Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan tentang perang, blokade, dan bencana kemanusiaan yang menimpa Gaza selama lebih dari satu dekade, sebuah kabar menyentuh hati datang dari wilayah yang paling sering digambarkan dunia sebagai “zona krisis tanpa jeda”. Warga Gaza—yang hidup dalam keterbatasan ekstrem, listrik terbatas, pangan langka, dan ancaman serangan hampir setiap hari—mempunyai inisiatif menggalang donasi untuk korban bencana alam yang melanda Sumatera.
Abu Ahmad, warga Gaza Palestina, menyisihkan 1.000 dolar AS untuk korban banjir bandang melalui Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA). Aksi sederhana ini tidak serta merta dilihat dari seberapa nominalnya, tetapi dari besar resonansinya secara moral.
Bagi publik Indonesia, berita ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga memantik refleksi tentang solidaritas, kemanusiaan, dan hubungan historis dua bangsa yang terhubung oleh memori ketidakadilan dan perjuangan panjang melawan penindasan.
Fenomena ini tidak bisa hanya dibaca sebagai “warga Gaza membantu Indonesia”. Ia harus dipahami sebagai momentum yang memerlihatkan kemurnian empati manusia di tengah kabut geopolitik global. Donasi Gaza untuk Sumatera menyampaikan pesan kuat bahwa kemanusiaan tidak pernah tunduk pada batas negara, kekayaan, ataupun kondisi politik. Bahkan di tengah reruntuhan paling gelap sekalipun, manusia bisa memilih untuk saling menolong.
Solidaritas dari Tanah yang TerlukaUntuk memahami kedalaman makna aksi ini, kita perlu menengok konteks kehidupan masyarakat Gaza. Wilayah kecil seluas 365 km² itu telah mengalami blokade ketat sejak 2007, membuat kehidupan ekonomi dan infrastruktur berada di titik rapuh. Hampir setengah penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, sistem kesehatan kewalahan, dan suplai air bersih serta listrik terus berkurang.
Dalam situasi normal saja, Gaza sudah termasuk salah satu wilayah dengan kondisi kemanusiaan paling berat di dunia. Namun, masyarakatnya terus mencoba mempertahankan kehidupan di tengah krisis berulang—mulai dari konflik bersenjata, pembatasan mobilitas, hingga trauma psikologis lintas generasi. Bagaimana mungkin masyarakat dengan kondisi seperti itu justru memiliki inisiatif untuk memberi bantuan kepada orang lain.
Psikologi sosial menawarkan penjelasan menarik tentang fenomena ini. Mereka menyebutnya empathic resilience—kemampuan kelompok yang mengalami trauma kolektif untuk mengembangkan empati mendalam terhadap penderitaan pihak lain. Ketika seseorang sangat memahami rasa sakit, kehilangan, dan ketidakpastian hidup, ia cenderung lebih peka terhadap penderitaan orang lain.
Dengan kata lain, ketika Gaza memberi, mereka membayangkan bagaimana rasanya kehilangan, membutuhkan bantuan, sehingga nuansa kebatinan ini bisa dinilai bahwa masyarakat Gaza tidak bisa tinggal diam ketika orang lain menderita. Tindakan ini bukan sekadar moralitas, melainkan juga bahasa kemanusiaan universal.
Ikatan Historis yang Tidak Pernah PadamDonasi dari Gaza ke Sumatera bukanlah hubungan satu arah yang datang tiba-tiba. Indonesia dan Palestina memiliki ikatan emosional dan historis yang panjang.
Dari era Presiden Sukarno, Indonesia telah menempatkan Palestina sebagai bagian penting dari politik luar negeri berbasis anti-kolonialisme. Pada 1955—dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung—Indonesia tegas menyatakan bahwa Palestina adalah salah satu bangsa yang masih dijajah dan harus didukung penuh untuk mendapatkan kemerdekaannya.
Sejak itu, dukungan Indonesia tidak pernah surut—baik melalui diplomasi resmi, bantuan kemanusiaan, maupun solidaritas publik. Banyak lembaga zakat Indonesia mengirimkan bantuan rutin ke Gaza; masyarakat Indonesia aktif mengadakan penggalangan dana, aksi solidaritas, hingga doa bersama.
Bagi masyarakat Gaza, Indonesia bukan hanya negara yang jauh di Asia Tenggara. Indonesia adalah saudara. Dan dalam budaya Palestina, ukhuwah atau persaudaraan bukan sekadar konsep, melainkan juga komitmen moral yang diwujudkan dalam aksi.
