Mengapa Gen Z Harus Resah terhadap Krisis Iklim dan Kerusakan Lingkungan?

kompas.id
10 jam lalu
Cover Berita

Kekhawatiran generasi Z akan kualitas lingkungan alam ini tertangkap dari survei yang dilakukan lembaga riset global Deloitte. Survei ini melibatkan 23.482 responden muda di 44 negara, dengan rincian 14.751 responden gen Z (responden lahir 1995-2006) dan 8.731 responden generasi Milenial (responden lahir 1983-1994). Hasil survei ini dipublikasikan dalam laporan “2025 Gen Z and Millennial Survey Growth and the pursuit of money, meaning, and well-being” pada Mei 2025.

Temuan survei menunjukkan, terdapat 65 persen responden gen Z dan 63 persen responden Milenial dari 44 negara yang disurvei merasa khawatir atau cemas terhadap keadaan lingkungan alam sekitarnya. Kecemasan ini terpantau sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang terangkum dalam publikasi “2024 Gen Z and Millennial Survey 2024: Living and working with purpose in a transforming world”. Pada 2024, terdapat 62 persen responden gen Z yang menyatakan khawatiran atau cemas terhadap masalah kualitas lingkungan alam. Sementara, proporsi kekhawatiran untuk generasi Milenial mencapai 59 persen.

Menariknya, kekhawatiran yang lebih dalam diungkapkan oleh responden generasi muda di Tanah Air. Kaum muda di Indonesia yang menjadi responden survei Deloitte 2025 mencapai 535 orang, dengan rincian 326 responden gen Z dan 209 responden Milenial. Hasil survei menunjukkan mayoritas responden (89 persen) gen Z dan 84 persen responden Milenial di Indonesia merasa cemas dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya.

Kekhawatiran generasi muda akan masa depan peradabannya ini bukan tanpa alasan. Organiasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan Keadaan Iklim Global 2024 dengan catatan bahwa pada 2024 suhu bumi kian panas mencapai 1,5 derajat celcius di atas rata-rata tahun 1850-1900 atau masa pra industri.

WMO juga mencatat kenaikan tiga kali lipat jumlah karbon dioksida di atmosfer dibandingkan pada tahun 1960. Salah satu penyebabnya ialah kontribusi dari kebakaran hutan/lahan dan berkurangnya penyerapan CO2 oleh lautan dan daratan. Meningkatnya karbon dioksida di atmosfer dapat mengakibatkan pemanasan global yang membuat kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim.

Kenaikan temperatur bumi ini memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Pasalnya, temperatur ini dapat mempercepat pencairan es di kutub sehingga meningkatkan volume air laut yang dapat memicu berbagai bencana hidrometeorologi, termasuk banjir.

Hal tersebut turut dibuktikan oleh studi World Glacier Monitoring Service bahwa gletser di luar Greenland dan Antartika terus menyusut dengan rata-rata mencapai 270 miliar ton es per tahun. Sejumlah ilmuwan pun menilai bahwa pencairan gletser tersebut terjadi lebih cepat dibandingkan perkiraan awal sehingga berpotensi menaikan permukaan air laut global sampai 32 cm secara perlahan.

Sementara, dari sisi kerusakan lingkungan, salah satu masalah yang masih terus dihadapi secara global adalah hilangnya area tutupan hutan. Pemetaan yang dilakukan lembaga Global Forest Watch (GFW) menunjukkan, sejak tahun 2002 sampai 2024, hutan primer global telah menyusut mencapai 83 juta hektar.

Padahal, hutan adalah sumber kehidupan umat manusia karena bukan hanya memberikan asupan oksigen, tetapi juga turut berperan penting dalam menyerap emisi karbon sekaligus benteng berbagai bencana ekologis yang berpotensi terjadi. Bagi Indonesia, kerusakan hutan pun masih menjadi permasalahan lingkungan yang serius. Pasalnya, Indonesia memiliki luas hutan sangat besar yang menurut FAO mencapai 96 juta hektar pada tahun 2025.

Namun, kerusakan kawasan hutan telah membawa kabar buruk berupa hilangnya biodiversitas global. Kondisi tersebut terjadi karena kerusakan hutan sekaligus mengancam hilangnya habitat flora-fauna di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.  Sepanjang 2024, angka deforestasi hutan di Indonesia mencapai 175.437,7 hektar. Sebanyak 44 persen deforestasi di Indonesia terjadi di hutan-hutan Sumatera.

Ancaman ekologi

Degradasi kualitas alam membawa dampak pada kehidupan manusia. Laporan organisasi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tentang “Impacts, Adaptation and Vulnerability (2022)” menunjukkan, setidaknya ada 20 juta jiwa yang menjadi pengungsi sejak 2008.

Mereka dihadapkan pada kondisi memprihatinkan karena bencana alam akibat cuaca ekstrem yang merusak wilayah dan tempat tinggalnya. Risiko bencana akibat krisis iklim itu akan terus meningkat dengan estimasi terdapat 709 juta orang yang tinggal di daerah yang mengalami kenaikan drastis curah hujan dibandingkan pada tahun 1950.

Di Indonesia, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga 15 Oktober 2025, setidaknya sudah terdapat 2.590 kejadian bencana di seluruh Indonesia. Mayortitas bencana yang terjadi ialah hidrometeorologi yang banyak bersinggungan dengan cuaca ekstrem atau perubahan iklim.

