dan media sosial.

"Kami menemukan ada relasi antara makin banyak waktu yang dihabiskan di ponsel dan media sosial dengan hasil lebih buruk, kesejahteraan mental dan kesehatan mental lebih buruk, kurangnya aktivitas fisik dan kualitas tidur lebih buruk, pencapaian pendidikan lebih rendah, dan tingkat perilaku mengganggu di kelas lebih tinggi," paparnya.

Goodyear mengamini bahwa mengurangi waktu yang dihabiskan di ponsel merupakan fokus penting. “Tetapi kita perlu melakukan lebih dari sekadar berfokus pada sekolah, dan mempertimbangkan penggunaan ponsel di dalam dan di luar sekolah, sepanjang hari dan sepanjang minggu," tegasnya.

Dari studi itu menunjukkan, kebijakan sekolah bukan solusi mujarab untuk mencegah dampak buruk penggunaan ponsel pintar dan media sosial. Perlu mengatasi penggunaan telepon secara keseluruhan di sekolah maupun luar sekolah, untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan di kalangan remaja.

Sementara Carrie James, Co-Director and Principal Investigator di Project Zero oleh Harvard Graduate School of Education, mengatakan sekolah-sekolah di seluruh dunia memperketat pengawasan ponsel siswa, dengan banyak yang menerapkan larangan total sebagai solusi mengatasi gangguan, perundungan, ataupun masalah kesehatan mental.

“Namun cerita pelarangan ini lebih kompleks daripada sekadar ‘ponsel itu buruk’. Kita juga perlu mengoptimalkan manfaat yang tersedia. Dan ada juga konsekuensi yang tidak diinginkan dari larangan ini yang belum kita ketahui,” katanya.

James mengatakan,  bagi banyak siswa, ponsel dapat menjadi alat penting untuk keselamatan, koneksi, atau dukungan pembelajaran. Karena itu, menghapus perangkat elektronik tak menghilangkan beberapa tantangan terkait tumbuh besar dengan teknologi, tapi bisa menghilangkan beberapa manfaat koneksi itu.

 “Jadi, ini bukan berarti argumen untuk tidak menerapkan kebijakan larangan penggunaan perangkat elektronik dari awal hingga akhir jam sekolah. Saya pikir kebijakan itu amat penting dalam banyak kasus. Namun ini adalah argumen untuk selalu waspada dan menyadari beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan,” katanya.

James menjelaskan, kebijakan pelarangan ponsel pintar di sekolah juga membawa situasi dilematis bagi para pendidik karena tanggung jawab begitu banyak.

“Kita ingin benar-benar memikirkan bagaimana para pendidik dapat didukung dengan sebaik-baiknya. Mereka perlu menemukan ruang bagi pengalaman-pengalaman penggunaan teknologi digital yang mendukung kesejahteraan digital anak muda di luar sekolah,” katanya.

Baca JugaSisi Positif Mesin Digital, Dapat Jadi Sumber Pengetahuan Tak Terbatas

Menurut James, pola pikir yang dibawa orang dewasa dalam percakapan tentang anak muda dan teknologi perlu pencerahan. Para pendidik kerap ditempatkan pada posisi seperti wasit teknologi, di mana mereka harus menegakkan kebijakan dan menghilangkan perangkat dari ruang kelas, berada dalam mode pengawasan. Itu termasuk sebagai orangtua di rumah.

“Padahal aspirasi dari anak muda adalah mereka membutuhkan orang dewasa dalam hidup mereka untuk lebih berperan sebagai pelatih. Penting bagi kita mengubah pola pikir itu dari wasit teknologi jadi lebih seperti pelatih, memberi waktu, pengembangan profesional, dan alat kepada para pendidik. Jadi para guru dan orangtua bisa melakukan itu dengan anak muda dan memenuhi janji tersebut,” ucap James.

 

 

 

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Stok Beras di Aceh Aman hingga 2026, namun Terkendala Transportasi
• 17 jam lalukumparan.com
thumb
Liburan Makin Seru, Bank Mandiri Tebar Promo FOMO Akhir Tahun hingga Rp2,5 Juta
• 1 jam laluviva.co.id
thumb
Siklon Tropis Bakung Aktif, BMKG Pantau Bibit Siklon 92S dan 93S
• 19 jam laludetik.com
thumb
Tanggal 24 Desember 2025 Apakah Cuti Bersama Natal? Ini Jadwal Libur Nataru Menurut Pemerintah
• 6 jam lalukompas.tv
thumb
Penumpang Bandara Ngurah Rai Bali Capai 22,1 Juta Orang
• 21 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.