Ada hal yang jarang dibicarakan ketika kita berbicara soal kemiskinan: bahwa kemiskinan tidak hanya menghimpit perut, tetapi juga mengecilkan kemungkinan hidup. Banyak anak dari keluarga miskin tumbuh bukan karena tak punya mimpi, melainkan karena tak pernah mendapat ruang untuk membayangkan masa depan secara utuh. Mereka dibesarkan dalam lingkungan yang sempit, informasi yang minim, dan absennya figur panutan yang bisa menunjukkan bahwa hidup punya banyak pilihan.
Di tengah kondisi itu, muncul satu persoalan yang jarang masuk dalam perdebatan publik: ketimpangan aspirasi. Ini bukan sekadar perbedaan cita-cita, melainkan juga jarak sistematis dalam kemampuan bermimpi yang lahir dari ketidaksetaraan modal ekonomi, sosial, budaya, simbolik, serta akses terhadap informasi. Anak-anak dari keluarga miskin bukan tidak mau bermimpi—mereka hanya tak tahu ke mana arah mimpi itu seharusnya dituju.
Ironisnya, kebijakan pendidikan kita selama ini lebih banyak bicara tentang kurikulum dan fasilitas fisik. Hal yang sering absen adalah pembangunan ekosistem sosial yang membantu anak miskin percaya bahwa masa depan tidak harus identik dengan masa lalu.
Di sinilah gagasan Sekolah Rakyat—dengan model berasrama—menjadi penting. Di tengah berbagai persoalan kemiskinan struktural, program ini mencoba mengembalikan sesuatu yang paling mendasar, tetapi paling rapuh: hak seorang anak untuk bermimpi.
Mengapa Aspirasi Penting?Berbagai hasil penelitian satu dekade terakhir menunjukkan bahwa kemiskinan melahirkan aspirations failure: kebuntuan dalam memandang visi masa depan. Lingkungan sosial yang terbatas mempersempit apa yang disebut sebagai jendela aspirasi, membuat anak merasa bahwa pilihan hidup mereka tidak lebih luas dari halaman rumah.
Aspirasi sebenarnya bukan sekadar keinginan pribadi, melainkan juga dibentuk oleh interaksi: informasi yang diterima, pengalaman yang dialami, serta pertemuan dengan role model yang menginspirasi. Tanpa itu, anak-anak miskin mudah terseret pada apa yang disebut Baillergeau & Duyvendak sebagai dreamless futures—masa depan yang hampa tanpa arah.
Dalam perspektif Capability Approach (Sen, 1999), aspirasi adalah titik awal dari kapabilitas seseorang. Namun, titik awal itu tidak berarti apa-apa jika tidak didukung oleh conversion factors: akses pendidikan yang layak, lingkungan yang suportif, dan terbukanya jalur karier yang nyata.
Apa yang Berbeda dari Model Berasrama?Sekolah Rakyat menawarkan tiga hal pokok yang selama ini tidak tersedia di banyak keluarga miskin dan rentan.
Pertama, jendela referensi sosial yang lebih luas. Di asrama, anak hidup dalam lingkungan yang memotivasi: guru, wali asrama, wali asuh, dan teman sebaya yang mendukung. Interaksi ini memperkaya cara pandang dan memperluas kemungkinan dalam membentuk visi masa depan.
Kedua, akses terhadap informasi dan figur panutan. Bagi banyak anak miskin, jalur pendidikan dan peluang kerja adalah sesuatu yang abstrak. Lingkungan asrama membuat informasi itu lebih konkret: ada perjumpaan dengan orang-orang yang pernah berjalan di jalur yang mereka impikan.
Ketiga, ruang aman untuk mencoba dan gagal. Aspirasi tanpa jalur konversi hanya melahirkan kekecewaan. Asrama memberi ruang latihan, baik akademik maupun non-akademik, sehingga anak tidak hanya bermimpi, tetapi juga mulai melihat jalan menuju mimpi itu.
Dengan dukungan ini, Sekolah Rakyat tidak sekadar mengadakan kelas belajar, tetapi juga menyusun ulang cara anak memandang dirinya dan masa depannya.
Bukan Sekadar Memupuk MimpiNamun, membangun aspirasi tanpa dukungan struktural justru berbahaya. Anak-anak dari keluarga miskin dan rentan sering memikul beban yang tak terlihat: tuntutan ekonomi, pekerjaan domestik, dan rasa bersalah ketika mereka “terlalu jauh” dari rumah. Jika Sekolah Rakyat ingin berhasil, program ini harus memastikan mimpi-mimpi yang dirawat di dalamnya.
realistis dengan peluang objektif yang tersedia,
didukung konseling karier yang kuat,
diperkuat kurikulum yang relevan dengan dunia kerja,
dan dilengkapi jaringan peluang yang nyata.
Tanpa itu, jurang antara aspirasi dan kenyataan justru akan semakin dalam.
Tantangan yang Tidak Boleh DiabaikanModel berasrama menyimpan risiko. Tanpa tata kelola yang baik, asrama bisa berubah menjadi institusi yang kaku dan memutus hubungan anak dengan keluarga. Kualitas pembina (wali asrama dan wali asuh), kapasitas psikososial, dan pengawasan publik harus benar-benar diperhatikan.
Selain itu, Sekolah Rakyat tidak boleh berdiri sendirian. Ia harus menjadi bagian dari strategi besar penghapusan kemiskinan antargenerasi. Indonesia masih menghadapi ketimpangan akses pendidikan desa-kota, kualitas guru yang tidak merata, dan keterbatasan layanan pendampingan karier. Program berasrama hanya akan efektif jika terhubung dengan sistem pendidikan dan perlindungan sosial secara menyeluruh.
Mengembalikan HarapanPada akhirnya, Sekolah Rakyat adalah investasi jangka panjang yang tidak selalu bisa diukur dengan angka dalam jangka pendek. Namun, ia menyentuh sesuatu yang lebih dalam: keyakinan bahwa anak-anak dari keluarga miskin juga punya hak yang sama untuk memikirkan masa depan yang layak.
Keadilan sosial bukan hanya soal redistribusi uang, melainkan juga redistribusi harapan. Tanpa lingkungan yang memungkinkan mimpi tumbuh, anak-anak dari keluarga miskin dan rentan akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama.
Jika dirancang dengan cermat dan dijalankan dengan empati, Sekolah Rakyat bisa menjadi ruang yang memutus rantai kemiskinan dari dalam: tidak hanya memberi bantuan sosial tunai, tetapi juga membuka kemungkinan.
Dengan kata lain, ia membantu anak-anak yang selama ini hanya bertahan untuk mulai membayangkan dan mewujudkan kehidupan yang lebih adil.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5345161/original/016616100_1757510873-WhatsApp_Image_2025-09-10_at_15.12.30.jpeg)



