JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Kebudayaan meluncurkan buku ”Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” di Jakarta, Minggu (14/12/2025). Buku yang terdiri dari 10 jilid ini menarasikan perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari akar peradaban Nusantara hingga era sekarang. Namun, buku ini berpeluang direvisi di masa mendatang.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, penyusunan buku tersebut melibatkan 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan 11 lembaga non-perguruan tinggi. Prosesnya berlangsung selama sekitar satu tahun dan melalui sejumlah tahapan, termasuk diskusi publik di beberapa kampus.
“Kami berharap buku ini menjadi salah satu acuan dari sejarah Indonesia untuk menjaga memori kolektif bangsa kita,” ujarnya. Menurut rencana, buku tersebut akan dicetak tahun depan.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia itu memantik kritik di ruang publik. Sejumlah pihak mengkhawatirkan pelanggaran HAM berat era Orde Baru, seperti penculikan aktivis dan pemerkosaan massal 1998, disingkirkan atau ditulis setengah hati.
Fadli mengatakan, pihaknya terbuka dengan berbagai masukan dan kritik. Menurut dia, hal ini merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dalam kehidupan berdemokrasi.
Akan tetapi, menurut dia, sejarah Indonesia perlu diperbaharui agar lebih indonesiasentris. Sebab, banyak sejarah yang ditulis dari sudut pandang pemerintah kolonial. Selain itu, ada temuan-temuan terbaru dari berbagai bidang yang belum dimasukkan dalam penulisan sejarah.
“Kami melihat urgensi dari buku Sejarah Indonesia ini karena sudah lama kita tidak menulis sejarah. Tahun 1975 kita membuat buku Sejarah Nasional Indonesia. Kemudian yang terakhir itu buku Indonesia Dalam Arus Sejarah pada 2012, tapi itu sampai Era Reformasi. Bahkan, Pemilu 1999 tidak ditulis di dalamnya,” jelasnya.
Fadli mengakui, buku tersebut mungkin belum memasukkan semua narasi sejarah. Oleh sebab itu, pihaknya sangat terbuka terhadap berbagai masukan sehingga penulisan sejarah menjadi lebih komprehensif.
“Mungkin setahun atau dua tahun lagi ada edisi revisi. Ya bisa saja. Ini kan karya sejarawan kita. Kalau nanti ada yang merasa belum dimasukkan, itu sangat memungkinkan,” ucapnya.
Fadli menambahkan, penulisan ulang sejarah itu akan terus dilanjutkan. Menurut dia, terdapat beberapa segmen sejarah yang memerlukan eksplorasi mendalam. Penulisannya juga akan melibatkan sejarawan dari sejumlah instansi dan lembaga.
“Kami akan memfasilitasi itu supaya khazanah sejarah kita semakin kaya. Misalnya tema mengenai kehebatan kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit. Kalau bisa pembasan mengenai awal peradaban Nusantara itu didetailkan lagi,” katanya.
Dalam peluncuran buku itu, Kementerian Kebudayaan juga menetapkan 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional. Penetapan ini diusulkan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia. Tanggal tersebut disesuaikan dengan seminar sejarah pada 14-17 Desember 1957 di Yogyakarta yang dihadiri oleh sejumlah sejarawan.
Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Prof Susanto Zuhdi, menuturkan, pihaknya mendapatkan banyak masukan selama proses penulisan buku tersebut. Narasi sejarah dalam buku itu memungkinkan untuk diperbaharui jika ditemukan fakta-fakta sejarah yang belum dimasukkan.
“Ada adagium begini, begitu kita selesai menulis, sejak saat itu juga kita harus memperbaiki tulisan. Sebab, perkembangan sejarah itu jalan terus. Namun, tentunya harus dibaca dulu,” katanya.
Susanto menyebutkan, salah satu tantangan terbesar dalam penyusunan buku Sejarah Indonesia adalah menyamakan persepsi di antara sejarawan. Selain itu, menghubungkan keterkaitkan tema antara satu jilid dengan jilid berikutnya.
“Sebab, kita harus menampilkan sejarah yang tidak terpotong-potong. Mesti dilihat benang merahnya, yaitu reinventing Indonesia identity (mendefinisikan ulang identitas Indonesia),” katanya.
Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan, Restu Gunawan, menyampaikan, buku itu ditulis dalam 10 jilid dengan total 7.958 halaman. Penulisannya dilakukan secara bertahap dan menerima masukan dari berbagai pihak.
“Pada bulan-bulan ini juga dilaksanakan diskusi publik untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam memberikan saran dan masukan, termasuk dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Masukan untuk penyempurnaan rancangan naskah penulisan (buku) juga dilakukan di empat perguruan tinggi,” ujarnya.
Editor umum buku Sejarah Indonesia, Prof Singgih Tri Sulistyono menyebutkan, buku tersebut menarasikan perjalanan panjang Indonesia. Jilid pertama membahas tentang akar kebudayaan Nusantara di mana terjadi komunikasi dan interaksi dari berbagai suku bangsa di Tanah Air.
Jilid berikutnya menarasikan interaksi Nusantara dengan dunia global, salah satunya melalui aktivitas pelayaran perdagangan. Dari sini terjalin interaksi dengan peradaban India, China, Persia, dan Timur Tengah.
"Jejaring ini menghasilkan kebudayaan Nusantara yang sangat khas, yang berbeda dengan kawasan lain. Kemudian jilid-jilid berikutnya menarasikan perjumpaan dengan barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme," jelasnya.
Salah satu jilid membahas tentang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Berikutnya sejarah mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kontribusi pemimpin Indonesia di panggung dunia pada masa Presiden Sukarno.
"Kemudian disusul dengan masa pemerintahan Orde Baru yang dipandang berfokus pada stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan. Meskipun di balik itu ada banyak paradoks yang terjadi. Buku itu ditutup dengan jilid mengenai masa reformasi dan konsolidasi demokrasi," jelasnya.



