Di tengah banjir dan longsor di Sumatera, ribuan aksi kecil solidaritas bukan hanya menyelamatkan korban, tetapi juga menguatkan mental para penolongnya. Sebuah kenyataan yang dijelaskan oleh riset psikologi dan nilai luhur Islam.
Berita banjir dan longsor di Sumatera datang seperti gelombang. Foto rumah terendam lumpur, relawan berlari membawa logistik, anak-anak tidur di tikar darurat. Di tengah rasa sedih dan cemas, ada satu hal yang langsung muncul di layar gawai kita: tautan donasi, ajakan open charity, dan aksi spontan mahasiswa kampus.
Banyak orang bergerak tanpa komando. Kebaikan mengalir begitu saja. Menariknya, saat kita membantu orang lain, ada sesuatu dalam diri kita yang ikut pulih. Bukan karena menolong demi menyembuhkan diri, niatnya tetap lurus, tetapi karena solidaritas punya cara tersendiri untuk menguatkan hati manusia.
Bencana, berita, dan gerakan yang mengalir cepat.Ketika berita tentang bencana banjir dan longsor di Sumatera menyebar, kita merasakan gelombang emosi yang sulit dijelaskan: kaget, sedih, tidak berdaya, sekaligus ingin melakukan sesuatu. Di timeline media sosial, gambar rumah terendam lumpur, orang-orang berdesakan di tempat pengungsian, dan relawan berlari membawa logistik membuat kita sadar bahwa dunia tidak selalu berjalan sesuai kehendak.
Dalam situasi seperti ini, banyak dari kita bukan hanya menjadi pengamat, tapi ikut bergerak. Tanpa menunggu instruksi, tautan penggalangan dana muncul di grup kampus, open donasi dibuka di Instagram, komunitas mahasiswa menggelar aksi solidaritas, dan masjid kampus menjadi titik distribusi bantuan logistik.
Di tengah suasana mencekam, ada harapan yang tumbuh dari ribuan gerakan kecil itu: solidaritas. Secara psikologis, respons spontan ini tidak hanya membantu korban, tetapi juga memberi ruang penyembuhan bagi orang yang membantu.
Penelitian klasik dalam psikologi menjelaskan bahwa membantu orang lain dapat memberikan efek emosional positif karena memberi kita perasaan bahwa kita bisa berkontribusi, meski di tengah situasi berat (Andreoni, 1989).
Mengapa kita merasa lebih baik saat membantu?Ada fenomena menarik yang sering dialami relawan, donatur, dan orang yang terlibat dalam aksi sosial saat bencana. Meskipun mereka mulai dari perasaan sedih dan terkejut, semakin mereka terlibat dalam menolong, semakin mereka merasakan kelegaan emosional. Ini bukan paradoks, tapi mekanisme psikologis yang didukung teori ilmiah. Warm Glow Theory menjelaskan bahwa memberi bantuan memunculkan sensasi hangat dan kepuasan batin yang berkaitan langsung dengan pelepasan neurotransmitter seperti dopamin dan oksitosin, sehingga memicu emosi positif (Andreoni, 1989).
Di sisi lain, Altruism-Empathy Theory menegaskan bahwa tindakan menolong, terutama ketika didorong oleh empati, justru membantu menurunkan distress personal, karena kita mengalihkan fokus diri pada kebutuhan orang lain dan merasa terhubung secara emosional (Batson, 2014). Inilah sebabnya, dampak menolong bukan hanya “efek moral”, tapi juga nyata dalam tubuh dan pikiran. Saat kita mengulurkan tangan kepada orang yang terkena musibah, tubuh kita sebenarnya sedang mengaktifkan sistem emosional yang memberi rasa lega.
Bencana dan kesehatan mental: apa yang terjadi di dalam diri kita?Bencana alam tidak hanya mempengaruhi fisik dan ekonomi, tetapi juga kesehatan mental korban dan masyarakat luas. Saat kita menyaksikan berita bencana, baik di televisi atau di media sosial, kita bisa merasakan kecemasan kolektif. Namun, riset psikologi menunjukkan bahwa keterlibatan aktif dalam membantu orang lain dapat berfungsi sebagai pelindung psikologis.
