Jakarta, VIVA – Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan mengatakan siapa pun pelakunya jika terbukti ada kerugian negara yang besar dalam sebuah perkara, maka masyarakat akan sulit untuk menerima. Menurut dia, tidak ada satu pejabat yang bebas dari aturan hukum.
Kata dia, semua pihak yang pro maupun kontra sebaiknya menerima dan mengikuti proses hukum yang sudah berjalan. Karena, lanjut dia, berkas perkara dan tersangka kasus korupsi laptop chromebook yakni Nadiem Makarim sudah dikirim ke Pengadilan Tipikor.
Untuk itu, ia berharap pengadilan bisa menjalankan secara adil dan terbuka tanpa tekanan dari pihak manapun.
“Peradilan yang betul-betul independen dari pro maupun kontra. Asal (fair) dan sesuai dengan azas imparsialitas, ya jalani saja,” kata Maruarar dikutip pada Senin, 15 Desember 2025.
Maruarar mengatakan proses pengadilan akan membuktikan Nadiem bersalah seperti dakwaan jaksa, atau justru Nadiem bisa membuktikan kalau dia tidak bersalah.
Menurut dia, bagaimana pun seorang pejabat negara harus tunduk pada hukum yang berlaku saat menjalankan kewenangannya, terutama terkait dengan proyek-proyek seperti pengadaan laptop chromebook.
“Apakah benar Nadiem tidak menerima sesuatu. Kalau pun Nadiem tidak menerima tapi sengaja memberi keuntungan pada orang lain, kan tetap bersalah,” jelas dia.
Dalam kasus dugaan korupsi yang nilainya sangat besar seperti kasus Nadiem ini, kata dia, jaksa tentu tidak main-main karena risikonya sangat besar. Terlebih, jika asal tuding tanpa memiliki dasar bukti.
“Tentu mereka tidak berani mengada-ada, apalagi menciptakan satu kerugian negara yang jumlahnya fantastis dalam kasus chromebook tersebut,” katanya.
Sementara itu, Maruarar menanggapi kemungkinan Presiden Prabowo Subianto akan menggunakan hak abolisi, amnesti maupun rehabilitasi. Kata dia, Prabowo akan menggunakan hak tersebut jika memiliki dasar yang kuat.
“Tentu ada dasarnya yang (presiden) menganggap ini (kasusnya) bukan tanggung jawab dia (terdakwa),” ungkapnya.
Namun, ia mengingatkan sebaiknya mempertimbangkan momentumnya. Sebaiknya abolisi diberikan ketika masih dalam proses penuntutan sampai proses persidangan sebelum putusan. Sedangkan, amnesti setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
“Kalau rehabilitasi merupakan pemulihan kepada kedudukan dan kehormatannya semula, yang tentu saja setelah putusan berkekuatan hukum, karena misal JPU dan terdakwa tidak menggunakan haknya untuk banding/kasasi,” pungkasnya.



