Selat Hormuz telah begitu sering diposisikan sebagai “urat nadi energi dunia” sehingga publik cenderung menerima begitu saja bahwa kawasan ini harus dijaga dengan pendekatan militer. Narasi ini seolah permanen, tidak terbantahkan, dan dijadikan pembenaran untuk mobilisasi kekuatan bersenjata yang semakin besar dari waktu ke waktu. Padahal, cara pandang seperti ini bukan sekadar menyederhanakan persoalan; ia juga berbahaya.
Sekuritisasi Selat Hormuz menjadikannya isu keamanan yang dianggap mendesak dan ancaman yang harus direspons secara militer sebagai produk konstruksi politik, bukan realitas yang berdiri sendiri. Dan selama konstruksi ini tidak dibongkar secara kritis, kawasan Timur Tengah akan terus terjebak dalam spiral ketegangan yang tidak perlu.
Pentingnya Selat Hormuz memang tidak bisa dilepaskan dari faktor energi. Sekitar seperlima minyak dunia melewati jalur ini. Namun, menempatkan energi sebagai penjelasan tunggal adalah pendekatan "malas" yang gagal melihat dinamika sebenarnya. Negara-negara Teluk telah berusaha keras membangun alternatif dari pipa minyak ke Laut Merah hingga terminal baru di Oman.
Meskipun kapasitasnya belum cukup menggantikan Hormuz, fakta bahwa mereka merasa perlu mencari alternatif menunjukkan bahwa ketergantungan selama ini lebih merupakan warisan politik ketimbang kebutuhan teknis. Dengan kata lain, Selat Hormuz penting bukan karena tidak ada pilihan lain, melainkan karena struktur kekuasaan internasional telah menjadikannya tetap penting.
Iran sering dijadikan pihak yang “mengancam” Selat Hormuz, tetapi itu hanya setengah kebenaran. Benar bahwa Iran memiliki kemampuan untuk mengganggu jalur ini. Namun, alasan Iran memperkuat kehadirannya justru tidak bisa dilepaskan dari kehadiran armada Amerika Serikat yang sejak Perang Teluk 1991 menjadikan Teluk Persia sebagai panggung permanen untuk memproyeksikan kekuatan.
Ketika Iran dikurung oleh sanksi ekonomi dan tekanan militer, Selat Hormuz menjadi kartu tawar strategis yang hampir satu-satunya tersisa. Mengkritik Iran karena menggunakan leverage itu—tanpa mengkritik arsitektur keamanan yang memaksa mereka ke posisi tersebut—adalah bentuk ketidakkonsistenan analitis yang sering diabaikan oleh pengamat Barat.
Amerika Serikat, di sisi lain, selalu menjustifikasi kehadirannya dengan retorika menjaga stabilitas global. Namun, stabilitas versi siapa? Dalam banyak kasus, eskalasi justru terjadi karena terlalu banyak kapal perang di kawasan sempit ini. Insiden seperti penahanan tanker, serangan drone terhadap fasilitas minyak, hingga tabrakan kapal patroli merupakan konsekuensi logis dari kawasan yang dikemas sebagai ruang ancaman.
Ini yang jarang dibicarakan: sekuritisasi bukan hanya respons terhadap ancaman, melainkan juga pencipta ancaman itu sendiri. Selama Selat Hormuz dipikirkan sebagai medan pertarungan, setiap aktor akan berperilaku seolah ancaman itu nyata, sehingga ancaman itu akhirnya benar-benar muncul.
Negara-negara Teluk berada dalam kondisi yang lebih rumit daripada narasi umum yang menggambarkan mereka sebagai sekutu pasif AS. Mereka sebenarnya menyadari bahwa ketergantungan pada proteksi eksternal menempatkan mereka pada posisi rawan terperangkap di antara rivalitas AS dan Iran.
Mereka membutuhkan keamanan untuk menjaga ekspor energi, tetapi keamanan yang mereka peroleh justru bersumber dari aktor yang memproduksi ketidakamanan di tempat pertama. Itulah paradoks terbesar kawasan ini: semakin mereka mencoba mengamankan diri dengan cara tradisional, semakin tinggi biaya politik dan ekonomi yang mereka tanggung.
Konflik Gaza dan ketegangan regional terbaru memperburuk dinamika tersebut. Serangan milisi pro-Iran terhadap kapal kargo, penargetan tanker yang dianggap terkait Israel, serta ancaman penutupan selat mengingatkan dunia bahwa Selat Hormuz adalah simbol betapa sempitnya batas antara stabilitas dan kehancuran.
Namun, di balik semua itu, kita jarang bertanya pertanyaan yang seharusnya paling mendasar: Mengapa kawasan ini terus menanggapi setiap fluktuasi politik dengan pendekatan militer, dan siapa yang mendapatkan keuntungan dari terus bertahannya logika itu?
Yang jarang dibahas orang adalah fungsi dari Selat Hormuz sebagai instrumen kekuasaan bagi negara-negara besar. AS menggunakan selat ini untuk menjaga pengaruhnya di Timur Tengah, Iran menggunakannya untuk menghadapi tekanan internasional, dan negara-negara Teluk memilikinya sebagai kartu ekonomi yang sekaligus menjadi titik kerentanan terbesar mereka.
Bahkan, China dan Rusia—meski lebih kecil pengaruhnya—sangat berkepentingan terhadap stabilitas jalur energi demi kepentingan domestik mereka. Artinya, Selat Hormuz bukan sekadar jalur pelayaran, melainkan juga arsitektur kekuatan di mana setiap aktor berusaha memastikan posisi tawarnya tidak hilang.
Jika kawasan benar-benar ingin keluar dari siklus sekuritisasi ini, diperlukan perubahan cara pandang yang radikal; dari melihat Selat Hormuz sebagai titik ancaman menjadi sebagai ruang kepentingan bersama.
Rekonsiliasi Iran-Arab Saudi pada 2023 memberi secercah harapan bahwa logika zero-sum bisa digeser menjadi pendekatan berbasis kepentingan ekonomi jangka panjang. Namun langkah semacam itu masih sangat rapuh dan mudah goyah oleh provokasi politik dan manipulasi aktor besar yang ingin mempertahankan status quo.
Selama aktor-aktor utama terus mempertahankan narasi ancaman demi memperkuat pengaruh atau mempertahankan legitimasi politik, Selat Hormuz akan tetap menjadi titik panas dunia. Dapat dikatakan bahwa sekuritisasi Selat Hormuz bukan hanya refleksi dari ketegangan, melainkan juga juga alat produksinya.
Ancaman terhadap selat itu tidak pernah “alami”; ia adalah produk pilihan politik, keputusan strategis, dan kepentingan kekuasaan yang disusun secara sadar. Selama struktur politik itu tidak berubah, Selat Hormuz akan tetap menjadi kawasan paling rentan sekaligus paling diperebutkan di Timur Tengah.





