Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong pemerintah untuk tidak merevisi aturan kawasan berikat di tengah kondisi pasar global yang belum pulih. Bahkan, asosiasi pengusaha tersebut mengusulkan agar porsi penjualan produk kawasan berikat ke pasar domestik dapat ditingkatkan hingga 100%, dengan catatan memenuhi sejumlah persyaratan ketat.
Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto menilai pelonggaran pemasaran produk dari kawasan berikat tidak akan memicu banjir barang impor ke pasar domestik. Menurutnya, arus barang di kawasan berikat berada di bawah pengawasan berlapis Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan mekanisme pengawasan tersebut, Anne meyakini kebocoran barang impor ke pasar domestik hampir mustahil terjadi. Ia menegaskan impor borongan tidak bisa masuk melalui kawasan berikat karena seluruh aktivitas diawasi secara ketat oleh otoritas terkait.
“Impor borongan tidak bisa masuk lewat kawasan berikat karena ada dua institusi yang mengawasi secara ketat. Kecuali semua pihak di kawasan berikat bermain, baru kebocoran itu mungkin terjadi,” kata Anne kepada Katadata.co.id, Senin (15/12).
Anne pun menantang pihak-pihak yang menuding kawasan berikat sebagai pintu masuk impor ilegal. Menurutnya, tata kelola di kawasan berikat jauh lebih ketat dibandingkan kawasan perdagangan lainnya, mulai dari kewajiban pelaporan, audit rutin, hingga pengawasan fisik barang.
Sebagai informasi, arus barang di kawasan berikat saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2018. Dalam aturan tersebut, pelaku usaha di kawasan berikat diperbolehkan menjual hingga 50% produknya ke pasar domestik. Namun, Kementerian Keuangan berencana merevisi beleid tersebut dengan menurunkan porsi penjualan domestik menjadi 25%.
Apindo menilai rencana revisi tersebut perlu ditinjau ulang. Anne mengatakan, di tengah lemahnya permintaan global, ruang pemasaran ke dalam negeri justru perlu diperluas agar produksi tidak tertahan. Karena itu, Apindo mengusulkan agar porsi penjualan ke pasar domestik dapat ditingkatkan hingga 100%, dengan catatan memenuhi tiga syarat utama.
Pertama, perusahaan kawasan berikat harus membuktikan adanya penurunan permintaan global melalui laporan keuangan. Anne menilai syarat ini relatif mudah dipenuhi karena perusahaan di kawasan berikat telah menjalani audit rutin oleh otoritas.
Kedua, barang yang dipasarkan di dalam negeri harus merupakan substitusi impor. Hal ini dibuktikan melalui data pemesanan dari pembeli global serta dokumen pendukung lainnya. Ketiga, pemasaran ke pasar domestik harus mendapatkan penunjukan langsung melalui keputusan menteri terkait.
Dengan skema tersebut, Anne menegaskan produk yang masuk ke pasar domestik tetap merupakan barang buatan dalam negeri, bukan barang impor. Meski demikian, produk tersebut tetap diperlakukan layaknya barang impor saat keluar dari kawasan berikat, termasuk kewajiban membayar bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penghasilan.
“Daripada barang yang seharusnya diekspor tidak terserap pasar global, lebih baik masuk ke dalam negeri dengan tetap memenuhi kewajiban perpajakan,” ujarnya.