Karena itu, ketika Sumatera mengalami bencana, warga Gaza melihatnya sebagai panggilan empati, bukan sebagai beban. Solidaritas ini adalah bentuk balas budi moral—bukan karena terpaksa, melainkan karena merasa terhubung.
Ilmu sosial mencatat satu paradoks menarik: kelompok yang hidup dalam keterbatasan sering kali menjadi kelompok yang paling dermawan. Fenomena yang dikenal sebagai the generosity of the poor ini terjadi di banyak belahan dunia.
Orang miskin cenderung memberi bukan karena mereka mampu, melainkan karena mereka memahami apa artinya tidak memiliki.
Masyarakat Gaza memberi bukan karena berkelimpahan, melainkan karena mereka ingin menegaskan martabat mereka sebagai manusia. Memberi adalah bentuk perlawanan terhadap narasi dehumanisasi yang—selama bertahun-tahun—menjelaskan Gaza hanya sebagai “tempat korban”, bukan sebagai komunitas bermartabat yang mampu berbuat baik bagi dunia.
Donasi Gaza untuk Sumatera adalah pesan moral kepada dunia bahwa masyarakat tidak hanya memposisikan diri sebagai korban atas tragedi nir-kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel, tetapi juga memposisikan diri sebagai manusia yang bisa membantu, mencintai, dan memiliki rasa peduli. Nilai moral ini jauh lebih besar daripada jumlah uang itu sendiri.
Dimensi GeopolitikMeski donasi ini lahir dari niat tulus, ia tidak bisa dilepaskan dari dimensi geopolitik global. Pertama, tindakan ini memperkuat citra Palestina sebagai bangsa yang aktif dalam diplomasi moral, bukan sekadar objek konflik. Di saat banyak negara besar menggunakan kekuatan politik untuk kepentingan sempit, rakyat Gaza menunjukkan diplomasi yang lebih autentik: diplomasi kemanusiaan.
Kedua, aksi ini memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra moral Palestina. Dengan adanya aksi solidaritas dari bawah (grassroots), hubungan kedua bangsa tidak hanya ditopang oleh negara, tetapi juga rakyatnya. Ini adalah fondasi hubungan internasional yang paling kokoh.
Ketiga, donasi ini menjadi kritik implisit kepada dunia internasional—khususnya negara-negara kuat yang sering berbicara tentang kemanusiaan, tapi minim tindakan nyata. Jika Gaza yang porak-poranda saja bisa memberi, bagaimana dengan negara-negara yang memiliki kapasitas jauh lebih besar?
Di media global, Gaza sering digambarkan sebagai wilayah penderitaan, zona konflik, atau objek belas kasihan. Narasi-narasi ini—meskipun sebagian benar—dapat mengaburkan kemanusiaan warga Gaza.
Donasi mereka kepada Sumatera memberikan narasi alternatif: bahwa Gaza adalah tempat tumbuhnya solidaritas, kekuatan moral, dan keteguhan hati. Narasi ini penting untuk melawan stigmatisasi yang kerap melingkupi bangsa Palestina. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh politik identitas dan kepentingan nasional, tindakan Gaza ini mengingatkan kita bahwa identitas manusia tetap yang paling penting.
Aksi kecil ini menjadi cermin bagi kita, bangsa Indonesia, yang sering membanggakan gotong royong sebagai nilai luhur nasional. Jika warga Gaza yang hidup dalam kondisi serba terbatas mampu memberi, bagaimana dengan kita yang hidup relatif lebih aman dan nyaman? Sejauh mana kita siap mengulurkan tangan kepada sesama, bukan hanya ketika bencana besar melanda, melainkan juga dalam keseharian?
Donasi Gaza untuk Sumatera adalah undangan bagi kita untuk memperdalam solidaritas—bukan hanya simbolik, melainkan juga praksis. Pada akhirnya, donasi masyarakat Gaza untuk korban bencana di Sumatera mengajarkan satu hal penting: kemanusiaan selalu menemukan jalannya. Ia bisa muncul dari tempat paling tak terduga, pada waktu paling genting, dan dari orang-orang yang justru paling terluka.
Dalam dunia yang dipenuhi polarisasi, perang, dan ketidakadilan, tindakan kecil ini mengingatkan bahwa harapan masih ada. Gaza mungkin berada dalam puing-puing, tetapi masyarakatnya tetap menjaga sesuatu yang sangat berharga: kemanusiaan. Dan dari kemanusiaan itulah, mereka mengulurkan tangan kepada Sumatera—bukan karena mereka punya segalanya, melainkan karena mereka masih punya hati.





