Pemenuhan hak asasi manusia warga dunia dalam menikmati pendidikan dasar dalam dua dekade terakhir berkembang pesat dari sisi akses. Namun, kemajuan tersebut masih menyisakan kesenjangan kualitas.
Selain itu, hak pendidikan warga kini tidak lagi dimaknai sekadar memperoleh pendidikan gratis secara formal pada jenjang tertentu. Hak tersebut juga mencakup jaminan kualitas pendidikan yang bermutu dan setara.
Pemenuhan hak pendidikan pun dituntut relevan dengan tantangan perubahan global. Tantangan itu antara lain digitalisasi, meningkatnya konflik, mobilitas manusia, perubahan demografis, serta dinamika sosial dan ekonomi lainnya.
Terkait laporan UNESCO tentang hak atas pendidikan bertajuk “The Right to Education: Past, Present, and Future Directions”, Direktur Pembelajaran Sepanjang Hayat UNESCO Borhene Chakroun mengatakan bahwa dunia telah mencatat kemajuan signifikan. Pernyataan tersebut dikutip dari laman news.un.org, Minggu (14/12/2025).
Menurut Chakroun, kemajuan tersebut terlihat sejak diadopsinya Konvensi Anti-Diskriminasi dalam Pendidikan tahun 1960 serta pelaksanaan Agenda Pendidikan 2030.
Dalam dua dekade terakhir, lanskap pendidikan dasar gratis mengalami perubahan besar. Sebanyak 82 persen negara kini menyediakan pendidikan dasar gratis. Angka ini meningkat dari 56 persen pada tahun 2000.
Tingkat penyelesaian pendidikan juga menunjukkan tren positif. Saat ini, 88 persen anak menyelesaikan sekolah dasar. Dua puluh tahun lalu, angkanya masih berada di kisaran 77 persen.
“Kita telah mencapai kemajuan yang sangat besar sejak diadopsinya Konvensi Anti-Diskriminasi dalam Pendidikan,” kata Chakroun.
Kesetaraan jender dalam pendidikan kini hampir tercapai di sebagian besar wilayah dunia. Sementara itu, pendidikan tinggi mengalami apa yang disebut UNESCO sebagai ekspansi eksplosif.
Hasil positif ini tidak boleh mengaburkan masalah yang kita hadapi saat ini.
Jumlah mahasiswa global meningkat dari sekitar 100 juta orang pada tahun 2000 menjadi 264 juta saat ini. “Yang menggembirakan, lonjakan ini mencakup pertumbuhan signifikan di negara-negara kurang berkembang,” ujar Chakroun.
Meski demikian, tren positif tersebut masih dibayangi kesenjangan yang dalam dan sulit diatasi. “Hasil positif ini tidak boleh mengaburkan masalah yang kita hadapi saat ini,” kata Chakroun.
Laporan UNESCO juga mencatat bahwa sebanyak 272 juta anak masih putus sekolah sebelum waktunya. Selain itu, terdapat 762 juta orang dewasa yang masih buta huruf.
Dua pertiga dari kelompok orang dewasa buta huruf tersebut adalah perempuan. Kondisi hasil belajar di banyak negara juga masih mengkhawatirkan.
Di sejumlah negara berpenghasilan rendah, hingga 70 persen anak berusia 10 tahun belum mampu membaca dan memahami kalimat sederhana. Kondisi ini menjadi indikator serius rendahnya kualitas pembelajaran.
Kemajuan akses pendidikan yang belum diimbangi kualitas ini diperparah oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah kemiskinan, kekurangan guru terlatih, lemahnya infrastruktur, ketidakstabilan politik, serta dampak guncangan iklim.
“Kondisi ini menjadi peringatan bahwa kerangka hukum global untuk hak atas pendidikan harus dimodernisasi secara mendesak,” kata Chakroun. Menurutnya, pembaruan tersebut diperlukan agar tetap selaras dengan dunia yang terus berubah.
Laporan UNESCO juga mendesak perlindungan dan revitalisasi visi universal hak atas pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan dipandang sebagai sarana utama untuk mempercepat kemajuan masyarakat.
Selain itu, pendidikan berperan memperkuat kohesi sosial dan mendorong pertumbuhan inklusif. Pendidikan juga dinilai penting bagi pengembangan pribadi dan kesejahteraan manusia.
Namun, memastikan sistem pendidikan mampu merespons kebutuhan masa kini dan masa depan tidak cukup hanya melalui inovasi kebijakan. Diperlukan pula kejelasan mengenai tujuan fundamental pendidikan itu sendiri.
Hal ini menuntut pemahaman baru tentang apa yang diharapkan masyarakat dari pendidikan. Terutama di tengah era kompleksitas, ketidakpastian, dan saling ketergantungan global.
Dalam pemenuhan hak atas pendidikan, prinsip-prinsip utama tetap harus dijunjung tinggi. Prinsip tersebut mencakup tujuan pendidikan, larangan diskriminasi, serta kewajiban negara di berbagai jenjang dan bentuk pendidikan.
Selain itu, negara juga dituntut memastikan pemenuhan standar kualitas minimum. Peninjauan kembali terhadap hak atas pendidikan diperlukan agar hak tersebut tetap melindungi, tangguh, dan responsif terhadap perkembangan masa depan.
Di Indonesia, upaya pemenuhan hak atas pendidikan juga terus diperkuat. Pemerintah berupaya memastikan seluruh sekolah memperoleh layanan pendidikan bermutu, termasuk sekolah-sekolah yang berada di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Upaya tersebut mencakup sekolah negeri maupun sekolah swasta. Pemerintah menegaskan bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada wilayah perkotaan.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq saat melakukan kunjungan kerja ke Sekolah Indo Tionghoa Tarakan, Kalimantan Utara. Dalam siaran pers kunjungan tersebut, Fajar menekankan pentingnya perhatian terhadap sekolah-sekolah di daerah perbatasan dan terluar Indonesia.
Menurut dia, pemerataan kualitas pendidikan merupakan bagian dari pemenuhan hak dasar setiap warga negara. Negara berkewajiban memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan pentingnya komitmen bersama seluruh ekosistem pendidikan. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Apresiasi Penerapan Wajar 13 Tahun, Layanan Pendidikan Kesetaraan, dan Afirmatif Jenjang SMP 2025 beberapa waktu lalu.
Mu’ti menekankan bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Peran masyarakat, dunia usaha, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya juga sangat dibutuhkan.
“Kita harus memastikan bahwa setiap warga negara, di mana pun berada dan apa pun kondisinya, tanpa membedakan suku, agama, maupun kondisi fisik, berhak memperoleh layanan pendidikan,” kata Mu’ti.
Menurut dia, prinsip tersebut sejalan dengan gagasan pendidikan untuk semua atau education for all. Prinsip ini menempatkan pendidikan sebagai hak dasar yang harus dijamin negara.
Mu’ti menambahkan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah terus memperluas dan memperbanyak akses layanan pendidikan. Upaya ini dilakukan agar pendidikan dapat menjangkau anak-anak Indonesia secara lebih luas dan merata.
“Kita terus mengupayakan perluasan akses pendidikan agar dapat menjangkau semaksimal mungkin anak-anak Indonesia, di mana pun mereka berada,” ujarnya.
Pendanaan pendidikan, lanjut Mu’ti, tidak hanya bersumber dari anggaran pemerintah. Partisipasi masyarakat juga menjadi bagian penting dalam memperkuat sistem pendidikan nasional.
“Inilah yang kami sebut sebagai partisipasi semesta,” kata Mu’ti.





