Analisis mendalam terhadap konflik tata kelola hutan dan pertanahan di Provinsi Riau—khususnya di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)—menunjukkan bahwa konflik ini adalah masalah struktural yang berakar pada benturan regulasi kehutanan dan pertanahan, dengan implikasi langsung terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Konflik ini menyentuh hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas penghidupan, hak masyarakat adat, dan hak atas jaminan kepastian hukum.
Menurut pandangan penulis, pertama yang menjadi titik krusial adalah konflik status kawasan versus hak atas tanah. Hal itu, setelah penetapan kawasan TNTN sebagai kawasan konservasi didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan turunannya, seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021.
Namun, proses penunjukan dan penetapan ini sering kali tumpang tindih dengan areal yang secara de facto telah dikuasai atau diklaim oleh masyarakat, baik sebagai tanah garapan maupun tanah adat, tanpa mekanisme penyelesaian hak yang transparan dan memadai.
Sehingga ketidakselarasan itu, jelas-jelas melanggar hak atas tanah dan hak milik sebagai hak asasi yang dijamin oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta hak atas penghidupan yang layak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya.
Persoalan lain yaitu terjadi kesenjangan pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA). Meskipun Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengakui hak MHA, banyak komunitas di sekitar TNTN yang secara nyata memenuhi unsur-unsur MHA, tapi belum mendapatkan pengakuan formal melalui peraturan daerah (perda).
Oleh karena itu, dengan belum mendapatkan pengakuan formal terhadap hak MHA, hal tersebut berimplikasi terhadap dimensi HAM, yaitu pengingkaran hak kolektif MHA atas wilayah adat dan sumber daya alam, serta melanggar kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi hak-hak MHA.
Penegakan Hukum yang tidak proporsional menjadi alasan penting timbulnya persoalan ini di mana penerapan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagai lex specialis sangat penting untuk menindak perusakan hutan terorganisir, termasuk aktor korporasi.
Namun, kecenderungan kriminalisasi yang diarahkan kepada petani kecil atau penduduk miskin—yang didorong oleh kegagalan kebijakan agraria—menimbulkan masalah HAM. Hal ini melanggar asas proporsionalitas, sehingga berimplikasi terhadap dimensi HAM, yaitu terjadi pengabaian hak atas penghidupan layak (UU 11/2005), serta dapat mengindikasikan terjadi juga pelanggaran terhadap kelompok rentan.
Kemudian dari aspek lain, yaitu terjadi kegagalan pemenuhan hak atas kompensasi dan partisipasi di mana Pasal 68 UU 41/1999 secara tegas menjamin hak masyarakat untuk menikmati kualitas lingkungan hidup dari hutan dan memperoleh kompensasi jika kehilangan akses hutan atau hak atas tanah akibat penetapan kawasan.
Jika masyarakat kehilangan akses lahan atau sumber mata pencaharian tanpa kompensasi yang layak dan partisipasi publik yang memadai dalam penataan batas atau rencana pengelolaan TNTN, akan terjadi pelanggaran langsung terhadap hak-hak yang dijamin undang-undang tersebut, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik (UU 39/1999).
Konflik di TNTN harus diselesaikan melalui pendekatan yang mengedepankan hak asasi manusia dan kepastian hukum. Oleh karena itu, kami mendesak beberapa hal: Pertama, penyelesaian konflik agraria, yaitu segera melakukan verifikasi menyeluruh terhadap tumpang tindih kawasan TNTN dengan klaim hak masyarakat/tanah adat dan jalankan mekanisme ganti rugi atau penyelesaian konflik lainnya, sesuai amanat Pasal 68 UU 41/1999.
Kedua, pengakuan terhadap MHA di mana Pemerintah Daerah Riau didorong untuk mempercepat proses penelitian dan penetapan MHA melalui perda, sebagai langkah fundamental untuk menghormati hak kolektif dan hak budaya mereka.
Ketiga, kami merekomendasikan untuk penegakan hukum berkeadilan di mana penegakan hukum pidana kehutanan harus fokus pada pelaku perusakan terorganisir dan korporasi, serta menghindari kriminalisasi yang tidak proporsional terhadap masyarakat kecil.
Terakhir—tidak kalah penting untuk menyelesaikan persoalan ini—partisipasi publik di mana dengan melibatkan masyarakat secara bermakna dalam proses pengelolaan TNTN dan memastikan pemenuhan hak atas informasi serta kompensasi.
Oleh karena itu, penulis berkesimpulan, konflik tata kelola hutan dan pertanahan di TNTN Riau harus dipandang sebagai isu HAM yang mendesak. Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat yang terdampak—termasuk masyarakat adat—untuk menjamin keadilan agraria dan kelestarian lingkungan hidup.



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5426784/original/044200700_1764317615-1.jpg)