Menjelang akhir tahun, Tiongkok dilanda gelombang tuntutan pembayaran upah. Dari Beijing hingga Guangxi, dari China Railway Sixth Group, surat kabar resmi Komite Partai Guangxi Guangxi Daily, hingga lokasi proyek pembangkit listrik di Qinghai—baik perusahaan milik Partai Komunis Tiongkok (PKT) maupun perusahaan teknologi besar—semuanya terlihat aksi buruh menuntut gaji. Bahkan, ada pekerja yang membawa anak-anak mereka saat menuntut upah. Fenomena ini menyoroti tekanan ekonomi yang terus memburuk, keuangan pemerintah daerah yang semakin seret, serta hak-hak buruh yang kian terancam.
EtIndonesia. Pada 11 Desember 2025, warganet mengungkap bahwa China Railway Sixth Group Co., Ltd., proyek Jalan Yundong di Sub-Pusat Kota Beijing (paket pekerjaan pertama), didatangi pekerja yang menuntut gaji akibat tunggakan upah.
Pada 10 Desember, sekelompok buruh mengerumuni gedung kantor surat kabar corong partai Komite Partai Guangxi, Guangxi Daily, di Nanning. Mereka menuduh pihak media tersebut menunggak pembayaran upah buruh migran.
Seorang warga Guangxi mengatakan: “Ini kantor Guangxi Daily. Mereka menunggak gaji kami dan tidak mau membayar. Mereka bahkan mengerahkan satpam dan tidak membiarkan kami masuk untuk menyelesaikan masalah.”
Di Provinsi Qinghai, pada proyek unit pembangkit listrik tenaga uap milik China Power Construction Group, seorang ibu muda bahkan datang sambil menggendong bayinya untuk menuntut gaji, yang menarik perhatian publik.
Sementara itu di Shenzhen, perusahaan teknologi besar Yilisheng Technology memicu aksi mogok kerja besar-besaran setelah melakukan pemotongan gaji secara masif.
Penulis keturunan Tionghoa asal Kanada sekaligus Wakil Ketua Global Federasi untuk Demokrasi Tiongkok, Sheng Xue, mengatakan: “Gelombang tuntutan gaji di akhir tahun yang meletus secara nasional menunjukkan bahwa krisis struktural Tiongkok sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Pabrik, proyek, rantai pasok, dan arus modal mengalami keretakan luas, sementara keuangan pemerintah daerah tidak lagi mampu menopang. Gelombang tuntutan upah ini bukan hal baru, sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun kini situasinya semakin memburuk dan menjadi manifestasi langsung dari keruntuhan sistemik.”
Dalam beberapa tahun terakhir, seiring ekonomi Tiongkok terus menurun, runtuhnya sektor properti, anjloknya pesanan konstruksi, pendapatan buruh migran jatuh drastis. Ditambah lagi krisis utang pemerintah daerah, tunggakan pembayaran proyek menjadi hal yang umum, sehingga buruh migran semakin sulit memperoleh hak upah mereka.
Pada saat yang sama, perusahaan asing juga perlahan meninggalkan pasar Tiongkok.
Belakangan ini, produsen peralatan pencitraan asal Jepang Canon dan produsen otomotif Honda telah menutup pabrik mereka di Tiongkok.
Selain itu, banyak merek pakaian asing seperti Triumph, Etam, dan lainnya juga satu per satu menarik diri dari pasar Tiongkok.
Para analis menilai bahwa perlambatan ekonomi Tiongkok, ditambah lingkungan bisnis yang buruk bagi perusahaan asing—seperti kebijakan yang tidak transparan dan masalah keamanan data—telah mendorong eksodus perusahaan asing dari negara tersebut.
Sheng Xue menambahkan: “Modal asing terus hengkang, rantai pasok global makin terlepas, dan sektor properti runtuh total. Masalah sebenarnya adalah model pembangunan jangka panjang PKT yang bersifat distortif, eksploitatif, dan berlandaskan penipuan.”
Mantan pengacara Beijing Liang Shaohua mengatakan: “Ketika pasar Tiongkok runtuh dan tak lagi bisa digerakkan, PKT meluncurkan apa yang disebut reformasi dan keterbukaan—itu murni ekonomi. Namun secara politik, tidak ada pelonggaran sama sekali. Penindasan tetap ekstrem, dengan penangkapan besar-besaran, termasuk terhadap para pembangkang. Kini, sistem itu sudah berada di ambang kehancuran.”
Laporan oleh reporter New Tang Dynasty Television, Chen Yue dan Chang Chun



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5444754/original/038689100_1765787357-WhatsApp_Image_2025-12-15_at_12.25.12.jpeg)