DI hampir setiap pidato resmi, negara modern berbicara tentang kemajuan dengan bahasa yang sama. Jalan tol bertambah panjang. Kawasan industri terus diperluas. Investasi asing meningkat. Angka pertumbuhan ekonomi bergerak naik.
Dalam narasi ini, pembangunan diperlakukan seolah hukum alam tak terhindarkan dan tak perlu diperdebatkan. Namun filsafat Jawa sugih tanpa bondo, digdaya tanpa aji mengajukan satu pertanyaan yang jarang sekali diajukan oleh negara pembangunan: apakah bertambahnya harta dan kekuasaan benar-benar membuat kehidupan manusia menjadi lebih bermakna?
Pertanyaan ini tidak teknokratis. Ia tidak bisa dijawab dengan grafik atau statistik. Justru karena itu, ia sering dianggap tidak relevan. Padahal, di situlah letak problem paling mendasar dari pembangunan modern.
Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Kekayaan Negara Naik Tajam, Apa Dampaknya bagi Masyarakat?
Negara, Kekayaan, dan Kekeliruan UkuranDalam logika negara, kekayaan harus terukur. Ia harus bisa dihitung, dipetakan, dan dilaporkan. Hutan dinilai dari potensi kayu dan tambangnya. Laut dihitung dari cadangan mineral dan jalur logistiknya. Tanah direduksi menjadi komoditas yang dapat dialihfungsikan atas nama kepentingan nasional.
Filsafat sugih tanpa bondo menolak cara pandang ini secara radikal. Bagi Jawa, kekayaan bukan soal berapa banyak yang bisa dikuasai, melainkan seberapa sedikit yang perlu dikejar untuk hidup dengan layak dan bermartabat.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=negara kaya, filsafat jawa, sugih tanpa bandha, sugih tanpo bondo, digdaya tanpa aji, kehilangan makna&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNC8xMDE5NTQwMS9rZXRpa2EtbmVnYXJhLWtheWEtdGV0YXBpLXdhcmdhbnlhLWtlaGlsYW5nYW4tbWFrbmE=&q=Ketika Negara Kaya, tetapi Warganya Kehilangan Makna§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Kekayaan yang lahir dari perampasan, pemaksaan, dan perusakan justru dipahami sebagai tanda ketidakseimbangan batin dan sosial. Ketika negara membanggakan pertumbuhan ekonomi sambil menormalisasi penggusuran, kerusakan ekologis, dan ketimpangan sosial, sesungguhnya ia sedang mempraktikkan kemiskinan filosofis. Negara mungkin kaya secara aset, tetapi miskin secara makna.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Pembangunan sebagai Bahasa KekuasaanPembangunan sering dipresentasikan sebagai proses netral dan rasional. Ia dibungkus dengan studi kelayakan, analisis dampak, dan istilah teknis yang sulit diperdebatkan oleh warga biasa. Dalam bahasa ini, kritik sering kali dianggap emosional, tidak objektif, atau tidak memahami kepentingan yang lebih besar.
Namun di balik bahasa teknokratis itu, pembangunan adalah praktik kekuasaan. Ia menentukan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus pergi. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan. Dan sering kali, keputusan ini dibuat jauh dari ruang hidup mereka yang paling terdampak.
Dalam perspektif digdaya tanpa aji, kekuasaan yang sejati seharusnya tidak memerlukan pemaksaan semacam ini. Kekuatan yang matang justru ditandai oleh kemampuannya untuk mendengar, menahan diri, dan mengakui batas. Negara yang terus memaksakan proyek atas nama kepentingan nasional sedang menunjukkan bahwa legitimasinya rapuh dan harus ditopang oleh prosedur, bukan kepercayaan.
Baca juga: Negara Kaya Data, Warga Miskin Rasa
Korporasi dan Normalisasi KeserakahanJika negara menyediakan izin dan regulasi, korporasi menyediakan mesin eksploitasi. Dalam banyak kasus, relasi keduanya begitu intim hingga sulit dibedakan mana kepentingan publik dan mana kepentingan modal. Kerusakan lingkungan direduksi menjadi risiko yang dapat dikompensasi. Penderitaan sosial dianggap sebagai efek samping yang tak terhindarkan. Filsafat Jawa memandang kekuatan semacam ini sebagai kekuatan palsu.
Digdaya tanpa aji menegaskan bahwa kekuasaan yang bertumpu pada modal dan jaringan politik, tetapi kehilangan legitimasi moral, pada dasarnya sedang menunggu runtuh. Ia mungkin efektif dalam jangka pendek, tetapi destruktif dalam jangka panjang.
Korporasi yang mengklaim berkelanjutan sambil terus memperluas ekstraksi sesungguhnya sedang memperlihatkan kecemasan eksistensialnya sendiri. Di balik laporan keberlanjutan dan program tanggung jawab sosial, tersembunyi ketakutan bahwa kekuasaan mereka tidak lagi dipercaya.
Baca juga: Prabowo dan Ketimpangan Ekonomi
Kearifan Lokal yang DisterilkanIronisnya, negara dan korporasi sering kali tidak alergi terhadap filsafat Jawa. Mereka mengutipnya dalam pidato, memasangnya dalam slogan, dan menjadikannya bagian dari identitas budaya. Namun nilai-nilai itu disterilkan dari daya kritiknya.
Sugih tanpa bondo, digdaya tanpa aji dirayakan sebagai warisan budaya, tetapi diabaikan sebagai prinsip etika. Ia aman selama tidak digunakan untuk menilai kebijakan. Ia diterima selama tidak dipakai untuk menolak proyek. Begitu filsafat ini menuntut pembatasan kekuasaan dan keserakahan, ia dianggap tidak realistis.
Padahal justru di situlah kekuatan filsafat Jawa. Ia tidak bertujuan membuat negara nyaman, melainkan membuat kekuasaan selalu gelisah secara moral.
Apa yang Hilang dari Pembangunan KitaKrisis terbesar pembangunan hari ini bukanlah kurangnya teknologi atau investasi, melainkan hilangnya ukuran moral. Kita tahu bagaimana membangun jalan, tetapi lupa bertanya siapa yang harus kehilangan rumah. Kita tahu cara meningkatkan produksi, tetapi abai pada kerusakan relasi sosial dan ekologis.
Filsafat sugih tanpa bondo, digdaya tanpa aji mengingatkan bahwa hidup yang baik tidak identik dengan hidup yang penuh. Bahwa kekuasaan yang sah tidak lahir dari dominasi, melainkan dari kepercayaan. Dan bahwa pembangunan yang mengorbankan kehidupan pada akhirnya sedang membangun kehampaan.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, filsafat Jawa terdengar lambat dan sunyi. Namun justru karena itu, ia menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki negara dan korporasi hari ini: keberanian untuk berhenti, membatasi diri, dan bertanya apakah arah yang ditempuh masih layak disebut kemajuan.
Baca juga: Flexing, Ketimpangan Ekonomi, dan Pentingnya Pajak Kekayaan
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang




