EtIndonesia. Eropa tengah memasuki periode ketidakstabilan yang semakin dalam, ditandai oleh tekanan geopolitik eksternal, krisis struktural internal Uni Eropa, serta gelombang protes massal yang mulai menjatuhkan pemerintahan di dalam negeri. Rangkaian peristiwa ini memperkuat kekhawatiran para analis bahwa benua tersebut sedang mendekati titik kritis perpecahan struktural.
Strategi Keamanan AS: Peringatan “Risiko Peradaban” bagi Eropa
Dalam perkembangan penting, Amerika Serikat merilis dokumen Strategi Keamanan Nasional terbarunya pada awal Desember 2025, yang secara terbuka memperingatkan bahwa Eropa menghadapi apa yang disebut sebagai “risiko peradaban”. Dokumen tersebut menilai bahwa stabilitas politik, kohesi sosial, dan daya saing strategis Eropa berada dalam kondisi rapuh.
Yang paling menyita perhatian, dokumen itu mengusulkan konsep “Make Europe Great Again”, dengan mendorong Amerika Serikat membangun kerja sama politik dan keamanan yang lebih erat dengan sejumlah negara Eropa Tengah dan Selatan, seperti Italia, Hungaria, Polandia, dan Austria. Tujuan utamanya adalah melemahkan struktur kekuasaan Uni Eropa saat ini dan membentuk aliansi politik lintas Atlantik baru yang dinilai lebih sejalan dengan kepentingan strategis Washington.
Reaksi Uni Eropa dan Ketergantungan Keamanan pada AS
Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen secara terbuka mengecam langkah Amerika Serikat tersebut dan menuduh Washington melakukan campur tangan terhadap demokrasi Eropa. Namun, di kalangan analis pertahanan, kritik tersebut dinilai sulit dilepaskan dari realitas bahwa Uni Eropa selama puluhan tahun sangat bergantung pada Amerika Serikat.
Ketergantungan itu mencakup:
- Penempatan pasukan dan basis militer AS di Eropa
- Sistem persenjataan strategis
- Berbagi intelijen melalui NATO
Dalam konteks ini, banyak pengamat menilai posisi tawar Uni Eropa dalam urusan keamanan sebenarnya semakin lemah, terutama sejak perang Rusia–Ukraina memperdalam ketergantungan militer Eropa pada Washington.
Krisis Internal Eropa: Migrasi, Demokrasi, dan Polarisasi Sosial
Bersamaan dengan tekanan eksternal, Eropa juga dihantam oleh krisis struktural dari dalam. Arus migrasi yang dinilai tidak terkendali, menurunnya kepercayaan publik terhadap demokrasi, serta kebijakan ekonomi dan lingkungan Uni Eropa yang kontroversial terus menggerus kohesi sosial di berbagai negara.
Situasi ini semakin memanas setelah Elon Musk, tokoh teknologi global, secara terbuka menyerukan pembubaran Uni Eropa dan pengembalian kekuasaan kepada rakyat nasional. Pernyataan tersebut, meski kontroversial, menyebar luas di media sosial dan memicu perdebatan tajam di seluruh Eropa.
Protes Petani Prancis: Simbol Kemarahan terhadap Kebijakan UE
Di Prancis, ketegangan sosial meledak dalam bentuk aksi protes besar-besaran oleh para petani pada akhir November hingga awal Desember 2025. Di sejumlah wilayah, demonstran menyiram gedung-gedung pemerintah dengan kotoran ternak sebagai simbol kemarahan terhadap kebijakan pertanian dan lingkungan Uni Eropa yang dinilai menekan kehidupan mereka.
Upaya aparat keamanan membubarkan massa dengan gas air mata justru memperparah situasi dan memicu kemarahan publik yang lebih luas, memperlihatkan rapuhnya hubungan antara negara dan masyarakat di beberapa negara inti Uni Eropa.
Bulgaria: Pemerintahan Runtuh akibat Gelombang Protes Gen Z
Puncak krisis politik terjadi di Bulgaria, salah satu negara anggota Uni Eropa yang paling rentan secara ekonomi dan reputasi antikorupsi.
- 10 Desember 2025: Aksi protes mencapai puncaknya. Puluhan kota di seluruh Bulgaria menggelar demonstrasi serentak. Di ibu kota Sofia, jumlah massa dilaporkan melebihi 100.000 orang, sebuah mobilisasi nasional yang jarang terjadi.
- Para demonstran meneriakkan slogan “Mundur! Kami muak!” dan membawa spanduk sindiran tajam terhadap elite politik.
- 11 Desember 2025: Perdana Menteri Rosen Zhelyazkov secara resmi mengumumkan pengunduran diri, setelah pemerintahan koalisi runtuh akibat tekanan publik yang terus meningkat.
- 12 Desember 2025: Parlemen Bulgaria menerima pengunduran diri tersebut, membuka jalan bagi kemungkinan pemilu dini kembali digelar.
Generasi Z di Garis Depan: Preseden Baru di Eropa
Aksi protes di Bulgaria didominasi oleh kaum muda dan Generasi Z. Sejumlah pengamat menyebut peristiwa ini sebagai kasus pertama di Eropa di mana ketidakpatuhan massal Gen Z secara langsung menjatuhkan pemerintahan nasional.
Gelombang protes bermula akhir November 2025, dipicu oleh rancangan anggaran 2026 yang mencakup:
- Kenaikan iuran asuransi sosial
- Peningkatan pajak dividen
Meski pemerintah akhirnya menarik rancangan anggaran tersebut, tuntutan publik justru berkembang menjadi seruan agar seluruh pemerintahan mundur, dengan fokus pada isu korupsi, oligarki, dan kebijakan Uni Eropa yang dianggap jauh dari aspirasi rakyat.
Ketidakstabilan Kronis Bulgaria dan Ancaman Efek Domino
Sebagai salah satu negara termiskin di Uni Eropa, Bulgaria telah mengalami ketidakstabilan politik berkepanjangan. Sejak 2021, negara ini telah menyelenggarakan tujuh pemilu dalam waktu kurang dari lima tahun, mencerminkan krisis legitimasi yang terus berulang.
Para analis memperingatkan bahwa jika pola tekanan sosial serupa muncul di negara-negara Eropa lain, model protes lintas kota yang dipimpin generasi muda ini berpotensi menyebar ke seluruh benua. Slogan yang terus digaungkan para demonstran Bulgaria, “Persatuan adalah kekuatan,” kini mulai bergema di luar negeri.
Eropa di Persimpangan Sejarah
Situasi di Bulgaria semakin dipandang bukan sebagai kasus terisolasi, melainkan cermin dari tekanan berlapis yang kini menimpa Eropa secara keseluruhan—mulai dari dampak perang, tekanan ekonomi, krisis demokrasi, hingga perpecahan sosial yang kian tajam.
Di tengah percepatan restrukturisasi kekuatan global, pengaruh kebijakan dan posisi tawar Uni Eropa terus melemah. Pertanyaan besar pun mengemuka di kalangan pembuat kebijakan dan analis internasional:
apakah Eropa sedang mendekati titik kritis perpecahan struktural—atau ini baru awal dari rangkaian guncangan yang lebih besar?



