ADA satu kebiasaan orang Indonesia yang selalu membuat saya terdiam. Kita bisa sangat cepat menolong orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal sama sekali, tetapi kita juga bisa sangat cepat marah kepada orang yang bahkan belum tentu kita pahami sepenuhnya.
Pagi hari kita menyaksikan solidaritas yang menghangatkan hati, siang harinya kita melihat perdebatan yang memecah emosi, malamnya kita kembali terharu oleh kepedulian bersama. Semua terjadi dalam satu hari, kadang dalam satu linimasa yang sama.
Kita mudah terharu oleh kisah orang lain, cepat bergerak ketika ada musibah, dan nyaris refleks mengulurkan tangan bahkan kepada orang yang tak kita kenal. Namun di hari yang sama, kita juga bisa menyaksikan bagaimana satu kalimat, satu unggahan, atau satu potongan video cukup untuk memicu kemarahan massal. Jarak antara empati dan amarah itu terasa sangat pendek.
Dari situ saya mulai bertanya, ini bukan soal bangsa yang baik atau buruk, melainkan bangsa yang sangat perasa. Dan bangsa yang sangat perasa selalu menuntut cara memimpin yang tidak sederhana. Indonesia sedang hidup dalam sebuah ironi yang indah sekaligus menggelisahkan.
Di satu sisi, dunia memandang kita sebagai bangsa yang bahagia, bahkan paling bahagia dan makmur menurut Harvard Global Flourishing Study 2025. Di sisi lain, kita sendiri kerap bertanya dengan nada ragu, benarkah kita sebahagia itu, atau jangan-jangan kita hanya pandai menyembunyikan luka di balik senyum dan keramahan. Bangsa yang ringan tangan menolong sesama ini, mengapa juga begitu mudah marah, mudah tersinggung, dan mudah tersulut emosinya di ruang publik.
Baca juga: Indonesia Negara Paling Flourishing: Serius atau Lelucon?
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=empati, sensitif, amarah, kedewasaan emosional, bangsa pemarah, memimpin indonesia&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNS8wNjU5NTk1MS90YW50YW5nYW4tbWVtaW1waW4taW5kb25lc2lhLWJhbmdzYS15YW5nLWJhaGFnaWEtc2VrYWxpZ3VzLW11ZGFoLXRlcnNpbmdndW5n&q=Tantangan Memimpin Indonesia, Bangsa yang Bahagia Sekaligus Mudah Tersinggung§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Temuan Harvard Global Flourishing Study 2025 menempatkan Indonesia di posisi teratas bukan karena kita paling kaya atau paling maju secara industri, melainkan karena kita unggul dalam hal yang sering diremehkan dalam perhitungan pembangunan modern, yaitu kualitas relasi sosial, rasa keterhubungan antar manusia, makna hidup, dan kesehatan mental kolektif.
Studi ini membaca kesejahteraan bukan sekadar dari angka pendapatan, tetapi dari bagaimana manusia merasa hidupnya berarti, merasa tidak sendirian, dan merasa memiliki tempat dalam jejaring sosialnya. Dalam ukuran ini, Indonesia menonjol. Kita kuat dalam kebersamaan, kuat dalam komunitas, kuat dalam empati yang hidup dalam keseharian.
Namun justru di titik inilah pertanyaan penting itu muncul. Jika relasi sosial kita kuat dan empati kita tinggi, mengapa ruang publik kita terasa rapuh. Mengapa percakapan dengan cepat berubah menjadi pertengkaran. Mengapa perbedaan pendapat kerap berujung pada saling mencaci. Mengapa bangsa yang dikenal ramah di dunia nyata tampak begitu keras di dunia digital.
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan menyalahkan media sosial semata, karena akar persoalannya jauh lebih dalam dan terkait langsung dengan cara kita memimpin dan dipimpin.
Watak Bangsa dan Emosi yang DitundaUntuk memahami ini, kita perlu kembali pada refleksi lama tentang manusia Indonesia itu sendiri. Mochtar Lubis, dalam ceramahnya tentang manusia Indonesia, pernah menyampaikan kritik yang tajam sekaligus jujur. Ia menggambarkan manusia Indonesia sebagai manusia yang pandai menyembunyikan isi hati, perasaan, dan pikirannya.
"Manusia Indonesia memakai topeng di depan umum, menyembunyikan wajahnya yang sebenannya, serba takut dan khawatir membuka wajahnya, dan mengatakan inilah aku!"
Dalam budaya yang terlalu memuja harmoni, kejujuran emosional sering kali dikorbankan. Kata tidak jarang disamarkan, perbedaan pendapat ditahan, konflik disimpan dalam diam. Emosi tidak diselesaikan, hanya ditunda. Dalam penundaan itulah kemarahan tumbuh. Emosi yang dipendam terlalu lama tidak pernah benar-benar hilang, ia menumpuk dan mencari jalan keluar. Ketika akhirnya meledak, kemarahan itu sering muncul dalam bentuk yang tidak proporsional.
Inilah sebabnya mengapa kemarahan publik di Indonesia kerap terasa berlebihan. Ia bukan lahir dari satu peristiwa tunggal, melainkan dari akumulasi panjang rasa tidak didengar, tidak diakui, dan tidak dianggap.
Mochtar Lubis juga mengingatkan tentang kecenderungan manusia Indonesia untuk menghindari tanggung jawab. Kalimat "bukan saya" menjadi simbol budaya yang enggan berhadapan dengan konsekuensi.
Di era digital, kecenderungan ini menemukan medium baru. Orang mudah menghakimi, mudah menyerang, mudah meluapkan emosi, tetapi enggan bertanggung jawab atas dampak kata-katanya. Kemarahan dilepas, lalu ditinggalkan. Ruang publik menjadi panas, tetapi tidak pernah benar-benar pulih.




