Raja kini terbang bebas. Elang Jawa bernama lengkap ‘Raja Dirgantara’ itu menjelajah liar di hutan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Raja ditemukan masyarakat Cianjur pada September 2024. Kala itu usianya kurang dari satu tahun—masih tergolong muda dan menunjukkan kondisi jinak. Sebagai satwa yang dilindungi, Raja diserahkan warga ke Pusat Pendidikan Konservasi Elang Jawa (PPKEJ) Cimungkad, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Di sana, Raja direhabilitasi dan dilatih untuk dikembalikan ke habitat liarnya. Saat pertama kali masuk tempat rehabilitasi, Raja seolah terlepas dari jati dirinya. Ia belum menemukan insting alaminya sebagai satwa pemangsa. Makanannya masih disediakan oleh petugas PPKEJ karena Raja belum mampu mencari makan sendiri. Ia masih harus dicacahkan pakan untuk disantap. “Jadi kami memberikan treatment. Dulu awal datang, dia makannya masih dicacah,” Hendro Wirawan, keeper di PPKEJ Cimungkad, kepada kumparan, Sabtu (13/12).
Ia kemudian dilatih. Petugas memantik Raja agar kembali menemukan sifat alamiahnya sebagai penghuni hutan. Ia diberi makan marmut, tikus mencit, tikus rat, dan pakan pemangsa lainnya. Mulanya, pakan-pakan itu diberikan dalam keadaan sudah mati.
Setelah terbiasa memakan binatang mati, Raja distimulasi dengan pakan yang masih hidup. Ia dilatih berburu makanan sendiri laiknya hidup di alam liar. Instingnya dipancing dengan disodorkan ular, bunglon, hingga kadal. Tujuannya: mengembalikan sisi alami Raja sebagai pemangsa.
Upaya mengembalikan sisi liar Raja juga dirangsang dengan menempatkannya dalam kandang luas berukuran 12 meter x 8 meter x 12 meter. Tempat tersebut menjadi arena Raja melatih diri untuk terbang dan bermanuver di alam liar.
Usai menjalani treatment khusus selama satu tahun tiga bulan, Raja Dirgantara menunjukkan kondisi dan perilaku yang memenuhi syarat untuk dilepasliarkan. Bobot fisiknya membesar. Jambul khas Elang Jawa-nya pun mekar gagah. Ia juga dianggap sudah mampu terbang liar hingga mencari makan secara mandiri di hutan.
Lewat pemeriksaan medis dan perilaku, Raja Dirgantara mencapai skor kelayakan 405 poin untuk dapat dilepasliarkan ke alam bebas. Angka yang melebihi standar penilaian yang biasa digunakan para peneliti dan pemerhati elang untuk menentukan kelayakan dilepasliarkan ke alam.
Raja yang semula terjaring jerat warga kini terbang dan menjelajah liar di langit Sukabumi. Per hari itu ia dilepasliarkan. Usianya sudah menginjak satu tahun delapan bulan.
Raja Dirgantara sang Elang Jawa dilepasliarkan oleh Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki di kawasan Danau Situgunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Sabtu siang (13/12). Pelepasan ini sebagai bagian dari rangkaian tiga dekade konservasi Elang Jawa.
Dalam pelepasliaran tersebut, Rohmat didampingi Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kemenhut Satyawan Pudyatmoko; Program Director Bakti Lingkungan Djarum Foundation Jemmy Chayadi; hingga perwakilan keluarga Max Eduard Gottlieb Bartels, penemu awal Elang Jawa.
Sesaat sebelum pelepasliaran Raja, Rohmat menekankan bahwa Elang Jawa merupakan satwa endemik dan satwa karismatik di Pulau Jawa. Ia juga kebanggaan bangsa Indonesia karena Elang Jawa atau Nisaetus bartelsi identik dengan lambang negara Indonesia: Burung Garuda.
