Bisnis.com, JAKARTA — Perhitungan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) meminta pemerintah untuk memperbaiki aturan pengenaan royalti terhadap mineral dan batu bara (minerba) di tengah penurunan harga nikel serta batu bara.
Pada diskusi publik bertajuk 'Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba', Kamis (11/12/2025), Wakil Ketua Umum Perhapi Resvani menyampaikan bahwa kenaikan tarif royalti minerba sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2025 memberatkan para pengusaha di sektor pertambangan.
Belum lagi, berdasarkan kajian yang dilakukan olehnya, Indonesia menjadi negara yang menerapkan tarif royalti paling tinggi di antara sejumlah negara.
"Tarif royalti Indonesia salah satu yang tertinggi, bedanya kita sama Queensland, Australia saja. Porsi TGT [total government tax] lebih besar pada saat kondisi yang sulit," ungkapnya pada forum yang juga dihadiri oleh pejabat Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu, dikutip Minggu (14/12/2025).
Tekanan dari pengenaan royalti yang lebih tinggi itu, terangnya, berdampak khususnya kepada industri nikel dan batu bara yang harganya saat ini mengalami tren menurun. Tantangan yang dialami keduanya juga berbeda-beda.
Untuk batu bara, paparnya, keseluruhan pungutan negara atau TGT paling banyak berdampak kepada pengusaha dengan rezim izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Untuk diketahui, IUPK adalah izin yang diberikan pemerintah kepada badan usaha untuk mengelola pertambangan di wilayah tertentu seringkali berasal dari bekas kontrak karya (KK) atau PKP2B.
Baca Juga
- Instruksi Dirjen Pajak: Kejar Setoran Rp2.005 Triliun, Orang Kaya, Sawit, Batu Bara Sasaran Eksekusi!
- Harga DMO Batu Bara Tak Kunjung Naik, Skema MIP Masih Relevan?
- Pengusaha Butuh Stimulus Kembangkan Hilirisasi Nikel Tahap Lanjut
Pengenaan pungutan terhadap tambang dengan IUP lebih sedikit. Apabila dibandingkan antara IUPK dan IUP, IUPK memiliki tambahan pungutan yakni PHT dan BMN, serta PNBP dari keuntungan bersih yakni 10%.
"Dengan asumsi volume yang sama, cost yang sama, rezim fiskal kita menjadikan IUPK TGT jauh lebih tinggi dari IUP. Porsi TGT semakin tinggi pada kondisi sulit di mana harga turun, SR [stripping ratio] naik, jarak angkut jauh," terang Resvani.
Adapun untuk nikel, pria yang juga menggeluti jasa konsultan pertambangan dan energi itu menyebut beban TGT lebih besar untuk IUP tambang nikel yang sekaligus terintegrasi dengan fasilitas pemurnian atau smelter.
Dia menyebut perusahaan nikel yang memiliki izin pertambangan dan smelter itu bisa menanggung beban kenaikan royalti serta tambahan royalti apabila membeli pasokan dari luar pertambangan mereka.
"[Kemudian] tekanan pada saat sebagian ore [bijih nikel] yang dia beli tidak cukup untuk pabrik integrasi, dia akan kena double royalti dia. Belum ada aturan sampai dengan hari ini bagaimana menyelesaikan persoalan itu, dan itu terjadi pada dua PT di Indonesia yaitu Antam dan PT Wanatiara Persada," ungkapnya.
Khusus nikel, yang kini menjadi prioritas hilirisasi pemerintah, tantangan yang dihadapi akibat penurunan harga adalah oversupply. Jumlah smelter nikel yang semakin menjamur di dalam negeri tidak diimbangi oleh peningkatan permintaan, di tengah banyak negara yang juga kini sudah beralih ke LFP untuk bahan baku baterai mobil listrik. "Berkurangnya demand itu sudah sangat memukul kebijakan yang kita buat untuk hilirisasi," ujarnya.
Selain turunnya harga komoditas, lanjutnya, Resvani menyebut pengusaha tambang turut menghadapi tantangan dari kewajiban B40, maupun kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) yang wajib diparkirkan dalam negeri 100% selama 12 bulan.
Padahal, berdasarkan hitung-hitungannya, total valuasi dari tujuh mineral dan batu bara Indonesia bisa mencapai US$7 triliun berdasarkan harga terkini. "Kalau buy margin itu US$1 triliun sampai dengan US$2 triliun, jadi total government tax dari tujuh mineral ini saja US$1 triliun sampai dengan US$2 triliun," pungkasnya.
Namun demikian, berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sampai dengan November 2025, penerimaan pajak dari minerba hanya sebesar Rp43,3 triliun. Sejalan dengan fluktuasi harga komoditas, kontribusinya terhadap seluruh penerimaan pajak yakni hanya 2,65% sampai dengan November 2025.