Bencana yang paling banyak terjadi ialah banjir (1.287 kali), kemudian tanah longsor (188 kali), dan cuaca ekstrem (539 kali). Terbaru, bencana hidrometeorologi yang memtikan di Indonesia terjadi akhor November 2025 di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang menewaskan 1.022 orang hingga 14 Desember 2025.

Memburuknya situasi alam yang disertai kejadian bencana iklim menjadi penyebab keresahan gen Z. Bahkan, keresahan yang ada turut mempopulerkan istilah “eco-anxiety” atau kecemasan dan ketakutan yang muncul karena dipicu oleh ancaman ekologis. Hal ini dapat terjadi karena berita-berita dan kabar buruk terkait kondisi bumi yang dikonsumsi oleh gen Z yang menyusup dalam ruang-ruang keseharian mereka melalui media sosial.

Keresahan gen Z terhadap masalah iklim dan kerusakan lingkungan, sejatinya sangatlah wajar. Pasalnya, di tengah kerusakan lingkungan dan masalah iklim yang terus terjadi, generasi ini akan menjadi kelompok yang menanggung beban sangat besar secara berkepanjangan.

Kondisi tersebut dapat terjadi karena secara realistis, gen Z merupakan generasi yang akan hidup lebih lama dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Artinya, jika generasi sebelumnya menjadi penyebab permasalahan lingkungan dan iklim, misalnya akibat praktik ekosida, dampaknya bagaikan bom waktu yang baru akan dirasakan lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Selain itu, jumlah gen Z diproyeksikan mencapai seperempat populasi penduduk dunia atau sekitar 2 miliar jiwa dari total 8,1 miliar penduduk pada tahun 2025. Begitupun di Indonesia, jumlah penduduk yang termasuk gen Z mencapai 74,93 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total penduduk nasional.

Kepedulian gen Z menyelamatkan bumi

Sebagai generasi yang terserang oleh “eco-anxiety” akibat paparan kabar-kabar iklim dan kerusakan lingkungan, gen Z harus mengambil langkah konkret sebagai bentuk kepedulian terhadap peradaban bumi. Survei Deloitte 2025 menunjukkan sejumlah kepedulian gen Z untuk menyelamatkan bumi. Sebagian besar gen Z global (65 persen) dan gen Z Indonesia (89 persen) mengaku bersedia membayar lebih mahal untuk produk atau layanan yang ramah lingkungan.

Gen Z juga mulai menimbang-nimbang latar belakang perusahaan yang akan mereka lamar. Sebelum menerima tawaran kerja, sebagian besar gen Z global (70 persen) dan gen Z Indonesia (94 persen) terlebih dahulu mencari informasi dampak atau kebijakan perusahaan terhadap kelestarian lingkungan.

Bahkan, orientasi pada kelangsungan bumi ini telah ditunjukkan dalam aksi yang lebih nyata. Sepertiga responden gen Z global (40 persen) mengaku bahwa mereka telah berhasil membuat perusahaan tempat mereka bekerja untuk mengambil tindakan dalam melindungi lingkungan alam. Bentuk kepedulian lain gen Z ialah mulai menggunakan kendaraan listrik, mendesain hunian mereka agar lebih ramah lingkungan, dan menerapkan kebiasaan hemat menggunakan air,

Sejatinya, kepekaan generasi Z terhadap masalah iklim dan kerusakan lingkungan menjadi sangat vital demi keberlangsungan hidup ke depan. Jika generasi muda ikut abai, bahkan menjadi bagian dalam kerusakan bumi, maka masalah iklim dan kerusakan lingkungan akan menjadi bola panas yang diestafetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Gen Z dapat pula berkolaborasi mewujudkan langkah tersebut melalui berbagai pendekatan kreatif di platform digital, seperti membuat konten-konten menarik dan edukatif maupun terus membanjiri ruang digital dengan konten kritis yang ditujukan pada kebijakan maupun program pemerintah yang tidak sejalan dengan komitmen lingkungan.

Lebih lanjut, gen Z juga perlu proaktif dalam mengadvokasikan permasalahan iklim dan kerusakan lingkungan pada level global dan regional. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan sejumlah forum internasional untuk orang muda, seperti UN Youth Climate Summit, Youth20 (Y20) Summit, UNESCO Youth Forum, dan Conference of Youth (COY) di bawah naungan UNFCCC.

Suara-suara di level global ini diharapkan dapat menjadi senjata ampuh dalam menekan pemerintah nasional agar mengeluarkan kebijakan dan program yang sejalan dengan komitmen iklim maupun lingkungan, termasuk berbanding lurus dengan Perjanjian Paris 2015 yang mewajibkan setiap negara memenuhi target penurunan suhu bumi yang dilaporkan secara tahunan. (LITBANG KOMPAS)

Baca JugaMengubah Kecemasan Gen Z Menjadi Aksi Iklim


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Gara-Gara Kasus Tumbler Hilang di KRL Satpam Ini Jadi Panik Saat Temukan Nasi Uduk di Kereta
• 9 jam laluparagram.id
thumb
Panjang 5 Meter, Begini Sensasi Nyetir Kia Carnival Hybrid Sehari-hari
• 14 jam lalukumparan.com
thumb
Pemdes Kalijaga Timur Bagikan 1.000 Bibit Cabai Dukung Ketahanan Pangan
• 7 jam lalutvrinews.com
thumb
Menang 3 Gol, Man City Dekati Puncak Klasemen Liga Inggris
• 15 jam lalutvrinews.com
thumb
Tim Woodball Indonesia Jadikan SEA Games 2025 Momen Evaluasi
• 21 jam lalurepublika.co.id
Berhasil disimpan.