Habitat alami Elang Jawa adalah hutan. Itu sebabnya kondisi hutan yang mengalami degradasi saban waktu sudah tentu mengancam keberadaannya. Ditambah lagi perubahan iklim yang tak terbendung.
Salah satu upaya menjaga satwa dilindungi tersebut adalah konservasi di gunung-gunung tersisa di Pulau Jawa. Situgunung dipilih sebagai lokasi pelepasliaran karena memiliki kesesuaian habitat bagi Elang Jawa. Potensi sumber pakan melimpah dan minim satwa kompetitor di sana.
Raja melengkapi populasi Elang Jawa.
Berdasarkan catatan Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Kementerian Kehutanan tahun 2012–2022, populasi Elang Jawa hanya 600–700 ekor di habitat alaminya. Namun penemuan terakhir lewat penelitian tim IPB mencatat setidaknya ada 511 pasang Elang Jawa yang tersebar di 74 lokasi.
“Kalau dikali dua, berarti sudah meningkat sekitar 1.000 ekor di habitat alaminya,” ungkap Rohmat.
Persiapan Melepas sang Elang JawaRaja tak dilepasliarkan begitu saja. Ia melalui proses monitoring sebelum dan setelah dilepaskan ke alas. Salah satu pemantauannya adalah pemasangan teknologi GPS telemetri untuk mengamati pergerakannya di alam. Teknologi berbasis GSM itu disebut bakal mempermudah monitoring pergerakan Raja secara real-time. Keberadaan dan perilakunya bisa dipantau hanya lewat gawai.
Keberhasilan melepasliarkan satwa tak hanya pada seremoni pelepasan belaka, melainkan tentang bagaimana satwa tersebut beradaptasi, bertahan, dan berkembang biak di habitat alaminya.
“Menurut Prof. Ani Mardiastuti, pelepasliaran yang berhasil bukan pada saat dia (elang) dibukakan kandang dan terbang, tetapi saat dia berhasil menemukan pasangan dan berkembang biak … Itulah keberhasilan dari sebuah proses pelepasliaran,” kata Direktur Perencanaan Konservasi Kemenhut, Ahmad Munawir, di Bogor, Jumat (12/12).
Munawir menerangkan, setidaknya ada 4 tahap dalam melakukan rehabilitasi dan pelepasliaran satwa. Pertama, penyelamatan satwa, yakni kegiatan rescue seperti yang dilakukan pada Raja, ketika ia terjaring perangkap warga, lalu diserahkan kepada pihak konservasi. Membebaskan satwa yang dipelihara secara ilegal juga termasuk dalam misi penyelamatan.
Kedua adalah rehabilitasi. Tahap ini berfokus pada dua hal penting: pemulihan kesehatan serta perilaku satwa. Ia akan dilatih menemukan kembali sisi liarnya; merangsang instingnya sebagai satwa liar.
“Rehabilitasi bukan untuk kepentingan pengembangbiakan, bukan untuk penggemukan, tetapi bagaimana bisa kita lakukan supaya dia bisa kembali ke alam untuk mendapatkan kesempatan kedua,” tambah Munawir.
Indonesia saat ini memiliki 75 unit rehabilitasi. Lima di antaranya fokus pada program khusus elang. Di tempat-tempat rehabilitasi tersebut, satwa dipulihkan kesehatan dan perilakunya. Hasil pemantauan rehabilitasilah yang akan menentukan pelepasliaran satwa.
Akhir dari rehabilitasi ada tiga: 1) Bisa dilakukan pelepasliaran bila kesehatan dan perilakunya mencapai 80% dari kondisi liarnya; 2) Tak bisa dilepasliarkan karena kondisinya perilakunya tak memenuhi untuk kembali ke alam liar, sehingga dilakukan rehab lanjutan atau diserahkan ke lembaga konservasi lainnya.
Bila kedua opsi di atas tak memungkinkan, jalan terakhir, yang ketiga, adalah eutanasia. Namun tidak banyak yang melakukan langkah ini.
