Mungkin sebagian besar dari kita menilai bahwa rasa sakit di tubuh kita, selalu berkaitan dengan gangguan atau sakit fisik. Padahal, sesungguhnya tidak semua sakit fisik selalu berhubungan dengan masalah pada tubuh fisik kita. Bisa jadi, hal itu disebabkan oleh masalah mental atau psikis.
Akhir November 2025 lalu, sekelompok orang berkumpul di sebuah ruangan hotel di Malang, Jawa Timur. Setiap orang duduk bersimpuh di lantai beralaskan matras yoga. Masing-masing diminta duduk dengan santai, sambil mendengarkan musik ringan dan arahan dari instruktur.
Peserta diminta mengatur nafas masuk dan keluar secara perlahan. Ada kalanya, peserta diminta mengembuskan nafas sambil seolah melepas beban dengan keras seiring dorongan napas lepas. Boleh bersuara, bahkan hingga berteriak.
Pada sesi berikutnya, peserta diajak berdiri. Bagian tubuh dibiarkan bergerak bebas seiring alunan musik. Makin lama, tempo musik makin meningkat. Saat itu, embusan nafas tetap dilepaskan dengan bersuara.
Terus dan terus. Hingga puncaknya, musik berhenti saat irama benar-benar meninggi. Pada titik tertinggi itu, suara tangis, teriakan, dan nafas tersengal-sengal dari para peserta pecah mengisi ruangan yang kemudian menjadi hening.
Setiap peserta dipersilakan berekspresi apapun, bahkan kalau mau menangis sejadi-jadinya dipersilakan. Lepaskan. Demikian arahan pelan dari instruktur. Semua yang terjadi di ruangan itu hanya ada di ruangan itu. Semua boleh menjadi sosok yang jauh berbeda dari yang tampak selama ini.
Malam itu, tempat tersebut menjadi ruang aman bagi semua untuk melepaskan segala sakit, lara, dan trauma hati yang entah sadar atau tidak, rupanya terpendam di dalam hati dan tubuh kita. Endapan lara itu lalu mewujud menjadi rasa sakit di kepala, di dada, di pinggang, atau di bagian tubuh lain.
Pada akhir sesi kegiatan Somatic Breathwork-Singing Bowl Meditation oleh instruktur Mariza Clara dan Adeline Windy tersebut, setiap peserta diminta mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama sesi yang berlangsung lebih kurang 2 jam tersebut.
Hampir sebagian besar di antara mereka tidak menyangka bahwa memori rasa ‘sakit’ di masa lalu, ternyata membekas dan terbawa hingga saat ini.
“Saya merasakan betapa masalah yang menumpuk dan terpendam selama ini bisa pelan-pelan saya lepaskan. Selama ini saya selalu dipaksa mengikuti keinginan dan arahan keluarga. Padahal, saya tidak mau. Rupanya, hal itu menumpuk dan menjadi beban di hati selama ini,” kata Tia, seorang peserta meditasi asal Situbondo.
Usai melepaskan lara hatinya yang terus terpendam selama ini, melalui tangis dan teriakan, Tia merasa hatinya lebih plong. Ia pun bersiap menyambut hari ke depan dengan lebih ringan.
Adeline Windy, instruktur singing bowl meditation, mengatakan bahwa terkadang rasa sakit yang kita rasakan bukan berasal dari sakit fisik. Namun, dari lara atau trauma yang terus terpendam, dan akan kembali muncul saat ada pemicunya.
“Sakit itu ada di tubuh fisik. Emosi itu ada di tubuh fisik kita, tepatnya di sistem syaraf. Sakit itu ada di tubuh fisik yang berhubungan dengan sistem syaraf kita. Jadi, saat kita emosi, maka tubuh fisik kita akan ikut bereaksi atas kondisi psikis itu,” kata Adeline.
Reaksi tubuh fisik atas kondisi psikis tersebut, menurut Adeline, di antaranya adalah rasa sakit fisik. Jika rasa sakit psikis itu tidak diatasi, respon fisik yang ikut sakit itu akan terus terekam dalam tubuh dan hanya menunggu waktu saja untuk muncul saat ada pemicu.
“Tubuh kita merekam memori, termasuk rasa sakit psikis. Ini menjadikan tubuh terus dalam mode fight atau bertarung. Akibatnya, saat psikis kita lelah maka energi bisa terperangkap di kepala menyebabkan sakit kepala, rasa sedih terus bisa menyebabkan tegang di dada atau rasa putus asa yang menyebabkan ketegangan di seluruh badan,” kata Adeline.
