BANJIR dan tanah longsor yang memporak-porandakan Aceh dan Sumatra Utara bukan semata kutukan alam. Ini adalah bukti telanjang bagaimana hukum kita lebih dulu runtuh sebelum tanah itu longsor. Ketika ribuan warga kehilangan rumah, para cukong penebangan hutan dan pengusaha tambang justru duduk tenang di balik meja, dilindungi kekuasaan yang seharusnya menegakkan keadilan. Di negeri ini, Undang-Undang Dasar seolah hanya berlaku bagi mereka yang tak berpunya, sementara para pelaku besar melenggang tanpa tersentuh.
Ketika Bencana Bukan Lagi Peristiwa Alam, tapi Peristiwa PolitikBencana Aceh–Sumut pada akhir tahun ini bukan kejadian tunggal. Ini adalah puncak dari krisis ekologis yang sudah bertahun-tahun diperingatkan para ahli. Namun, penyebabnya tak pernah benar-benar disentuh: deforestasi masif, aktivitas tambang illegal dan legal yang dibiarkan tanpa pengawasan, serta pembiaran struktural yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Warga di lereng dan bantaran sungai kehilangan nyawa, kehilangan tempat tinggal, dan kehilangan akses hidup. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang terindikasi menjadi biang kerok masih beroperasi, bahkan mendapat izin perpanjangan. Fenomena ini mengkonfirmasi satu hal: hukum di Indonesia masih tunduk pada kepentingan modal.
Diskriminasi UUD: Ketika Pasal Perlindungan Rakyat Kalah oleh KekuasaanUUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa 'negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia'. Namun, interpretasi ini kerap timpang ketika menyangkut konflik antara rakyat kecil dan kelompok berkepentingan.
- Pasal 28H Ayat (1) menjamin hak hidup sejahtera lahir batin, termasuk lingkungan yang baik dan sehat.
- Pasal 33 Ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Faktanya? Kemakmuran hanya mengalir ke segelintir orang yang memiliki akses politik dan ekonomi.
Ketika perusahaan besar merusak hutan, negara lamban bergerak. Ketika rakyat menebang beberapa batang kayu untuk bertahan hidup, aparat datang lebih dulu ketimbang bantuan. Ketimpangan ini begitu nyata sehingga prinsip 'hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas' bukan sekadar ungkapan, melainkan realitas yang diwariskan terus-menerus.
Kasus yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara adalah cermin dari persoalan nasional: eksploitasi sumber daya alam tanpa batas, minimnya penegakan hukum, serta kolusi antara pemilik modal dan pejabat daerah. Beberapa pola berulang terlihat jelas:
- Izin tambang tetap berjalan bahkan setelah laporan kerusakan lingkungan meningkat.
- Pengusaha besar bebas dari jerat hukum, meski bukti keterlibatan mereka dalam perusakan hutan mengemuka.
- Masyarakat lokal justru dituding merambah hutan, padahal mereka korban terbesar dari kerusakan itu.
- Proyek-proyek pemerintah kerap mengabaikan prinsip AMDAL dan partisipasi masyarakat.
Ketika kekayaan alam diambil untuk keuntungan personal, tidak hanya lingkungan yang rusak kepercayaan publik ikut hilang. Dan ketika negara lebih sibuk melindungi kepentingan elite, bencana ekologis berubah menjadi bencana sosial.
Apa yang terjadi di Aceh–Sumut bukan sekadar persoalan daerah, melainkan peringatan bagi seluruh Indonesia. Ketika satu hutan hilang, iklim seluruh negeri ikut rusak. Ketika hukum gagal melindungi satu wilayah maka tak ada jaminan kita aman saat bencana datang ke kota kita sendiri.
Ketidakadilan konstitusional kini tampak nyata: rumah terendam, desa tertelan lumpur, dan masa depan generasi ikut terancam. Tragedi ini harus menjadi refleksi nasional. Undang-Undang Dasar tidak boleh terus tumpul saat berhadapan dengan kekuasaan.
Jika elite perusak hutan terus dibiarkan, rakyat akan selamanya menjadi korban di sungai, di lereng bukit, hingga di pengadilan. Sudah saatnya hukum berpihak pada rakyat, bukan pada pemilik modal. Sebab ketika hutan tumbang, yang runtuh tidak hanya pohonnya, tetapi juga martabat konstitusi kita.