Social Support Theory menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah “buffer” yang mampu mengurangi efek traumatik dari stres besar (Cohen & Wills, 1985). Ketika masyarakat berkumpul untuk membantu korban bencana, individu merasa menjadi bagian dari komunitas yang kuat, dan hal itu menurunkan risiko stres berat. Artinya, solidaritas bukan sekadar simbol, tetapi struktur psikologis yang melindungi mental kita.
Dalam konteks bencana, membantu orang lain membuat kita merasakan bahwa hidup tetap punya nilai meskipun situasi sedang gelap. Rasa “aku bisa membantu” melawan pikiran “aku tidak berdaya”. Inilah mengapa di Sumatera kita melihat bukan hanya duka, tetapi juga harapan, karena masyarakat dan mahasiswa bergerak bersama.
Menemukan makna hidup di tengah tragediSelain efek emosional langsung, ada dampak jangka panjang dari keterlibatan dalam aksi sosial saat bencana: kita menemukan makna hidup baru. Dalam psikologi eksistensial, Meaning-Making Theory menjelaskan bahwa seseorang bisa merasakan perubahan cara pandang hidup setelah melihat penderitaan orang lain dan terlibat dalam tindakan menolong(Park, 2010).
Ketika kita melihat korban kehilangan rumah, keluarga, atau memori hidup mereka, kita secara tidak sadar menata ulang prioritas dan nilai hidup. Kita mulai menyadari bahwa kebahagiaan bukan ditentukan oleh hal-hal yang superficial, tetapi oleh hubungan manusia yang mendalam.
Pada saat yang sama, penelitian tentang Post-Traumatic Growth menunjukkan bahwa keterlibatan aktif dalam pemulihan setelah tragedi dapat memicu pertumbuhan pribadi: rasa empati meningkat, perspektif hidup berubah, dan keyakinan bahwa hidup tetap bisa berjalan muncul dari dalam (Tedeschi & Calhoun, 1996). Dengan kata lain, ketika kita membantu korban bencana, kita tidak hanya menguatkan mereka, tetapi juga membangun diri kita sendiri.
Perspektif Islam: menolong sebagai jalan penyembuhan batinMenariknya, apa yang dijelaskan oleh teori psikologi modern sebenarnya sudah lama hidup dalam spiritualitas Islam. Dalam tradisi Islam, konsep seperti ihsan (berbuat baik sepenuh hati), ta’awun (saling menolong dalam kebaikan), dan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain) bukan sekadar etika sosial, tetapi cara untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menolong orang lain adalah jalan untuk menurunkan sifat egoistik, menyembuhkan luka batin, dan menghidupkan kembali hati yang gelisah (Al-Ghazālī). Ketika seseorang membantu, ia sebenarnya sedang mengaktifkan hubungan spiritual antara dirinya, penderitaan sesama, dan rahmat Allah. Inilah mengapa efek emosionalnya lebih kuat: kebaikan itu memiliki makna transendental, tidak hanya sosial.
Dalam psikologi Islam kontemporer, beberapa peneliti menunjukkan bahwa altruisme spiritual memberi ketenangan batin karena menghubungkan manusia dengan dimensi ilahiah dan dimensi sosial sekaligus (Abu-Raiya & Pargament, 2015). Bagi mahasiswa Muslim, aksi solidaritas untuk Sumatera bukan hanya donasi, tetapi ibadah yang menyembuhkan.
Contoh nyata: seruan kaum intelektual untuk bergerakSolidaritas dalam bencana bukan hanya fenomena emosional spontan. Di banyak tempat, gerakan ini dipimpin oleh kaum intelektual: psikolog, dosen, mahasiswa, organisasi kemanusiaan, dan lembaga sosial. Hanya beberapa hari setelah bencana, sejumlah psikolog yang tergabung dalam Dandiah Care menginisiasi pelatihan Critical Incident Stress Management and Grief Counseling, yang melibatkan akademisi, konselor, dan pegiat trauma healing.