“Walaupun sebenarnya dibenarkan dalam konteks animal welfare,” imbuhnya.
Pada langkah eutanasia, lanjut Munawir, sebenarnya perguruan tinggi bisa memanfaatkannya sebagai media untuk penelitian. Dalam konteks ilmu pengetahuan, peneliti kesulitan melakukan research terhadap satwa yang dilindungi semacam Elang Jawa. Karena tidak mungkin ‘mematikan’ satwa yang dilindungi demi penelitian.
“Banyak sekali peneliti yang kesulitan pada saat dia me-research satwa yang harus kemudian ‘mematikan’ satwa tersebut. Sehingga banyak sekali misalnya bagian-bagian dalam, organ dalam, atau apapun itu kita kekurangan informasi,” kata Munawir.
“Maka sebenarnya dalam konteks [eutanasia] ini, bisa saja untuk pengetahuan, ilmu pengetahuan, bisa saja dalam konteks edukasi mestinya bisa,” tambahnya.
Setelah ada keputusan dari hasil rehabilitasi, satwa kemudian bisa dilepasliarkan. Pelepasliaran juga diidentifikasi dalam dua hal oleh Munawir: pelepasliaran untuk sekedar reinforcement (penambahan di sebuah habitat) atau reintroduction (mengembalikan satwa pada sebuah habitat yang pernah dihuni tapi punah).
Di Indonesia, lanjut Munawir, yang dilakukan masih sebatas reinforcement—melepas satwa pada habitat yang masih diisi satwa yang sama.
Selain itu, di Indonesia juga masih belum banyak yang benar-benar mengkaji tujuan pelepasliaran pada habitat tertentu. Apakah tujuannya pelepasliaran satwa.
Ia menyinggung soal metode assisted colonization dan ecological replacement yang berarti melepaskan suatu satwa itu untuk mencegah ada spesies punah di situ. Jadi satwa tersebut dihadirkan supaya spesies lain tidak punah.
“Sengaja dilepaskan di situ untuk memperbaiki ekologi, ekosistem di situ,” jelasnya.
“Tapi Indonesia sepertinya masih yang paling sering kita lakukan adalah reinforcement,” tambah dia.
Langkah terakhir dari seluruh rangkaian rehabilitasi tersebut adalah monitoring. Bagian terakhir tapi sekaligus disebut paling panjang prosesnya. Sebab, satwa tidak hanya dilepasliarkan lalu ditinggal, tapi harus dilakukan pemantauan berkala atau kata lainnya habitat assessment.
“Jangan sampai kemudian kita biasanya buka kandang, buka pintu, terbang atau lepas satwa itu, semua tepuk tangan, ini sudah berhasil. Sebenarnya itu hanya langkah awal untuk dia mudah-mudahan bisa menemukan pasangan dan berkembang biak di alam,” ujarnya.
Raja Dirgantara melalui tahapan yang dijelaskan Munawir. Tugas panjang berikutnya adalah memonitor perkembangan dan perilaku Raja lewat teknologi GPS yang dipasang pada tubuhnya.
Peneliti Elang Jawa, Usep Suparman, berharap GPS monitoring pada Raja bisa memberikan data jelajah yang akurat. Sebab, data tersebut juga akan membantu para peneliti mendapatkan sebaran ekologi Elang Jawa.
Usep menjelaskan, selama ini pemantauan Elang Jawa mayoritas dilakukan dengan cara observasi langsung. Sehingga akurasinya tidak maksimal. Metode observasi dengan GPS sebenarnya sudah pernah digunakan. Ada dua Elang Jawa yang sudah dilepasliarkan dengan dipasang GPS, salah satunya di Gunung Salak dan bagian Puncak.
Sebelumnya, Usep dkk menggunakan radio telemetri yang menggunakan dengan sinyal, yang juga dipasang pada Elang Jawa. Tetapi metode tersebut masih memiliki kekurangan, data yang dihasilkan masih harus diolah manual.
