Jejak Cerita di Ruko-Ruko Senja: Sebuah Toko Buku yang Menolak Lenyap

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Di balik deretan ruko Jalan Garut, sebuah toko buku kecil bernama Toko Buku Bandung menjadi tempat singgah bagi para pecinta buku yang mencari bacaan murah. Rak-raknya penuh buku bekas, dokumen lama, hingga novel yang warnanya mulai pudar. Toko buku yang terletak persis di sebelah Perpustakaan Ajip Rosidi ini biasanya menyelenggarakan kegiatan diskusi setiap minggunya. Mulai dari diskusi berbobot, hingga sekadar tukar-menukar rekomendasi bacaan tersaji di pelataran perpustakaan ini.

Di balik suasana hangat itu, ada kenyataan lain yang tak bisa dilepaskan dari dunia perbukuan hari ini. Obrolan-obrolan kecil yang lahir di pelataran toko justru memperlihatkan satu hal, yaitu kegiatan membaca makin dicintai, tapi akses menuju buku yang layak tak selalu mudah.

Fenomena Buku Mahal & Maraknya Pembajakan

Harga buku yang terus merangkak naik membuat banyak pembaca mulai mencari jalan pintas. Di tengah kebutuhan literasi yang meningkat, pasar dibanjiri buku bajakan yang jauh lebih murah, meski kualitas dan legalitasnya dipertanyakan. Fenomena ini memperlihatkan jurang antara minat baca yang tumbuh dan akses buku yang belum sepenuhnya terjangkau.

Di saat banyak toko memilih ikut arus buku murah bajakan, toko ini bertahan dengan koleksi asli, terkurasi, dan harga yang masih bisa dijangkau mahasiswa. Perlahan, namanya dikenal bukan lewat iklan, tetapi lewat cerita orang-orang yang merasa menemukan rumah baru bagi kebiasaan membaca mereka.

Salah satu pelanggan setia, Topik Mulyana, dosen di Universitas Katolik Parahyangan mengaku sudah mengenal toko ini sejak masih berbentuk lapak. Baginya, Toko Buku Bandung bukan sekadar tempat membeli buku murah, tetapi ruang yang membuat membaca terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. “Awal tertarik ke sini karena bisa ngutang,” candanya, namun di balik gurauan itu tersimpan alasan lebih serius: sulitnya menemukan buku asli dan langka dengan harga bersahabat. Setiap kunjungan baginya selalu berbeda, kadang menemukan komik jadul, dokumen sejarah, atau sekadar berbincang santai tentang buku terbaru yang masuk.

Perjalanan Toko Buku Bandung

Toko Buku Bandung sendiri lahir dari perjalanan panjang Deni Rachman, yang sudah berjualan buku sejak era lapak Lawang Buku di Gasibu pada 2001. Usaha itu berkembang menjadi distributor dan toko di Balubur Town Square (Baltos) sebelum akhirnya terhenti saat pandemi. Ketika muncul tawaran bekerja sama dengan Perpustakaan Ajip Rosidi, ia langsung setuju. “Pas pandemi mulai reda dan ada peluang buka di sini, langsung saya ambil. Sekalian menghidupkan lagi ekosistem literasi,” ujarnya.

Koleksi buku di sini sangat beragam, mulai dari sastra, sejarah, hingga dokumen lama dan buku antik yang didapat dari kolektor maupun hibah. Kurasi inilah yang membuat toko kecil ini jadi ruang alternatif: tempat mencari bacaan bermakna tanpa harus membeli buku mahal, dan tanpa harus jatuh ke buku bajakan.

Selain menjual buku bekas, Toko Buku Bandung juga berfungsi sebagai ruang berkumpulnya para pembaca. Setiap minggu ada kegiatan literasi mulai dari diskusi komunitas hingga obrolan santai soal buku yang membuat toko kecil ini hidup sebagai tempat bertukar ide. Di tengah mahalnya buku baru dan maraknya bajakan, ruang sederhana seperti ini menjaga agar budaya membaca tetap bergerak dan tidak kehilangan wajah manusianya.

Dampak Sosial

Keberadaan toko ini juga membawa dampak sosial yang terasa bagi lingkungan sekitarnya. Bagi para pecinta buku, harapan serasa masih nyata, tak lagi fana. Sebab, diantara gagahnya toko buku elite yang menjajakkan buku baru dengan harga selangit, serta marketplace yang terus mendistribusikan buku-buku bajakan, Toko Buku Bandung hadir dengan kesederhanaan. Ia menghadirkan berbagai pilihan buku yang menarik, dengan harga yang terjangkau, serta jauh dari produk bajakan.

Di samping aktivitas jual beli, interaksi yang tumbuh di antara mereka perlahan membentuk ekosistem literasi yang lebih hidup. Banyak pengunjung yang awalnya hanya “lihat-lihat” akhirnya ikut diskusi mingguan atau bertukar rekomendasi bacaan, menciptakan ruang belajar informal yang jarang ditemui di toko buku arus utama.

Bagi Deni Rachman, menjaga toko tetap hidup bukan tanpa tantangan. Harga buku baru yang terus naik, maraknya buku bajakan, dan perubahan kebiasaan membaca digital menjadi ujian sehari-hari. “Tantangan pasti ada, yang penting konsisten,” ujarnya. Kurasi yang ia lakukan sendiri, dari memilih buku bekas berkualitas hingga menyimpan temuan langka menjadi strategi agar toko tetap relevan dan menarik bagi pembaca dari berbagai usia.

Saat sore mulai turun, Deni merapikan rak-rak buku dengan ritme yang seperti tak pernah berubah sejak hari pertama toko itu dibuka. Beberapa mahasiswa masih sempat mampir, sekadar menyentuh satu dua judul sebelum akhirnya pulang. Ada ketenangan kecil yang muncul setiap kali pintu toko bergerak, seakan kehadiran pengunjung adalah pengingat bahwa ruang ini masih dibutuhkan.

Di toko kecil itu, literasi tak tumbuh dari keriuhan, melainkan dari ketelatenan yang nyaris tak terlihat. Sebuah upaya sederhana untuk memastikan bahwa di kota yang serba cepat ini, selalu ada sudut sunyi yang menyimpan alasan untuk terus membaca.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Demi Keselamatan, DPR Sebut Pemulihan Listrik Pascabencana Aceh Harus Bertahap
• 13 jam laluokezone.com
thumb
PUBG Mobile Bakal Hadirkan Mobil Formula 1 Ferrari di In Game
• 7 jam laluskor.id
thumb
Penanganan Bencana Sumatra Butuh Waktu, Prabowo Perkirakan Normalisasi hingga Tiga Bulan
• 2 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Ketua Komisi III DPR: Perpol 10 Tahun 2025 Konstitusional dan Sejalan dengan Putusan MK
• 11 jam lalusuara.com
thumb
Hamawas Beri Diskon 20% di Dua Ruas Jalan Tol Trans Sumatera
• 13 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.