Mahkamah Konstitusi telah berbicara. Negara yang belum tentu mendengar. Di ruang inilah putusan MK kerap berakhir tegas di teks, tetapi rapuh dalam tindakan.
Alexander Hamilton sejak awal menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai cabang kekuasaan negara yang paling lemah. Disebut lemah bukan karena kewenangan mereka, melainkan karena pelaksanaan putusan mereka sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain.
Pandangan itu menemukan relevansinya dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, sebuah negara yang secara konstitusional menegaskan diri sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, undang-undang, termasuk putusan MK, semestinya menjadi pedoman dalam setiap pengambilan keputusan. Namun, dalam praktik, putusan MK kerap berhenti sebagai norma tertulis yang sah, tetapi tidak selalu ditaati.
Baca Juga :
Komisi III: Perpol Penempatan Polri di Kementerian Lembaga KonstitusionalKetidakpatuhan terhadap putusan MK, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 32/PUU-XVIII/2020, merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Dampaknya serius ialah ketidakpastian hukum, penundaan keadilan, rivalitas antarlembaga negara melalui pembentukan peraturan yang seolah mengabaikan putusan MK, serta melemahnya penegakan nilai-nilai konstitusi dalam UUD 1945.
Putusan MK Nomor 105/PUU-XIV/2016 bahkan menyatakan pihak yang tidak mematuhi putusan MK dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat dipersoalkan secara baik pidana, perdata, maupun administrasi.
Meski demikian, beragam modus terus digunakan untuk mengakali putusan MK. Yang paling lazim ialah menerbitkan kebijakan dengan tingkat norma di bawah undang-undang, tetapi substansinya justru bertentangan dengan putusan MK. Secara formal tampak patuh, tetapi secara material mengingkari.
Berbagai kajian menunjukkan tingkat constitutional obedience terhadap putusan MK masih rendah. Kesadaran berkonstitusi di kalangan sebagian pemangku kepentingan belum memadai. Padahal, kepatuhan terhadap putusan MK ialah wujud paling konkret dari kesetiaan terhadap konstitusi.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Dok. Metrotvnews.com.
Mengabaikan putusan MK bukan sekadar kekeliruan administratif. Ia bentuk paling nyata pembangkangan terhadap konstitusi. Dalam negara hukum, tidak seharusnya ada satu pun tindakan pejabat negara yang berada di luar jangkauan koreksi hukum.
Jika ada pejabat atau institusi yang secara terang benderang membuat keputusan bertentangan dengan putusan MK, tindakan itu patut dikoreksi. Putusan MK bukan untuk ditafsirkan ulang, apalagi dinegosiasikan. Putusan MK ialah perintah konstitusi yang wajib dipatuhi dan dijalankan sejak diucapkan. Pejabat seperti itu mestinya dicopot.
Persoalan utama dalam pelaksanaan putusan MK yang bersifat final dan mengikat bukan terletak pada kekuatan hukumnya. Masalahnya ialah ketiadaan instrumen daya paksa serta tingginya ketergantungan pada kesediaan lembaga negara lain untuk menindaklanjuti putusan tersebut.
Dalam konteks itu, gagasan Novendri M Nggilu patut dicermati. Dalam penelitiannya, Menggagas Sanksi atas Tindakan Constitution Disobedience terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, ia mengusulkan pembentukan unit atau badan bersifat auxiliary body untuk mengawasi kepatuhan terhadap putusan MK. Konsep itu disandingkan dengan keberadaan juru sita di lingkungan Mahkamah Agung sebagai pelaksana putusan pengadilan.
Baca Juga :
Podium Media Indonesia: Hukum Kertas Bencana NyataUsul lain muncul dalam perkara nomor 129/PUU-XXIII/2025, yang meminta agar MK diberi kewenangan memberikan fatwa atau nasihat konstitusional yang bersifat non-binding guna mencegah ketidakpastian tafsir konstitusi dan mendorong kepatuhan.
MK menolak kewenangan tersebut. Dalam sidang putusan 28 Agustus 2025, Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menegaskan pengabaian atau pembangkangan terhadap putusan MK tidak menandakan lemahnya daya ikat putusan MK. Pengabaian itu justru mencerminkan lemahnya kesadaran dan kepatuhan hukum para addressat putusan, sekaligus minimnya penghormatan terhadap prinsip negara hukum demokratis.
Mahkamah Konstitusi telah memutus. Selebihnya ialah keberanian negara untuk tunduk. Ketika putusan MK diabaikan, konstitusi hidup di atas kertas, mati dalam tindakan. Negara hukum tidak runtuh seketika, tetapi lapuk oleh pembiaran atas pembangkangan terhadap putusan MK.