“Jadi GPS tracking itu adalah salah satu metode atau pendekatan untuk mengetahui seberapa jauh dia daerah jelajah dan seberapa luas habitat yang dia gunakan. Ini hal yang sangat penting,” kata Usep usai pelepasliaran Raja Dirgantara.
Usep yang sudah 30 tahun meneliti Elang Jawa berharap, penggunaan teknologi dan konservasi bisa memperpanjang populasi satwa kharismatik hutan Jawa tersebut. Ia menaruh optimistis karena populasi Elang Jawa saat ini yang teridentifikasi di alam mencapai 2.000 sampai 3.000 individu.
“Itu menjadikan indikator selama tiga dekade kita mendapatkan bahwa Elang Jawa ini dengan upaya yang sudah dilakukan kita dengan semua pihak, berarti aman dan sukses gitu dalam memproteksi si Elang Jawa itu sendiri,” kata Usep.
“Mungkin dari status sekarang endangered, mungkin ke depannya bisa vulnerable atau lebih turun lagi,” tambahnya.
Usep mengatakan, yang terpenting untuk keberadaan populasi, generasi ke generasi, adalah pemenuhan habitat. Pulau Jawa setiap waktu mengalami penyempitan, sehingga habitat Elang Jawa semakin rendah, pendek, dan sempit. Degradasi dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan atau perumahan dan lain-lain, itu menyebabkan pengerucutan habitat satwa.
Perburuan ilegal terhadap Elang Jawa juga masih banyak. Lalu ada juga dampak pestisida. Usep mengakui, memang belum ada penelitian detail terkait sejauh mana pestisida mempengaruhi keberadaan Elang Jawa. Tapi mereka menemukan beberapa kasus telur Elang Jawa tak menetas yang ditengarai karena tercemar pestisida.
“Ada beberapa kasus kalau telurnya tidak menetas, itu ada indikasi bahwa dia tercemar dengan pestisida karena memang si cangkang telurnya memang kurang matang, sehingga si telurnya itu tidak menetas,” jelasnya.
Selain pestisida, telur tak menetas juga disebabkan perubahan cuaca. Biasanya, di musim breeding, di bulan-bulan kemarau, waktunya perubahannya menjadi musim penghujan sehingga breeding-nya akan lebih lambat. Terutama untuk penuaan di telur. Alhasil, si anaknya pun akan dipengaruhi perubahan iklim untuk perkembangan berikutnya.
Telur Elang Jawa bak emas untuk keberlangsungan populasinya. Sebab satwa berjambul itu hanya memiliki satu telur. Dan itulah yang menjadikannya salah satu kriteria bahwa ini masuk kriteria IUCN red list. Populasinya kecil dan berkembang biak hanya dua tahun sekali.
Elang Jawa diistilahkan sebagai satwa monogami. Ia setia dengan pasangan sampai seumur hidup. Bila salah satu individunya mati, baik jantan atau betina, maka salah satunya tidak akan bisa berkembang biak karena dia tidak punya pasangan.
“Dia harus setia dan sampai sepanjang hidup dia itu setia dengan pasangannya sendiri,” ujar Usep.
Dan kegiatan lainnya adalah untuk menunjang habitat. Jadi habitat itu kita lakukan dengan kegiatan-kegiatan adalah
Dari itu, Usep berharap ada upaya lebih dari berbagai pihak untuk memulihkan ekosistem hutan. Menanam pohon dan tanaman-tanaman yang disukai Elang Jawa untuk bersarang maupun untuk bertengger. Pohonnya tidak sembarangan menanam, tapi harus disesuaikan dengan pohon yang disukai oleh Elang Jawa.
“Salah satu tantangan adalah memang saat ini banyak alih fungsi lahan. Jadi habitat-habitat yang dulu digunakan oleh Elang Jawa buat berburu, buat bertengger, buat bersarang atau melatih anak, saat ini banyak tantangan yang menjadi ancaman terhadap si Elang itu sendiri,” tutupnya.




