FAJAR, JAKARTA — Dua tahun lalu, nama Indra Sjafri dielu-elukan sebagai simbol kebangkitan sepak bola Indonesia di level Asia Tenggara. Pada SEA Games 2023 Kamboja, ia mengakhiri penantian panjang selama 32 tahun dengan mempersembahkan medali emas setelah kemenangan dramatis 5-2 atas Thailand di partai final. Indra diposisikan sebagai arsitek kesuksesan, pelatih bermental juara yang mampu membangun karakter Garuda Muda.
Namun, sejarah sepak bola kerap bergerak cepat dan tanpa ampun.
Pada SEA Games 2025 Thailand, narasi itu runtuh. Timnas Indonesia U-22 gagal total. Target minimal semifinal tak tercapai, bahkan Indonesia harus tersingkir di fase grup. Hasil tersebut menjadi antitesis dari kejayaan dua tahun sebelumnya dan memantik gelombang kritik luas dari publik sepak bola nasional.
Pertanyaannya kini bukan sekadar soal kekalahan, melainkan bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indra Sjafri atas kegagalan ini?
Dari Pahlawan ke Tersangka Teknis
Indra Sjafri menyadari sepenuhnya posisi dirinya sebagai sosok paling bertanggung jawab secara teknis. Dalam pernyataan resmi, pelatih asal Sumatra Barat itu tak berkelit dan memilih berdiri di garis depan kritik.
“Pertama, kami tidak lolos dari fase grup. Secara teknis, orang yang paling bertanggung jawab adalah saya. Jadi, saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Saya ulangi lagi, secara teknis ini tanggung jawab saya,” tegas Indra.
Pernyataan tersebut menunjukkan sikap ksatria, namun bagi publik, permintaan maaf belum cukup menjawab kegagalan sistemik yang terjadi sepanjang turnamen.
Kegagalan ini tidak berdiri sendiri. Sepanjang fase grup, Timnas Indonesia tampil inkonsisten, minim kreativitas, dan terlihat kehilangan identitas permainan. Keputusan taktis Indra, mulai dari pemilihan pemain, rotasi yang kerap dipertanyakan, hingga pendekatan strategi di laga krusial, menjadi sorotan tajam.
Ekspektasi Tinggi, Realitas Rendah
Sebagai juara bertahan, Indonesia datang ke SEA Games 2025 dengan ekspektasi besar. Status tersebut justru menjadi beban psikologis yang tak mampu dikelola dengan baik.
Beberapa pemain tampil di bawah performa terbaiknya. Transisi permainan lambat, koordinasi lini belakang rapuh, dan lini serang gagal memaksimalkan peluang. Dalam laga-laga penentuan, Indonesia kerap tertinggal lebih dulu dan kesulitan bangkit.
Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah Indra terlalu percaya pada formula lama yang sukses di 2023, tanpa cukup adaptasi terhadap perubahan lawan dan dinamika tim?
Suara dari Dalam Tim
Kapten Timnas Indonesia U-22, Ivar Jenner, turut menyampaikan permohonan maaf kepada publik. Ia mengakui besarnya harapan yang tak mampu mereka wujudkan di lapangan.
“Sebagai kapten, saya merasa bertanggung jawab karena kami tidak bisa melaju ke babak berikutnya. Saya tahu harapan dan ekspektasi sangat tinggi. Kami sungguh ingin membuat semua bangga,” ujar Ivar.
Pernyataan ini mencerminkan beban mental yang dipikul para pemain. Namun, di sepak bola modern, tanggung jawab utama tetap berada di tangan pelatih, terutama dalam turnamen singkat seperti SEA Games yang menuntut ketepatan strategi dan manajemen emosi tim.
Pertanggungjawaban yang Masih Menggantung
Hingga kini, belum ada kejelasan langkah konkret dari federasi terkait masa depan Indra Sjafri. Apakah kegagalan ini akan berujung evaluasi menyeluruh, reposisi jabatan, atau bahkan pengakhiran kerja sama?
Dalam konteks sepak bola nasional, kegagalan di ajang multievent seperti SEA Games sering kali tak hanya dinilai dari hasil, tetapi juga dari proses. Publik menuntut transparansi:
Apakah target yang ditetapkan realistis?
Apakah persiapan tim sudah optimal?
Apakah pemilihan pemain benar-benar berbasis performa, bukan reputasi masa lalu?
Tanpa jawaban yang jelas, kegagalan ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam tata kelola tim nasional kelompok umur.
Warisan Indra Sjafri Dipertaruhkan
Indra Sjafri sejatinya memiliki rekam jejak panjang dalam pembinaan usia muda. Ia pernah melahirkan generasi emas lewat Piala AFF U-19 dan SEA Games 2023. Namun, kegagalan di Thailand membuat warisan tersebut kini berada di persimpangan.
Apakah Indra akan dikenang sebagai pelatih yang berjasa besar namun gagal beradaptasi dengan dinamika baru? Ataukah ia masih diberi kesempatan untuk menebus kegagalan dengan reformasi pendekatan dan filosofi?





