Perang Thailand–Kamboja Memanas: Eskalasi Militer Skala Penuh Pecah Sejak 10 Desember

erabaru.net
13 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Konflik bersenjata di perbatasan Thailand–Kamboja kembali mengalami eskalasi besar sejak Selasa, 10 Desember, menandai perubahan drastis dari baku tembak sporadis menjadi operasi militer skala penuh. Bentrokan kini mencakup pertempuran darat, serangan udara, tembakan artileri, hingga perang drone dan perang elektronik yang berlangsung secara simultan.

Eskalasi Darat: Stryker Thailand Masuk Wilayah Perkotaan Kamboja

Berdasarkan berbagai rekaman video dan laporan lapangan yang beredar sejak 10 Desember, Angkatan Darat Thailand secara resmi telah mengerahkan kendaraan tempur lapis baja Stryker ke sekitar kota-kota di wilayah Kamboja. Langkah ini dipandang sebagai sinyal paling jelas bahwa konflik telah memasuki fase eskalasi serius di medan darat.

Dalam sejumlah rekaman terlihat Brigade Infanteri Mekanis ke-112 Angkatan Darat Thailand, didukung beberapa unit Stryker, bergerak menyusuri jalan raya menuju garis depan. Stryker merupakan kendaraan tempur lapis baja beroda delapan dengan mobilitas tinggi, dirancang untuk pengerahan cepat dan pertempuran modern.

Thailand mulai mengimpor kendaraan ini sejak 2019, dan saat ini telah mengoperasikan lebih dari 100 unit, menjadikannya salah satu tulang punggung kekuatan mekanis Angkatan Darat Thailand.

Pakar militer Zhou Ziding menilai bahwa di garis depan terlihat jelas pasukan Thailand menggunakan meriam otomatis yang terpasang di kendaraan Stryker untuk menembaki posisi Kamboja. Sejumlah desa di kawasan perbatasan dilaporkan telah dikosongkan sepenuhnya, sementara arus pengiriman peralatan berat terus berlangsung tanpa henti.

Menurut para pengamat, pola pengerahan ini menunjukkan bahwa operasi militer Thailand bukan bersifat sementara, melainkan sebuah gerakan militer terencana dengan tujuan jangka menengah hingga panjang.

Serangan Udara dan Perang Drone: Konflik Naik ke Dimensi Modern

Selain pertempuran darat, konflik juga merambah dimensi udara. Sejak 10–11 Desember, Angkatan Darat Thailand mengerahkan drone tempur untuk melakukan serangan presisi terhadap target-target di wilayah Kamboja.

Beberapa bangunan dilaporkan runtuh akibat ledakan, dengan kepulan asap tebal terlihat di sejumlah lokasi. Thailand juga untuk pertama kalinya menggunakan drone bunuh diri buatan dalam negeri dalam skala besar, menandai peningkatan signifikan dalam doktrin perang modernnya.

Sementara itu, Angkatan Udara Thailand mengirimkan sejumlah jet tempur untuk melancarkan serangan udara terhadap fasilitas militer Kamboja di sepanjang garis perbatasan. Rekaman malam hari memperlihatkan bom berdaya ledak tinggi dijatuhkan, menerangi langit dengan kilatan api yang mencolok.

Kini, serangan lintas batas—baik melalui udara, artileri, maupun drone—telah menjadi metode utama pertempuran di kedua sisi.

Artileri dan Perang Elektronik: Medan Tempur Makin Kompleks

Di sektor artileri, Angkatan Darat Thailand dilaporkan menggunakan meriam tarik M198 buatan Amerika Serikat untuk melakukan pemboman malam hari terhadap posisi Kamboja.

Lebih jauh, Thailand juga disebut berhasil menghancurkan sebuah menara pengacauan elektronik, yang diyakini digunakan untuk mengganggu sistem komunikasi dan navigasi. Insiden ini menandakan bahwa konflik telah memasuki tahap perang elektronik, sebuah dimensi yang jarang terlihat dalam konflik regional Asia Tenggara sebelumnya.

Balasan Kamboja: Roket Tiongkok dan Persenjataan Campuran

Di pihak Kamboja, rekaman yang dirilis militer menunjukkan bahwa Angkatan Darat Kamboja di Provinsi Oddar Meanchey menggunakan sistem roket ganda PHL-90 buatan Tiongkok untuk menembakkan roket ke arah posisi militer Thailand di sekitar wilayah Sisaket.