Dengan demikian, menurut Adeline, untuk meredakan atau menyembuhkan rasa sakit fisik, tidak melulu dengan obat. “Bisa jadi, pengobatan fisik itu hanya menekan sampai rasanya tidak ada, tetapi ketika ada trigger atau pemicu baru, rasa sakit itu muncul lagi,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Adeline, kita harus mencari tahu asal rasa sakit fisik itu dari mana dan pemicunya apa. Dengan demikian, kita bisa mengatasinya dengan tepat.
Lalu, bagaimana kita bisa mengobati rasa sakit fisik yang disebabkan persoalan psikis itu? Menurut Adeline, kuncinya adalah menerima keadaan.
“Terima saja segala masalah itu, sadari bahwa kita tidak bisa selalu kuat. Ada kalanya tubuh kita melawan dan ingin terus kuat, tetapi kadang kuncinya adalah menerima, menyadari, dan memaafkan diri. Bahwa kita manusia biasa yang tidak selalu kuat,” ujarnya.
Selain itu, kita juga bisa ‘sakit’. Lalu, kita belajar melepaskan dan memaafkan diri kita atas semua yang terjadi. ”Itu akan menjadikan tubuh kita lebih ringan. Penerimaan dan kesadaran, bahwa manusia bisa sakit, adalah langkah pertama untuk terbebas dari rasa sakit itu,” ujarnya.
Sebagian dari kita, mungkin tidak percaya bahwa persoalan psikis bisa berpengaruh pada tubuh fisik. Padahal, hal itu ada penjelasan ilmiahnya.
Dokter spesialis kejiwaan asal Universitas Negeri Malang, Dennada Bagus Putra Perdana, mengatakan bahwa dalam medis disebutkan bahwa pikiran dan tubuh sangat terhubung. Saat seseorang mengalami stres, kecemasan, atau beban emosi yang tidak tertangani, tubuh ikut bereaksi.
Hormon stres dan sistem syaraf dipaksa terus “siaga” atau aktif. Hal ini dapat memperberat keluhan seperti nyeri kepala, nyeri otot, gangguan pencernaan, atau jantung berdebar.
“Kondisi seperti itu sering dikenal sebagai ’psikosomatis’ keluhannya nyata. Hanya saja, salah satu sumbernya bisa berasal dari kondisi pikiran,” kata Dennada.
Menurutnya, tentu evaluasi fisik tetap harus dilakukan pada kondisi kesehatan seseorang. Hanya saja, kesehatan mental juga harus kita perhatikan. “Kesehatan fisik dan mental juga harus sama-sama kita perhatikan, sebagai bagian dari gambaran utuh seseorang,” katanya. Men sana in corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Penelitian Andik Isdianto dan kawan-kawan dalam publikasi di Jurnal Pendidikan dan Perkembangan pada Mei 2025, berjudul ‘Dampak Kemarahan Terhadap Kesehatan: Pengaruh Emosi Negatif Pada Organ Tubuh dan Cara Mengatasinya’, memperlihatkan bahwa dalam era modern ini, tekanan emosional sering diabaikan. Padahal, salah satu emosi yang serius dan menimbulkan risiko bagi kesehatan adalah kemarahan.
Menurut penelitian itu, kemarahan tidak hanya berdampak pada kesejahteraan emosional dan sosial, tetapi juga dapat memengaruhi berbagai sistem organ, termasuk sistem kardiovaskular dan sistem imun.
Studi lain mengaitkan kemarahan kronis dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang menunjukkan hubungan antara emosi dengan gangguan kardiovaskular.
Hal itu muncul dalam penelitian berjudul ‘Long-term effects of perceived stress, anxiety, and anger on hospitalizations or death and health status in heart failure patients’ karya Andrew J Dimond, David S Krantz, Andrew J Waters, Keen Seong Liew, dan Stephen S Gottlieb (2021).
Selain itu, dampak kemarahan pada kesehatan fisik bisa mendorong stres berkepanjangan. Itu dapat mengganggu fungsi sistem imun, mengurangi kemampuan tubuh dalam melawan infeksi dan memperlambat pemulihan dari penyakit.
Hal itu dituangkan Dominique L La Barrie dan teman-temannya (2024) dalam tulisan berjudul The role of specific emotion dysregulation facets in the association between child violence exposure and psychopathology. Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy.
Mereka menyarankan masyarakat memanajemen kemarahan dengan baik agar hal itu tidak berdampak pada kondisi kesehatan.
Nah bagaimana, apakah Anda mengalami sakit fisik yang tak kunjung hilang? Coba rasakan, apakah ada sakit psikis yang selama ini Anda abaikan? Sadari dan terimalah rasa sakit itu. Lalu, terbebaslah…



