Perkembangan teknologi yang pesat telah mengubah cara kita berkomunikasi dan memahami dunia. Di tengah banjir informasi yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan dan algoritma media sosial, kita dihadapkan pada tantangan etika terbesar di masa kini: hilangnya kepercayaan.
Deepfake—yaitu konten yang telah dimanipulasi hingga terlihat realistis—kini menjadi ancaman nyata yang menodai pemisahan antara fakta dan fiksi. Situasi ini semakin buruk dengan adanya algoritma yang lebih memprioritaskan sensasi daripada kebenaran, menciptakan ruang gema yang semakin memperkuat informasi yang bias.
Dalam etika Islam, amanah tak hanya berarti menjaga barang yang dipinjamkan, tetapi juga meliputi kejujuran moral dan tanggung jawab atas informasi yang disampaikan. Menyebarkan informasi yang salah atau hoaks—terutama yang dibuat dengan deepfake—adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kebenaran.
Setiap pengguna digital perlu menyadari bahwa perangkat seperti keyboard dan smartphone merupakan perpanjangan dari suara kita dan setiap informasi yang dibagikan berpotensi memiliki dampak moral yang besar. Prinsip ini menekankan kewajiban kita untuk memastikan bahwa informasi yang diterima dan disebarkan adalah akurat.
Konsep tabayyun—yang berarti mencari kejelasan dan melakukan pengecekan sebelum bertindak—adalah pedoman penting yang sangat relevan dengan permasalahan deepfake saat ini. Perintah untuk tabayyun ditekankan dalam ajaran agama ketika menerima informasi dari sumber yang belum terjamin kebenarannya, guna menghindari kerugian atau fitnah. Prinsip ini berfungsi sebagai mekanisme perlindungan diri terhadap informasi yang dimanipulasi.
Di era algoritma, tabayyun harus diimplementasikan dalam tindakan nyata. Ini termasuk mengkritisi sumber informasi dengan tidak mudah percaya pada klaim yang sensasional, melaksanakan cross-check, membandingkan informasi dari berbagai sumber tepercaya, dan validasi teknologi memanfaatkan aplikasi pengecek fakta untuk mendeteksi perubahan visual atau audio yang dilakukan oleh AI. Tabayyun memerlukan kesabaran, kedewasaan, dan kemauan untuk menunda keputusan hingga informasi jelas.
Masalah deepfake adalah tanggung jawab kolektif. Lembaga etika dan keagamaan modern mulai merilis panduan yang menyatakan bahwa membuat, menyebar, atau memakai deepfake untuk menipu atau mencemarkan nama baik adalah tindakan yang tidak diperbolehkan.
Ini menunjukkan bahwa upaya melawan disinformasi bukan hanya tanggung jawab individu. Para pengembang teknologi memiliki amanah untuk menciptakan sistem yang aman, sedangkan para pengatur harus membangun ekosistem digital yang sehat.
Tantangan yang dihadirkan oleh deepfake dan algoritma menjadi ujian besar bagi moralitas umat manusia. Solusi teknologi untuk mendeteksi manipulasi akan selalu tertinggal dibandingkan dengan laju inovasi AI yang menciptakannya. Oleh karena itu, pertahanan yang paling utama terletak pada penerapan etika dalam diri setiap pengguna.
Menurut pendapat saya, menerapkan amanah dan tabayyun adalah lebih dari sekadar ritual keagamaan, tetapi merupakan kunci penting untuk bertahan dalam ekosistem digital yang rawan terhadap disinformasi.
Dengan membuat verifikasi sebagai budaya dan menjadikan integritas sebagai nilai utama, kita dapat mencegah penyebaran fitnah digital dan memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kebaikan, bukan untuk menghancurkan kepercayaan sosial.
Saatnya bagi setiap individu untuk kembali mengambil alih narasi, menolak menjadi penyebar hoaks, dan menegaskan bahwa kebenaran adalah nilai yang paling berharga di era digital.