PHL-90 memiliki jangkauan sekitar 15–20 kilometer, dengan teknologi yang dikembangkan dari BM-21 Grad buatan Uni Soviet. Dalam sejumlah rekaman, peluncur roket terlihat ditempatkan dekat kawasan permukiman, memicu kekhawatiran serius terhadap keselamatan warga sipil.

Untuk persenjataan infanteri, pasukan Kamboja masih banyak menggunakan senapan Type-56 buatan Tiongkok, senjata warisan era Khmer Merah yang hingga kini masih menjadi standar. Selain itu, Kamboja juga mengerahkan BM-21 Grad buatan Soviet, serta terlihat pula prajurit membawa AK-104 buatan Rusia, senjata infanteri modern dengan daya tembak tinggi.

Sengketa Perbatasan dan Peran Tiongkok

Media Thailand dan sejumlah pejabat pemerintah berulang kali mempertanyakan sikap keras Kamboja dalam sengketa perbatasan, yang dinilai mendapat dukungan dari kerja sama militer dengan Tiongkok.

Meski kedua negara saling menuduh sebagai pihak yang lebih dulu melepaskan tembakan, analisis citra satelit menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan sebelum konflik memanas, Kamboja dinilai lebih aktif menambah pasukan dan memperkuat infrastruktur militer di wilayah sengketa, dengan intensitas yang lebih tinggi dibanding Thailand.

Krisis Kemanusiaan: Ratusan Ribu Warga Mengungsi

Seiring meluasnya pertempuran sejak 10 Desember, krisis kemanusiaan pun memburuk dengan cepat. Diperkirakan sedikitnya 500.000 warga sipil Kamboja terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Para pengungsi mencari perlindungan di sekolah, kuil, dan tempat penampungan darurat. Video yang beredar memperlihatkan warga mengungsi menggunakan sepeda motor dan kendaraan tua, membawa seluruh anggota keluarga dan barang seadanya—menciptakan pemandangan yang kacau dan memilukan.

Situasi Terkini dan Reaksi Internasional

Hingga Sabtu, 13 Desember, perang Thailand–Kamboja telah memasuki hari keempat tanpa tanda-tanda jelas tercapainya gencatan senjata atau dimulainya perundingan formal. Kedua pihak saling menuduh melakukan serangan tanpa pandang bulu terhadap kawasan permukiman, menjadikan warga sipil sebagai korban utama.

Sebelumnya, Perdana Menteri Thailand menegaskan bahwa gencatan senjata hanya mungkin terjadi jika Kamboja menghentikan tembakan, menarik pasukan, dan membersihkan seluruh ranjau darat di wilayah sengketa. Namun pada Jumat, 12 Desember, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyatakan bahwa para pemimpin Thailand dan Kamboja akan mulai menghentikan pertempuran pada malam yang sama—meski hingga kini klaim tersebut belum sepenuhnya terkonfirmasi di lapangan.

Kedua negara merupakan anggota resmi ASEAN. Beijing menyatakan sikap netral, mendukung peran ASEAN, dan menyerukan dialog. Namun komunitas internasional mencermati bahwa jika mediasi konflik dipimpin oleh Amerika Serikat atau kekuatan Barat, maka arsitektur keamanan ASEAN berpotensi semakin mendekat ke Washington—sebuah perkembangan yang selama ini sulit disaingi oleh pengaruh regional Tiongkok.

Sejumlah pengamat juga menilai bahwa AS dan sekutunya tengah memantau arus senjata dan kerja sama militer di kawasan, guna mencegah konflik ini berkembang menjadi medan uji coba senjata Rusia, Tiongkok, atau bahkan Iran.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
9 Anime Ini Pernah Masuk Nominasi Oscar, Bersaing dengan Film Populer Lainnya
• 18 jam lalukatadata.co.id
thumb
TNI kebut perbaikan 35 jembatan di wilayah terdampak bencana Sumatera
• 8 jam laluantaranews.com
thumb
Ide Kegiatan Anak saat Libur Sekolah yang Murah dan Edukatif
• 13 jam lalukumparan.com
thumb
Pelatih Sassuolo Bangga dan Puji Jay Idzes dkk Usai Tahan Imbang AC Milan di San Siro: Mereka Bermain Sangat Baik
• 10 jam lalutvonenews.com
thumb
RUPSLB Aneka Tambang (ANTM) Tunjuk Untung Budiharto Jadi Direktur Utama
• 4 jam lalukatadata.co.id
Berhasil disimpan.