Pelatihan ini dirancang untuk membekali relawan dengan kemampuan memahami tanda-tanda krisis psikologis pada penyintas dan memberikan pertolongan awal. Di Universitas Indonesia, gerakan UI Peduli mengorganisir donasi untuk korban erupsi Semeru di Lumajang dan banjir serta longsor di Sumatera.
Gerakan ini bukan hanya mengumpulkan uang, tetapi juga membangun narasi bahwa mahasiswa sebagai calon intelektual bangsa perlu menjadikan ilmu sebagai tindakan, bukan sekadar teori. Di sisi lain, perusahaan logistik seperti JNE meluncurkan program Gratis Ongkir Peduli Bencana untuk pengiriman logistik ke posko-posko Sumatera, menunjukkan bahwa solidaritas juga bisa datang dari peran korporasi dalam kemanusiaan.
Sementara itu, lembaga filantropi Islam seperti Human Initiative, Yakesma, dsb mengoordinasikan donasi untuk Aceh, Sumut, dan Sumbar, memudahkan masyarakat untuk menyalurkan bantuan melalui jalur yang aman dan terstruktur. Kumpulan aksi ini menunjukkan bahwa ketika ilmu, profesionalisme, dan empati bersatu, solidaritas bukan hanya simbol, tetapi gerakan nyata yang menguatkan banyak pihak.
Kebaikan kecil sebagai terapi diriWalaupun tidak semua orang dapat langsung terjun ke lokasi bencana, setiap orang bisa mempraktikkan altruisme dalam bentuk kecil sehari-hari. Mengajak teman yang terlihat sendirian untuk makan bersama, membantu mengerjakan tugas kelompok, mendengarkan curhat tanpa menghakimi, menjadi mentor untuk adik kelas yang bingung memilih arah hidup, atau membantu kampanye donasi adalah bentuk aksi yang punya dampak emosional nyata.
Tindakan sederhana ini menciptakan rasa belonging, yaitu perasaan memiliki tempat di dunia. Ketika kita merasa dibutuhkan, kita merasa hidup punya tujuan. Secara psikologis, rasa keterhubungan dengan orang lain adalah fondasi dari kesehatan mental jangka panjang (Cohen & Wills, 1985).
Di sisi spiritual, Islam mengajarkan bahwa sekecil apapun kebaikan akan kembali kepada pelakunya dalam bentuk ketenangan hati. Inilah mengapa dalam situasi dunia yang terasa tidak baik-baik saja, menolong menjadi cara untuk merapikan hati sendiri. Kita mungkin tidak bisa memperbaiki semua hal, tetapi kita bisa melakukan sesuatu yang kecil hari ini.
Bencana yang terjadi di Sumatera masih menyisakan luka mendalam, kehilangan, dan ketidakpastian. Kita tidak menutupinya dengan kata-kata manis. Namun, kita juga melihat bahwa dalam kegelapan selalu ada cahaya. Cahaya dari manusia yang menolong. Teori psikologi menunjukkan bahwa menolong bukan hanya membantu orang lain, tetapi juga bentuk penyembuhan diri.
Teori spiritual Islam menunjukkan bahwa menolong adalah jalan untuk menghidupkan kembali hati. Keduanya bertemu dalam satu titik: kebaikan adalah energi penyembuhan. Jadi, jika kamu sedang merasa lelah oleh tekanan akademik, kesepian di kota perantauan, atau cemas memikirkan masa depan, cobalah satu langkah kecil: bantu seseorang hari ini.
Tidak perlu besar, tidak perlu viral. Satu gestur kecil yang tulus bisa mengubah hari seseorang, dan mengubah hatimu juga. Mungkin kamu tidak bisa menyelesaikan semua masalahmu sekarang. Tetapi dalam menemani luka orang lain, kamu bisa menemukan kembali kekuatan yang kamu kira hilang. Pada akhirnya, kita sembuh bukan dengan berjalan sendiri, tetapi dengan berjalan bersama.





